Melawan Damai dengan Kebencian ? Pancasila Menjawabnya Dengan Kasih Dan Keberanian

Melawan Damai dengan Kebencian ? Pancasila Menjawabnya Dengan Kasih Dan Keberanian

- in Narasi
6
0
Melawan Damai dengan Kebencian ? Pancasila Menjawabnya Dengan Kasih Dan Keberanian

Ketika dunia menggaungkan perdamaian, sebagian justru menjawabnya dengan kebencian. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, perdamaian seringkali menjadi korban dari narasi-narasi kelompok yang fanatis terhadap satu dogma tertentu, politik identitas, dan ideologi kebencian. Umat yang harusnya menjadi pelopor terciptanya kasih sayang dan kedamian, tidak jarang terjebak dalam sikap eksklusif, defensif, bahkan agresif. Di sinilah peran penting Pancasila diuji.

Pancasila, sebagai dasar negara Republik Indonesia, ia tidak hanya menjadi fondasi hukum dan politik, tetapi juga fondasi moral dan spiritual kehidupan berbangsa. Pancasila tidak hanya sekedar simbol belaka, Pancasila memuat etika hidup bersama yang membumi dan membebaskan. Dalam konteks inilah, Pancasila menjawab tantangan zaman bukan dengan kata-kata belaka, tetapi dengan kasih yang berani dan keberanian yang penuh kasih.

Kekerasan yang muncul dengan mengatasnamakan agama atau bangsa tidak lahir dari keberanian, melainkan dari ketakutan (takut kehilangan identitas, takut menjadi minoritas, takut dikuasai oleh yang berbeda). Ketakutan yang timbul, jika tidak dikelola dengan baik akan berubah menjadi prasangka, kemudian berubah kembali menjadi kebencian.

Dalam banyak kasus, kekerasan ideologis didahului oleh narasi eksklusif seperti: “Kami benar, mereka salah.” Narasi-narasi seperti ini menutup ruang dialog dan memicu konflik horizontal. Dalam konteks ini, sebagian umat justru terjebak dalam pemahaman keagamaan yang sempit, memandang nasionalisme sebagai ashabiyah (fanatisme kesukuan) yang bertentangan dengan iman. Padahal, cinta tanah air sejatinya adalah perwujudan dari iman itu sendiri, karena ia menjelma dalam tanggung jawab sosial, kepedulian pada sesama, dan pengabdian terhadap kemanusiaan.

Pancasila bukan idologi tanpa isi. Ia lahir dari sejarah panjang perjuangan bangsa yang plural. Sila Kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” adalah pengakuan bahwa setiap manusia, apapun suku, agama dan keyakinannya, memiliki martabat yang harus dijaga dan dihormati. Ini adalah etika kasih yang tidak memihak dan yang tidak membeda-bedakan. Sementara Sila Ketiga, “Persatuan Indonesia,” adalah etika keberanian untuk tetap bersatu dalam perbedaan, untuk menolak politik yang memecah belah bangsa, dan untuk melampaui ego kelompok demi kepentingan bersama. Dalam Pancasila, kasih dan keberanian tidak dipertentangkan, melainkan dipadukan dalam harmoni.

Pancasila bukan sekedar jalan tengah antara ideologi kiri dan kanan, antau antara agama dan sekularisme. Ia adalah jalan moral yang menuntut keberanian mencintai tanpa syarat dan kemampuan berdiri teguh tanpa memusuhi.

Nasionalisme sering disalahpahami di tengah gelombang globalisasi dan kebangkitas identitas keagamaan. Sebagian melihat nasionalisme sebagai bentuk sekularisme, bahkan yang lebih ekstremnya bertentangan dengan ajaran agama. Namun, nasionalisme yang ditawarkan Pancasila adalah nasionalisme yang memanusiakan, bukan untuk menindas.

Dalam kerangka Islam, konsep “Hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air adalah bagian dari iman) merupakan bentuk pengakuan bahwa keimanan harus diwujudkan dalam konteks kebangsaan. Membela negara merupakan bukan bentuk fanatisme, melainkan ekspresi tanggung jawab terhadap amanah sosial. Justru, tanpa adanya cinta terhadap tanah air, semangat keberagamaan bisa menjadi liar dan kehilangan orientasinya. Nasionalisme yang sehat bukanlah yang membenci yang lain, akan tetapi yang berani mengakui dan merangkul keberagaman. Inilah nasionalisme yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa dan yang ditegaskan di dalam Pancasila.

