Viralnya pernyataan Felix Siauw—mantan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)—soal konflik Iran dan Israel menunjukkan satu hal yang mencemaskan: bagaimana narasi dangkal bercampur sektarianisme bisa menyebar luas dan menyesatkan publik, terutama generasi muda Muslim yang minim literasi geopolitik.
Dalam video yang tersebar luas, Felix mencoba menegaskan bahwa perlawanan Iran terhadap Israel bukan dilandasi solidaritas terhadap Palestina, melainkan kepentingan nasional semata. Ia secara implisit mengajak umat Islam agar tidak tergesa-gesa mendukung Iran, karena menurutnya, Iran adalah Syiah yang berbeda secara akidah dari mayoritas Muslim Sunni. “Ngapain lo bela Iran?” kira-kira demikian nada naratifnya.
Lebih jauh, Felix menarik sejarah Iran ke masa lampau dengan menyebut kedekatan historis Persia dengan Israel, seperti peran Kekaisaran Persia dalam pembangunan Kuil Sulaiman dan aliansi era Rezim Pahlevi dengan Zionis. Analisis seperti ini bukan hanya simplistis, tetapi juga menunjukkan kegagalan serius dalam memahami dinamika geopolitik kontemporer.
Distorsi Sejarah dan Bahaya Narasi Sekterian
Menyandarkan analisis geopolitik pada sejarah ribuan tahun lalu, lalu menjadikannya alasan untuk menolak solidaritas terhadap perjuangan perlawanan Palestina yang didukung Iran hari ini, adalah bentuk pembacaan sejarah yang ugal-ugalan. Analisa Felix yang membawa-bawa warisan Persia kuno dan rezim Pahlevi untuk menjelaskan kebijakan politik luar negeri Iran pasca-Revolusi 1979 merupakan lompatan nalar yang fatal.
Faktanya, sejak Revolusi Islam 1979, Iran menjelma menjadi negara paling vokal dalam melawan hegemoni Barat dan agresi Zionis di Timur Tengah. Tidak bisa disangkal bahwa Iran, melalui berbagai saluran diplomatik dan dukungan terhadap kelompok perlawanan seperti Hizbullah di Lebanon dan kelompok perlawanan di Gaza, telah menjadi kekuatan penyeimbang terhadap dominasi Israel dan sekutu-sekutunya.
Mengabaikan posisi Iran dalam peta perlawanan Palestina, atau lebih parah lagi menafikkan identitas keislamannya, bukan hanya reduksionis, tetapi juga berbahaya. Pernyataan seperti itu justru sejalan dengan narasi Zionis dan sekutunya yang ingin memecah belah kekuatan Islam dari dalam, terutama dengan membakar sentimen sektarian Sunni-Syiah.
Solidaritas Palestina dan Geopolitik yang Kompleks
Perjuangan Palestina tidak mungkin dibaca dalam skema sektarian sempit. Bahkan di antara negara-negara mayoritas Sunni sekalipun, tidak semuanya menunjukkan keberpihakan nyata terhadap kemerdekaan Palestina. Sebagian memilih diam, sebagian lainnya justru merapat ke kepentingan geopolitik Amerika dan Israel. Dalam lanskap seperti ini, menuduh Iran—yang secara terbuka menentang Zionisme—bukan bagian dari perjuangan Palestina, adalah kekeliruan yang disengaja atau setidaknya berasal dari kedangkalan perspektif.
Dalam konteks ini, pertanyaan Felix seperti “Ngapain bela Iran?” justru harus dibalik: apa konsekuensinya jika Iran dilemahkan atau dikalahkan? Bagi Israel, jalan menuju penaklukan penuh atas Gaza dan penghapusan perlawanan Palestina akan jauh lebih mudah jika Iran—yang mendukung penuh kelompok perlawanan—berhasil dilumpuhkan.
Alih-alih memperkuat empati publik terhadap perjuangan Palestina, narasi Felix justru mengarahkan pada fragmentasi internal umat Islam, yang bisa berujung pada pelemahan solidaritas kolektif terhadap Palestina. Ini adalah efek langsung dari politik identitas berbasis sekterian yang menjadi ciri khas wacana-wacana radikal transnasional seperti yang dulu diusung HTI.
Membangun Ketahanan Dalam Negeri: Hindari Polarisasi Sektarian
Indonesia sebagai bangsa majemuk dan berideologi Pancasila mesti waspada terhadap narasi semacam ini. Politik sektarian, baik berbasis mazhab maupun afiliasi ideologis internasional, berpotensi memicu polarisasi yang merusak ketahanan nasional. Dalam konteks konflik global yang semakin memanas, kita tidak butuh analisis yang mengadu Sunni dan Syiah, apalagi membenarkan siapa yang lebih “Islam”.
Kita justru membutuhkan perspektif yang bijak, integratif, dan berpihak pada nilai keadilan serta kemanusiaan. Mendukung Palestina tidak berarti harus setuju pada seluruh kebijakan Iran, tetapi menolak Iran hanya karena perbedaan mazhab adalah bentuk kesesatan berpikir yang merugikan umat Islam sendiri.
Apa yang ditampilkan Felix Siauw adalah contoh buruk dari narasi politik internasional yang dibungkus dengan semangat puritanisme sektarian. Dalam dunia yang sedang bergerak ke arah multipolar, umat Islam membutuhkan kedewasaan dalam membaca konflik dan menjauhi narasi yang memperkuat friksi internal.
Perjuangan Palestina tidak akan menang jika umat Islam terus diprovokasi untuk saling mencurigai satu sama lain. Kita harus belajar membedakan antara analisis kritis dan agitasi sektarian. Di tengah krisis global yang kian dalam, hanya komitmen pada keadilan, kemanusiaan, dan persatuan umatlah yang akan menjaga arah perjuangan tetap bermartabat.