Melawan Premanisme; Mengembalikan Esensi Ormas Sebagai Katalisator Pembangunan

Melawan Premanisme; Mengembalikan Esensi Ormas Sebagai Katalisator Pembangunan

- in Narasi
28
0
Melawan Premanisme; Mengembalikan Esensi Ormas Sebagai Katalisator Pembangunan

Di era modern, kemajuan sebuah negara ditentukan dari pembangunan ekonominya. Dan, salah satu faktor penentu pembangunan ekonomi adalah stabilitas sosial. Stabilitas sosial itu bergantung pada keamanan dan ketertiban masyarakat. Maka, mustahil jika ada negara yang kacau dan dilanda konflik sosial, ekonominya bisa maju dan kuat.

Stabilitas sosial dan politik juga menjadi prasyarat penting bagi masuknya investasi asing. Negara yang dilanda konflik dan ketidakpastian sosial mustahil dilirik para investor. Rumus itu juga berlaku dalam konteks Indonesia.

Sebagai negara dengan kekayaan alam liar biasa dan potensi pasar yang besar, Indonesia masih belum menjadi primadona bagi para investor asing. Salah satu faktor pemicunya adalah masih maraknya aksi premanisme. Aksi kekerasan dan main hakim sendiri untuk memaksakan kehendak.

Problem ini sebenarnya sudah diakui oleh sejumlah pihak, mulai dari pengusaha maupun pemerintah itu sendiri. Seperti belakangan ini, banyak pengusaha mengeluhkan aksi premanisme di wilayah usahanya.

Atau para pejabat yang mengakui bahwa investor asing khawatir menanamkan modalnya di Indonesia karena banyaknya premanisme berkedok ormas. Inilah problem krusial yang harus kita atasi saat ini.

Premanisme memiliki sejarah panjang dalam perjalanan bangsa ini. Eksistensinya bahkan sudah tercatat sejak era kolonialisme Belanda. Robert Cribb dalam Gangster and Revolutionaries meyakini bahwa istilah preman berasal dari istilah dalam Bahasa Belanda, “vrijman”, yang secara literal bermakna “laki-laki yang bebas”.

Di zaman kolonial, secara terminologis istilah vrijman merujuk pada laki-laki yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, atau bahkan secara terang-terangan berani melawan pemerintah kolonial. Mereka yang disebut vrijman ini meliputi para tukang pukul, jawara, centeng, jago dan sejenisnya.

Di masa Orde Baru, sebagaimana dituturkan oleh Ian Douglas Wilson dalam makalahnya berjudul “Selama Caranya Halal: Preman Islam di Jakarta”, premanisme tumbuh subur lantaran terjadi relasi simbiotik dengan rezim Suharto. Banyak kelompok preman pada masa itu sengaja dilembagakan ke dalam organisasi-organisasi paramiliter dan kepemudaan.

Pelembagaan ini menuntut loyalitas preman kepada rezim Suharto sekaligus melindunginya dari “musuh negara” yang oleh Orde Baru kerap diidentifikasi sebagai kelompok ekstrim kiri dan kanan. Para preman itu pun selalu siap sedia dikerahkan untuk menghalau kelompok-kelompok yang mengancam hegemoni dan dominasi negara.

Kemunculan premanisme erat kaitannya dengan persoalan terkait wacana ruang sosial. Ruang sosial seperti dikemukakan Hendri Lavebre, dalam bukunya The Production of Space (1991) adalah ruang yang di dalamnya berlangsung berbagai aktivitas, ekspresi serta relasi sosial.

Levebre menuturkan bahwa ketika kita berbicara mengenai satu lanskap ruang mikro-spesifik seperti seperti terminal, kawasan pertokoan atau sejenisnya, pada dasarnya kita tengah bicara tentang ruang sosial (social space). Di dalamnya, relasi sosial manusia selalu mewujud ke dalam tiga bentuk, yakni pengendalian (control), dominasi (domination) dan kekuasaan (power). Ini artinya, ruang sosial nyaris selalu berisi dua kelompok masyarakat yang terhubung secara hirarkis.

Dalam kondisi normal, negara berikut aparatusnya merupakan pihak paling otoritatif yang berhak mengendalikan, mendominasi dan menguasai ruang sosial. Sebaliknya, ketika negara sebagai pihak paling otoritatif di bidang hukum dan politik justru absen dari ruang sosial, bisa dipastikan akan muncul kelompok sosial baru yang berupaya mengambil alih peran negara tersebut.

Itulah momen ketika kelompok paramiliter atau preman tampil ke permukaan sebagai kekuatan yang berupaya mengendalikan, mendominasi dan menguasai ruang sosial dengan cara-cara kekerasan.

Dengan kata lain, negara tidak boleh kalah oleh para preman berkedok ormas. Negara punya hak koersif untuk menindak secara hukum preman berkedok ormas yang mengancam stabilitas sosial dan politik yang akhirnya berdampak pada situasi ekonomi.

Selain pendekatan koersif dengan penegakan hukum, kita juga perlu mengembalikan esensi ormas ke katalisator persatuan dan pembangunan. Ormas harus mendukung kebijakan pemerintah. Termasuk memastikan iklim investasi berjalan lancar.

Atas nama demokrasi, kita tentu tidak bisa memberangus keberadaan ormas. Bagaimana pun, masyarakat punya hak untuk berserikat. Yang bisa kita lakukan adalah merevitalisasi keberadaan ormas agar tidak menjadi provokator perpecahan dan kekerasan, alih-alih menjadi katalisator pembangunan dan persatuan.

Langkah pertama kita perlu mendiversifikasi peran ormas keagamaan. Ormas keagamaan harus diperluas fungsi dan perannya tidak hanya sekadar dalam konteks agama dan spiritual belaka.

Ormas keagamaan juga harus menyentuh aspek sosial, seperti pemberdayaan umat dalam hal ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sejenisnya. Perluasan peran dan fungsi ormas keagamaan ini penting agar ormas keagamaan tidak terjebak pada fanatisme keagamaan yang berpotensi menjurus pada radikalisme bahkan ekstremisme beragama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ormas keagamaan yang abai pada pemberdayaan umat umumnya menjadi sarang bagi gerakan radikal teror.

Langkah selanjutnya kita perlu merevitalisasi ormas non keagamaan, agar tidak menjadi benalu di masyarakat. Kita harus mentransformasikan ormas model preman ke ormas modern yang mandiri, independen, dan anti kekerasan.

Ormas yang tidak menjadi hantu bagi para investor namun menjadi mitra bagi para pelaku ekonomi. Transformasi ormas preman ke ormas modern ini tentu membutuhkan peran pemerintah dan stakeholder lainnya.

Preman selama ini adalah kelompok masyarakat terpinggirkan yang tidak punya akses pada pendidikan, sumber ekonomi dan terasing dari lingkungan sosialnya. Mereka bergabung ke kelompok preman yang menghalalkan kekerasan, karena terpaksa demi status sosial dan pengakuan masyarakat. Maka, mereka patut dirangkul dan dibina.

Facebook Comments