Sejarah Indonesia mencatat banyak peristiwa ketika umat beragama memilih jalan Pancasila sebagai manifestasi nilai kasih dan keberanian. Di Ambon, setelah konflik sekitar awal tahun 2000-an, lahir Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang mengedepankan dialog, saling memahami, dan kerja sama lintas agama. Di Pesantren Tebuireng dan Ponpes Al-Mizan Jatiwangi. Pendidikan Pancasila dikemas dalam pengajian dan kurikulum keislaman. Ormas Islam pun memiliki peran yang signifikan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Ahmadiyah dalam membangun narasi damai.

NU dengan konsep “Islam Nusanara” menekankan pentingnya membumikan moderasi dan cinta tanah air. Muhammadiyah lewat gerakan “Islam Berkemajuan” yang aktif dalam gerakan dakwah sosial dan pendidikan lintas golongan. Sementara Ahmadiyah, meski kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif, tetap menunjukkan komitmen pada nilai-nilai perdamaian melalui organisasi kemanusiaan seperti Humanity First. Semua ini menunjukkan bahwa umat bisa memilih untuk menjadi bagian dari masalah, atau menjadi bagian bagian dari solusi. Jalan Pancasilan adalah pilihan moral untuk menjadi bagian dari solusi.

Tantangan terbesar hari ini bukan hanya yang terlihat di depan mata kita, tetapi di ruang-ruang tak kasat mata seperti ruang digital. Media sosial menjelma menjadi ladang subur bagi para kelompok intoleran untuk menyebarluaskan propaganda kebencian, hoaks, dan polarisasi. Generasi muda (Gen Z), yang merupakan pengguna terbesar internet, menjadi sasaran empuk bagi paham-paham radikal yang dikemas sedemikian rupa agar masuk kedalam hati dan emosi generasi muda.

Di sinilah pentingnya membangun narasi tandingan. Literasi digital berbasis nilai Pancasila harus menjadi agenda nasional untuk membentengi anak muda dari narasi-narasi yang negatif dan merugikan. Sekolah, pesantren, komunitas agama, dan keluarga perlu saling bersinergi untuk membuat benteng pertahanan pertama yang membekali anak muda dengan kemampuan berpikir kritis dan empati. Teknologi harus menjadi alat untuk menyebarkan kasih dan keberanian, bukan untuk menyebarkan kebencian dan ketakutan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan strategi yang mempunyai sifat menyeluruh dan terperinci seperti : (1) Pendidikan Karakter Pancasila merupakan membumikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kurikulum formal dan informal, khususnya di lembaga pendidikan negara. (2) Dialog Lintas Iman menekankan kerjasama antar umat beragama untuk menangani isu-isu sosial seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan lingkungan. (3) Literasi Digital Pancasila merupakan pelatihan bagi generasi muda agar mereka mampu memilah informasi, membangun konten yang berorientasi kepada perdamaian, dan melawan ujaran kebencian. (4) Kebijakan Publik Inklusif merupakan konsistensi yang harus dimiliki oleh pemerintah untuk menindak dengan tegas tindakan intoleran dan diskriminasi berbasis agama.

Perdamaian merupakan cita-cita mulia dan tertinggi dari umat manusia. Namun, ia tidak akan datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan, dirawat, dan dijaga. Pancasila menawarkan jalan itu, yaitu jalan tengah yang luhur, jalan yang tidak ekstrem, jalan yang menolak kebencian tanpa membenci. Mulai saat ini umat harus berani berteriak dengan lantang untuk menolak narasi yang memecah-belah.

Menjadi umat yang berani mencintai bangsa dan kemanusiaan adalah bentuk tertinggi dari pengabdian kepada Tuhan. Di tengah dunia yang sedang resah dan mudah sekali tersulut amarahnya, menjadi pribadi yang penuh kasih adalah tindakan revolusioner. Maka, ketika ada yang melawan damai dengan kebencian, jawaban kita seharusnya bukan kebencian yang sama, tetapi kasih yang berani. Karena kasih yang sejati, seperti halnya nasionalisme dalam bingkai Pancasila, tidak takut membela kebenaran.

Facebook Comments