Membaca Kerentanan Anak Muda dalam Jejaring Kekerasan Demonstrasi

Membaca Kerentanan Anak Muda dalam Jejaring Kekerasan Demonstrasi

- in Narasi
4
0
Membaca Kerentanan Anak Muda dalam Jejaring Kekerasan Demonstrasi

Demonstrasi yang terjadi di Indonesia pada tanggal 25-28 Agustus telah memberikan peringatan keras bagi para elite politik dan pejabat untuk memperhatikan gerakan rakyat. Gerakan ini telah membuka kesadaran baru tentang gerakan nyata masyarakat dalam menyuarakan dan merubah kondisi sosial.

Namun, dari kemurnian gerakan demokrasi ini terdapat anomali yang menyedihkan. Beragam kekerasan, kerusuhan, dan penjarahan mewarnai aksi tersebut. Tidak hanya di ibu kota, tetapi kekerasan serupa telah menjalar ke berbagai daerah. Berbagai fasilitas publik dan bangunan pemerintahan mengalami kerusakan yang parah.

Mirisnya, dari berbagai penangkapan dan penetapan tersangka oleh aparat kepolisian, terjaring beberapa oknum perusuh dalam aksi tersebut yang ternyata terdiri dari anak-anak muda, bahkan di bawah umur. Polda Metro Jaya menangkap 351 orang dalam demo 25 Agustus di area Gedung DPR/MPR, termasuk setidaknya 196 pelajar di bawah umur.

Sementara di Jawa Tengah, sebanyak 1.707 orang ditangkap yang terdiri dari 687 orang dewasa dan 1.058 anak-anak ditangkap pasca demo yang berujung anarkis. Sebagian besar anak-anak tersebut berstatus pelajar tingkat SMP dan SMA di wilayah Demak, Semarang, dan Kabupaten Semarang.

Begitu pula yang terjadi di Jawa Timur. Di Blitar, misalnya, dari 143 orang diduga perusuh perusakan dua pos polisi pada Minggu (31/8) dini hari terdiri dari anak di bawah umur sampai dengan remaja. Mereka berasal dari beberapa daerah, termasuk Kota/Kabupaten Blitar, Kediri hingga Jawa Tengah.

Melihat dari berbagai kejadian di atas dan peristiwa lain di berbagai daerah, ada skenario yang sengaja melibatkan remaja dan anak di bawah umur untuk kerusuhan. Mereka tidak hanya didatangkan dari satu daerah, tetapi diorganisasir dari wilayah terdekat.

Kenapa anak muda begitu rentan terpapar dan terjaring dalam gerakan anarkis ini?

Kerentanan dan Pemicu

Masa remaja dan dewasa muda merupakan periode kritis dalam pembentukan identitas. Erik Erikson dalam teori perkembangan psikososialnya menjelaskan bahwa individu berusia 12-18 tahun mengalami krisis “identitas versus kebingungan peran.” Pada fase ini, mereka aktif mencari jati diri dan cenderung mengeksplorasi berbagai bentuk ekspresi, termasuk yang bersifat radikal.

Ketidakstabilan emosional yang menjadi ciri khas usia remaja membuat mereka mudah terprovokasi dan bertindak impulsif. Ketika dihadapkan pada situasi demonstrasi yang penuh emosi, kemampuan mereka untuk berpikir rasional dan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang menjadi terbatas.

Remaja juga memiliki kecenderungan tinggi untuk konformitas kelompok. Individu sering mengikuti mayoritas kelompok meskipun bertentangan dengan penilaian pribadi mereka. Dalam konteks demonstrasi, ketika massa mulai bertindak anarkis, tekanan sosial untuk “ikut serta” menjadi sangat kuat.

Fenomena deindividuasi berperan signifikan. Dalam kerumunan besar, identitas personal individu menjadi kabur dan mereka merasa kurang bertanggung jawab atas tindakan pribadi. Anonimitas dalam massa memberikan rasa “keamanan psikologis” untuk melakukan tindakan yang normalnya tidak akan mereka lakukan.

Dari perspektif psiko-sosial di atas, hal yang tidak bisa diabaikan sama sekali adalah faktor keterpaparan media digital. Era digital telah menciptakan dinamika baru dalam mobilisasi massa. Media sosial dapat mempercepat penyebaran informasi baik yang akurat maupun hoaks dan menciptakan efek echo chamber yang memperkuat pandangan ekstrem.

Algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, menciptakan ruang tertutup yang memperkuat bias konfirmasi. Bagi generasi muda yang merupakan digital natives, paparan konten provokatif dan ujaran kebencian di media sosial dapat membentuk persepsi yang terdistorsi tentang realitas politik dan sosial.

Tidak dapat diabaikan bahwa kerentanan generasi muda juga berakar pada masalah struktural yang lebih dalam. Dalam teori strain sosial, Robert Merton menjelaskan bahwa ketika terdapat ketidaksesuaian antara tujuan budaya (seperti kesuksesan material) dan sarana legitim untuk mencapainya, individu dapat memilih jalur devian sebagai alternatif.

Ketimpangan akses pendidikan, lapangan kerja, dan partisipasi politik menciptakan rasa alienasi di kalangan anak muda. Mereka merasa termarginalisasi dari proses pengambilan keputusan yang memengaruhi masa depan mereka, sehingga tindakan destruktif dianggap sebagai cara untuk “didengar” oleh otoritas.

Mengarifi Anak Muda

Untuk mengatasi kerentanan generasi muda terhadap kekerasan dalam konteks demonstrasi, diperlukan pendekatan yang holistik dan multidimensional. Efek jera sesaat bukan hukuman terbaik dalam meredam kerentanan tersebut. Diperlukan tidak hanya hukuman represif, tetapi pendekatan kultural persuasif dalam mengelola energi anak muda ini.

Kerentanan generasi muda dalam kekerasan demonstrasi bukanlah fenomena yang sederhana, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara faktor psikologis, sosial, dan struktural. Mengarifi fenomena ini diperlukan dengan memahami akar masalahnya untuk mengembangkan strategi pencegahan yang lebih efektif.

Sistem pendidikan perlu memperkuat pendidikan kewarganegaraan dan literasi media untuk membekali anak muda dengan kemampuan berpikir kritis dan menganalisis informasi secara objektif.

Tidak berhenti pada aspek edukasi saja, anak muda perlu diciptakan saluran partisipasi politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap aspirasi generasi muda. Forum-forum dialog yang memungkinkan mereka berkontribusi dalam proses kebijakan akan mengurangi frustrasi dan kecenderungan untuk memilih jalur ekstrem.

Tidak kalah pentingnya adalah program pemberdayaan ekonomi dan sosial yang ditargetkan khusus untuk anak muda dapat mengurangi faktor struktural yang memicu kerentanan mereka. Akses yang lebih luas terhadap pendidikan vokasi, pelatihan keterampilan, dan penciptaan lapangan kerja akan memberikan alternatif konstruktif bagi energi dan idealisme generasi muda.

Alih-alih hanya mengandalkan pendekatan represif, diperlukan upaya komprehensif yang mengatasi faktor-faktor penyebab kerentanan tersebut. Demonstrasi adalah hak demokrasi yang harus dilindungi, namun kekerasan dan anarkisme yang menyertainya adalah anomali yang harus dicegah melalui pemahaman mendalam tentang psikologi dan dinamika sosial yang melatarbelakanginya.

Facebook Comments