Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

- in Narasi
50
0
Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul “Narasi Zero Attack yang Menyesatkan”. Opini itu ditulis oleh pakar kajian terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail.

Dalam tulisan itu, ia menyoroti salah kaprahnya pemahaman terhadap narasi zero attack terrorist. Ia menyayangkan bahwa narasi zero attack terrorist itu dipahami sebagai akhir dari perang melawan terorisme.

Bahkan, narasi itu lantas memunculkan gugatan terhadap eksistensi lembaga-lembaga yang selama ini menjadi leasing sector pemberantasan terosisme. Terutama sekali Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Noor Huda Ismail, dalam opininya juga mewanti-wanti agar kita jangan terlalu euforia dengan narasi zero attack tersebut. Euforia berlebihan hanya akan membuat kita lengah dan kehilangan kewaspadaan dalam menghadapi ancaman terorisme. Padahal, sebagai ide ekstrmisme sebagai alat terorisme itu tidak pernah mati.

Apalagi di era digital. Ekstremisme keagamaan bermetamorfosa ke dalam beragam bentuk. Tugas kita, menurut Huda adalah memastikan ekstrmisme itu tidak punya ruang untuk berkembang.

Opini itu secara umum mengajak kita berpikir konstruktif dalam memahami dan memaknai hakikat narasi zero attack terrorism. Ada sejumlah poin penting dalam memahami narasi tersebut.

Pertama, narasi zero attack terrorist bukanlah bagian dari pencitraan lembaga negara apalagi klaim kosong. Faktanya, selama hampir tiga tahun terkhir ini, aksi teror fisik secara terbuka memang nihil terjadi. Artinya, narasi zero attack terrorist itu merupakan hal yang faktual.

Kedua, zero attack terrorist sebagian sebuah narasi harus dipahami sebagai satu fase pencapaian. Bukan dipahami sebagai akhir dari perjalanan memerangi terorisme. Narasi zero attack terrorist adalah pernyataan bahwa kita berhasil menekan angka aksi teror fisik terbuka hingga ke titik nol.

Namun, jangan lupa bahwa terorisme tidak hanya mewujud ke dalam aksi kekerasan terbuka (hard violence). Terorisme juga bisa mewujud ke dalam aksi kekerasan lunak (soft violence). Contohnya, sebaran pandangan anti kebangsaan di ruang digital yang marak belakangan ini.

Ketiga, narasi zero attack terrorist tidak dimaksudkan untuk membuat publik jemawa apalagi lengah dalam mewaspadai kebangkitan terorisme. Narasi zero attack terrorist justru mengajak kita untuk naik level dalam menanggulangi terorisme.

Yakni level pencegahan dan edukasi untuk memastikan masyarakat tidak terpapar paham radikal. Maka, narasi zero attack terrorism idealnya tidak dijadikan sebagai pembenaran untuk mewacanakan peleburan lembaga-lembaga yang selama ini bertugas menanggulangi terorisme, termasuk BNPT.

Keberadaan BNPT dan stakeholder lain masih sangat penting dalam upaya pencegahan terorisme. Yang perlu dilakukan adalah perubahan strategi penanggulangan terorisme. Jika sebelumnya, penanggulangan terorisme lebih berorientasi pada penindakan di level hilir, seperti penangkapan dan pengungkapan jaringan, maka hari ini penanggulangan terorisme idealnya difokuskan pada pencegahan di level hulu.

Pencegahan itu meliputi perang narasi melawan propaganda ekstremisme agama yang disebar melalui media sosial.

Di era digital, perang melawan terorisme sepertinya akan lebih banyak terjadi di media sosial. Di era digital ini, pandangan ekstrem keragaman yang kerap bertolak belakang dengan nilai kebangsaan. Di era digital, paham ekstrem keagamaan menyelusup melalui algoritma media sosial.

Arkian, kita wajib memahami narasi attack terrorist ini secara konstruktif. Jangan sampai, narasi ini justru menjadi bumerang bagi penanggulangan terorisme. Seperti dikatakan Noor Huda Ismail dalam kolom opininya, bahwa sebagai ide, ekstremisme agama tidak akan pernah mati. Maka, perjuangan melawan terorisme juga tidak akan pernah berakhir, hanya startegi dan pendekatannya saja yang bertransformasi.

Kondisi nihil teror bukan berarti ancaman ekstremisme itu musnah. Ekstrmisme di era digital hanya berubah bentuk. Kelomopok ekstrem memang kesulitan menebar teror dan kekerasan fisik secara terbuka. Namun, mereka menebar teror berupa provokasi kebencian pada aparat pemerintah, ideologi Pancasila, dan kaum minoritas. Tujuannya sama, yakni mempropagandakan berdirinya daulah atau khilafah Islamiyyah.

Media sosial kini menjadi arena battle ground baru bagi perang narasi keagamaan dan kebangsaan. Dalam perang narasi di ranah digital ini, siapa yang berhasil mendominasi algoritma, dialah pemenangnya. Harus diakui, kelompok radikal ekstrem selama ini cukup dominan di jagad medsos. Mereka berhasil memikat kaum remaja dan gen z dengan konten keagamaan yang dikemas secara populer.

Adalah pekerjaan rumah bagi kita, pemerintah, ormas keagamaan moderat, para tokoh agama, serta jejaring umat Islam. Tugas kita hari ini adalah melawan setiap narasi keagamaan ekstrem yang menunggangi algoritma medsos dan hadir ke ruang privat remaja dan kaum muda. Sanggupkah kita?

Facebook Comments