Langkah-langkah Penanaman Sikap Moderat Pada Anak

Langkah-langkah Penanaman Sikap Moderat Pada Anak

- in Narasi
1039
0

Moderat merupakan sikap yang wajib ditanamkan pada anak-anak. Sikap moderat di negara yang plural merupakan sebuah kunci terwujudnya perdamaian. Lebih-lebih di zaman akhir ini, di mana terdapat sekelompok orang yang dengan bangga dan merasa benar melakukan praktik anarkis sebab tidak adanya sikap moderat. Praktik bom bunuh diri di kawasan rumah ibadah yang dilakukan oleh remaja merupakan salah satu akibat dari kegagalan pendidikan moderasi pada anak.

Ada sekian langkah yang mesti dilakukan sehingga anak-anak memiliki sikap moderat dan tidak mudah melakukan tindak anarkhis. Pertama, orang tua memberikan pendidikan moderasi sebagai pondasi kehidupan yang kuat. Pendidikan moderasi di sini bukan saja bersikap keduniawian segala, namun juga ukhrawi. Pasalnya, tidak sedikit pelaku kekerasan yang terjadi selama ini berkedok agama. Para pelaku kekerasan menilai bahwa apa yang dilakukan merupakan kebaikan agama di atas segalanya.

Di sinilah peran orang tua dalam memanamkan sikap moderat berdasarkan agama. Orang tua bisa menanamkan sikap toleransi beragama baik melalui dasar-dasar dari al-Qur’an atau hadist serta kisah kemasyarakatan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Tidak kurangnya para orang tua menemukan kisah betapa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat bersikap moderat kepada sesama muslim dan pemeluk agama lain. Orang tua bisa menemukan di teks-teks arab, terjemah Bahasa Indonesia, atau bahkan audio-visual di media maya anak.

Dengan adanya penanaman sikap moderat yang kuat pada anak berlandaskan agama, maka anak-anak tidak akan mudah terpengaruh oleh ajakan melakukan tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama sebagaimana yang marak terjadi akhir-akhir ini. Manakala pondasi moderasi sudah kuat, maka tidak akan mudah goyah lantaran angina kecil yang menerpanya.

Kedua, orang tua memberikan lingkungan bermain anak-anak yang bernuansa damai. Lingkungan akan berpengaruh pada kepribadian anak-anak. Apabila anak sering bergaul dengan orang-orang yang penyabar dan mudah memaafkan, maka anak pun akan meniru menjadi penyabar dan mudah memaafkan. Sebaliknya, apabila anak sering berjumpa dengan orang-orang pendendam dan suka bermain tangan, maka anak akan meniru pendendam dan suka bermain tangan pula. Maka dari sinilah, orang tua mesti memberikan lingkungan terbaik untuk anak-anaknya. Karena lingkungan (termasuk teman bermain) akan menanamkan kepribadian pada anak-anak.

Ketiga, orang tua memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Pembentukan sikap bagi anak-anak juga tidak dapat dilepaskan dari peran guru. Kata-kata guru di sekolah anak usia dini atau SD sering kali membekas pada siswa. Lebih-lebih guru anak usia dini tidak saja memberikan ceramah saja melainkan juga sering mengajak anak untuk mempraktikkan aktivitas harian. Dan aktivitas harian inilah yang akan menjadi kepribadian anak-anak di masa mendatang.

Kreativitas guru anak usia dini semakin meningkat. Mereka tidak sekadar teman bermain anak-anak, namun mereka merupakan orang-orang pintar yang mampu menanamkan nilai-nilai baik sesuai dengan dunia anak. Di sinilah peran orang tua diperlukan dalam pemilihan sekolah anak. Karena, kebaikan yang diyakini seorang guru belum tentu sesuai dengan ajaran agama berikut mederasinya. Orang tua bisa memasukkan anak usia dini ke lembaga pendidikan yang jelas menanamkan agama yang kaffah, termasuk menanamkan toleransi dalam bersikap.

Pemilihan lembaga pendidikan ini bukan saja bagi anak usia dini. Ketika sudah masuk ke SMP atau SMA, bahkan perguruan tinggi, anak-anak juga masih harus mendapat perhatian pendididikan dari orang tua. Orang tua mesti mengarahkan anak agar masuk ke lembaga pendidikan yang sesuai dengan ajaran agama yang benar. Jangan sampai anak masuk ke lembaga pendidikan yang tidak moderat. Jika perlu, anak bisa dimasukkan ke lembaga pendidikan non-formal berhaluan moderat semisal pesantren-pesantren NU.

Keempat, orang tua mesti mengarahkan pergaulan anak di masa remaja. Pergaulan anak di masa remaja merupakan penentu kedua anak-anak dalam bersikap dalam kehidupannya. Usia remaja merupakan usia pencarian jati diri, di mana mereka suka mencoba hal-hal baru. Bagi mereka yang belum memiliki pondasi kuat, apapun yang terlihat baik di depan mata maka akan masuk ke dalam hati dan diyakini baik. Selanjutnya, mereka akan bertindak sesuai dengan apa yang diyakini baik.

Padahal, di zaman sekarang, banyak hal yang terlihat sebuah kebaikan namun sejatinya hanya topeng. Sebagai misal, kekerasan dengan mengatasnamakan agama bisa saja dipoles sebagai jihad. Padahal sejatinya jihad yang benar bukan melakukan kekerasan. Kekerasan diperbolehkan digunakan dengan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, justru dosa besar akan diterima sang pelaku kekerasan.

Bermula dari sinilah, orang tua harus selalu memperhatikan anak-anaknya, baik masih usia dini maupun sudah remaja. Jangan sampai mereka masuk jaringan aliran keras lantaran orang tua tidak bisa mengarahkan anak-anaknya. Jika ini yang terjadi, penyesalan tidak akan berguna apa-apa. Anak bukan saja membuat keributan yang merepotkan masyarakat sipil dan pemerintah namun juga akan memusuhi orang tua. Lebih parahnya, orang tua akan kehilangan anak manakala mereka melakukan aksi bom bunuh diri.

Wallahu a’lam.

Facebook Comments