Memahami Lian dalam Indahnya Perbedaan

Memahami Lian dalam Indahnya Perbedaan

- in Narasi
4930
0

Harus kuakui bahwa hingga lulus Sekolah Menengah Atas aku adalah orang yang sangat fanatik terhadap agamaku. Bagiku orang yang berbeda keyakinan denganku adalah orang aneh. Aku pernah berpikir bahwa cara beragamakulah yang paling benar. Juga pernah terbesit dalam benak, mengapa di dunia harus ada perbedaan, padahal jika semua orang sama agamanya, maka hidup ini akan bahagia.

Aku terlahir dan tumbuh dalam keluarga Sunda dan lingkungan Muslim yang taat di Majalengka, Jawa Barat. Sejak kecil aku diajarkan Ilmu Agama dan praktik keberagamaan Islam yang ketat dan intensif oleh orang tua ataupun guru di sekolah dan pengajian. Selama duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Menengah, aku belum pernah punya teman yang berbeda keyakinan. Semua teman di kampung dan sekolah beragama Islam. Apalagi aku bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri.

Ketika memasuki bangku kuliah kali pertama aku berteman dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, dan pandanganku tentang orang yang berbeda keyakinan sedikit demi sedikit memudar. Perguruan tinggi tempatku menimba ilmu adalah sebuah perguruan tinggi Islam, yakni Institut Sudi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon yang terletak di Jalan Swasembada, Majasem, Cirebon. Kampus inilah yang mempertemukanku dengan teman-teman yang berbeda keyakinan.

Menepis kekhawatiran

Teman-teman yang berbeda keyakinan denganku sebenarnya juga sesama orang Sunda. Mereka berasal dari Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Sebut saja nama-nama mereka dengan langgan kesayangan, yaitu Kinanti, Wulan dan Mira. Tetapi sebagai orang Sunda aku biasa memanggil mereka dengan sebutan teteh, ciri khas orang Sunda memanggil sebayanya. Kelak ketika sudah cukup waktu bergaul aku baru tahu bahwa ketiga kawan kuliahku ini adalah penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.

Awalnya aku sempat tidak berani menanyakan ihwal yang berkaitan dengan keyakinan mereka. Aku takut menyinggung atau menyakiti hati mereka, apabila aku menanyakan secara detail kehidupan mereka. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, ketika sudah merasa lebih dekat, aku memberanikan diri untuk bertanya lebih tentang kehidupan mereka.

Suatu hari, seusai kegiatan di kampus, sambil melepas rasa lelah, kami berbagi pengalaman pribadi. Salah satu di antara mereka mengutarakan kisah yang tak terlupakan dalam hidupnya. Ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah kawanku pernah disebut kafir karena keyakinan yang berbeda dengan yang lain. Aku sempat terperangah ketika mendengar ceritanya. Aku memberanikan diri bertanya, yakni bagaimana caranya menghadapi orang seperti itu. Ia menjawab, “Awalnya aku juga bingung menghadapi situsi seperti ini, Teh. Rasa kesal dan sedih bercampur aduk dalam hati. Tapi lama-kelamaan aku mulai terbiasa dengan semuanya. Memang sulit bagiku untuk melewatinya, tapi aku mencoba untuk tidak menghiraukan perkataan mereka. Toh pada akhirnya, mereka akan berhenti jika sudah merasa lelah.

Temanku yang lain menambahkan, “Aku pernah diperlakukan secara tidak wajar oleh teman sekelas. Suatu ketika, aku dan teman sekelasku mengikuti ulangan harian. Kebetulan mata pelajarannya adalah salah satu mata pelajaran favoritku (Akuntansi-pen.). Aku mengerjakannya dengan penuh percaya diri. Tiba-tiba di sela-sela waktu tersisa teman yang sangat membenciku tadi mendekatiku dan bertanya tentang rumus-rumus yang harus dikuasai. Aku sempat tersentak dan bingung, apakah harus memberitahu atau tidak, padahal dia adalah salah seorang yang membenciku. Tapi aku luluh. Tak tega melihatnya berada dalam kesusahan. Akhirnya aku memberi tahu rumus-rumusnya. Setelah kejadian itu, teman sekelas yang sebelumnya membencinya itu meminta maaf atas perilakunya. Teteh ini memberikan maaf; dan sampai saat ini mereka menjalin persahabatan dengan baik.

Menghargai perbedaan

Waktu terus berjalan, tak terasa jalinan persahabatanku dengan ketiga temanku sudah berlangsung selama hampir satu tahun. Ada peristiwa yang paling berkesan bagiku, yaitu ketika puasa Ramadhan berlangsung. Selama bulan Ramadhan kami masak bersama, menyiapkan makanan untuk buka puasa, juga untuk mereka. Apabila waktu sudah menunjukkan untuk buka puasa, kami akan makan bersama. Rasa bahagia menyelimuti. Saat itulah aku baru menyadari betapa indahnya hidup ini jika setiap orang bisa saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Suatu hari saya merasa mendapatkan kehormatan, ketika diundang kawan-kawan untuk menghadiri acara Seren Taun di Cigugur, Kuningan. Seren Taun merupakan upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan setiap tahun sebagai ungkapan syukuran masyarakat agraris yang diramaikan oleh ribuan masyarakat sekitar, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara. Warga setempat juga mencatat bahwa Seren Taun dilaksanakan pada bulan yang disebut Bulan Haji. Acara ini berlangsung selama satu minggu dan diisi dengan berbagai macam ekspresi ritual dan seni budaya.

Banyak sekali pengetahuan dan pengalaman yang kudapatkan dari sana. Misalnya cara memaknai arti kehidupan, dunia pertanian, seni budaya hingga pergaulan. Aku juga merasa beruntung karena tidak pernah merasakan kejadian yang mereka alami seperti diperlakukan sebagai lian yang harus disingkiri.

Dari berteman dengan mereka bertiga aku mendapatkan pelajaran yakni bahwa tak ada hal yang seragam dalam hidup ini, apalagi tentang keyakinan. Bahkan orang yang sekeyakinan pun juga saling berbeda dalam banyak hal dan tidak bisa disatukan kecuali saling menghargai. Pengalaman indah seperti ini selalu teringat dalam benakku sampai kapan pun. Ternyata berbeda itu keniscayaan, tetapi saling menghargai perbedaan itu sebuah pencapaian yang indah. Aku tak akan pernah melupakannya.

Facebook Comments