Kontroversi Ponpes Al-Zaytun dan Ancaman Disintegrasi Sosial

Kontroversi Ponpes Al-Zaytun dan Ancaman Disintegrasi Sosial

- in Narasi
819
0
Kontroversi Ponpes Al-Zaytun dan Ancaman Disintegrasi Sosial

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan oleh fenomena Ponpes Al-Zaytun yang penuh dengan kontroversi. Pesantren yang diasuh oleh Panji Gumilang tersebut menimbulkan kegaduhan masyarkat. Sebagian masyarakat menganggap pesantren tersebut sebagai lembaga pendidikan dan keaagamaan yang wajar dalam negara yang menganut paham demokrasi, namun sebagian yang lain menganggap sebagai ancaman karena beberapa mazhabnya yang meyimpang dari ajaran Islam itu sendiri.

ketika negara Indonesia mendekati momen Pemilu ataupun Pilpres sering terjadi konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Beberapa konflik tersebut biasanya bermula dari paham keagamaan yang kontroversial. Masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas pemeluk agama Islam menjadi sasaran utama pihak-pihak yang ingin membelah persatuan bangsa Indonesia. Agama mejadi hal yang paling dominan dalam hal apapun. Maka tidak heran ketika menjelang pemilu, banyak politisi menjadikan agama sebagai dogma (politik Identitas), dan juga banyak pihak menjadikan agama sebagai pemicu pecahnya persatuan bangsa.

Pesantren A-Zaytun menampik kecemasan banyak masyarakat lantaran keputusan dan sikapnya yang penuh kontroversial. Bermula dari pimpinan Ponpes Al-Zaytun yang mengajak santrinya untuk menyanyikan salam Kristen dan sholat Idul Fitri yang menyamakan shaf antara laki-laki dan wanita di shaf yang sama. Tak lama kontrovesi tersebut beredar, pesantren Al-Zaytun kembali menuai kontroversi dengan gaya adzan sholat Jumat yang berbeda dari biasanya. Dalam unggahan akun instagram @say.viideo, memperlihatkan gaya muazin memakai jas lengkap dengan dasi berwarna biru, sepatu peci berwarna hitam dan menghadap ke para jamaah, bukan menghadap ke kiblat. Tentu hal semacam ini menimbulkan reaksi dari banyak masyarakat.

Agama merupakan hal yang paling sensitif bagi masyarakat. Ketika ada sesuatu yang bersinggungan dengan agama maka secara cepat akan menimbulkan reaksi dari masyarakat itu sendiri (Oemar Seno Aji, 1985). Pondok pesantren Al-Zaytun yang diresmikan sejak 27 Agustus 1999 yang berlokasi di desa Mekarjaya, Gantar, Indramayu, Jawa barat kini sudah menampung lebih dari 7000 santri. Pondok pesantren yang mempunyai landasan “Pesantren Spirit but Modern System” ini menggunakan kurikulum yang mengacu pada Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Belum selesai isu kontroversial tersebut, kini Panji Gumilang selaku pimpinan pesantren Al-Zaytun kembali menuai kontroversi dengan statmennya yang mengakui bahwa nasab nabi Muhammad itu aneh. Pernyataan inilah yang menimbulkan puncak kemarahan publik sehingga masyarakat melakukan demonstrasi, menuntut pembekuan izin pesantren Al-Zaytun dan meminta aparat penegak hukum menangkap Panji Gumilang atas dasar penistaan agama. Bahkan sampai saat ini pihak pesantren Al-Zaytun selalu menolak upaya berbagai pihak untuk melakukan dialog secara kooperatif.

. Jika ditelaah secara hukum bahwa Pernyataan Panji Gumilang tersebut merupakan penistaaan agama. Berdasarkan Pasal 156 (a) KUHP menyebutkan barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, maka dipidana dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP baru) , Pasal 300 (c) menjelaskan bahwa setiap orang di muka umum yang melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Jika dipahami lebih mendalam bahwa peraturan yang termaktub dalam paal 156 (a) tersebut bukan merupakan tindak pidana terhadap agama yang ditujukan untuk melindungi kepentingan agama, melainkan lebih mengutamakan perlindungan terhadap kepentingan umum khususnya ketertiban umum yang terganggu karena adanya pelanggaran ketertiban umum.

Jika pesantren Al-Zaytun merupakan lembaga pendidikan yang tidak menyalahi aturan, maka harus berani memberikan jawaban seluas-luasnya terhadap media dan masyarakat untuk melakukan dialog. Jika tidak berani kooperatif maka harus ada konsekuensi hukum dan administratif terkait esksistensi lembaga pendidikan di bawah binaan Kementerian Agama.

Facebook Comments