Membaca Ulang Fatwa Jihad Palestina: Perspektif Kritis terhadap Fatwa IUMS

Membaca Ulang Fatwa Jihad Palestina: Perspektif Kritis terhadap Fatwa IUMS

- in Narasi
12
0
Membaca Ulang Fatwa Jihad Palestina: Perspektif Kritis terhadap Fatwa IUMS

Beberapa waktu lalu, Organisasi Internasional yang menaungi para ulama Muslim dari berbagai belahan dunia, yaitu International Union of Muslim Scholars (IUMS), mengeluarkan fatwa jihad melawan Israel. Fatwa ini dikeluarkan sebagai respons atas agresi militer brutal yang dilakukan oleh Israel terhadap Jalur Gaza, Palestina, yang telah berlangsung sejak Oktober 2023 dan terus berlanjut hingga saat ini. Ribuan nyawa warga sipil—termasuk anak-anak, perempuan, dan orang tua—telah melayang, sementara jutaan lainnya terusir dari tanah kelahiran mereka.

Fatwa tersebut mendapat dukungan dari 14 ulama Muslim terkemuka dunia, termasuk dari Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut MUI, fatwa IUMS ini sejalan dengan hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI yang juga menegaskan bahwa membela Palestina adalah kewajiban umat Islam. Dukungan ini tampaknya merepresentasikan rasa solidaritas dan kemarahan kolektif umat Islam terhadap penderitaan rakyat Palestina yang tak kunjung usai.

Namun demikian, dukungan terhadap fatwa ini tidak sepenuhnya bulat. Terdapat juga penolakan dan keberatan dari sejumlah pihak dengan berbagai pertimbangan, baik dari sisi teologis, geopolitik, maupun keamanan nasional. Oleh karena itu, fatwa jihad yang berkaitan dengan konflik Palestina-Israel ini perlu ditinjau kembali secara hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.

Potensi Dampak Negatif: Dari Militansi Lokal hingga Ancaman Keamanan

Salah satu dampak paling serius yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan munculnya gelombang hijrah ke Palestina, yang sering kali disusupi oleh kelompok-kelompok militan transnasional. Tidak menutup kemungkinan, seruan jihad ini bisa dijadikan justifikasi ideologis oleh jaringan teroris internasional untuk merekrut pejuang asing (foreign terrorist fighters) dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Lebih jauh lagi, dukungan terbuka MUI terhadap fatwa tersebut berisiko membangkitkan semangat militansi lokal. Dalam konteks Indonesia yang plural dan sensitif terhadap isu-isu keagamaan, kebangkitan militansi ini bisa memperburuk ketegangan sosial dan politik domestik. Apalagi jika seruan jihad itu dipahami secara sempit sebagai perintah wajib untuk melakukan aksi militer langsung, bukan sebagai perjuangan multidimensi yang bersifat strategis dan damai.

Memahami Jihad Secara Komprehensif

Secara teologis, jihad dalam Islam tidak terbatas pada aspek peperangan fisik. Dalam Al-Qur’an dan hadis, jihad memiliki makna yang lebih luas, mencakup perjuangan intelektual, moral, sosial, dan ekonomi untuk menegakkan keadilan dan memberantas penindasan. Dalam konteks ini, jihad bisa dimaknai sebagai: Jihad bil-qalam (perjuangan melalui tulisan dan ilmu), Jihad bil-maal (melalui sumbangan materi), Jihad bil-lisan (melalui dakwah), dan hanya dalam kondisi tertentu, jihad bis-saif (dengan senjata).

Pemaknaan jihad yang sempit sebagai “perang suci” tanpa melihat konteks historis dan geopolitik justru bertentangan dengan semangat Islam rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, umat Islam harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam interpretasi yang dapat mendorong kekerasan dan konflik baru.

Penolakan Global: Suara dari Ulama Mesir

Mufti Besar Mesir, Dr. Nazir Ayyad, secara tegas menolak fatwa jihad militer yang dikeluarkan IUMS. Ia beralasan bahwa fatwa semacam ini dapat melanggar prinsip-prinsip syariah, terutama jika hasilnya membahayakan masyarakat dan negara-negara Muslim lainnya. Pandangan ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh: “Lā ḍarara wa lā ḍirār” “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”

Kaidah ini menegaskan bahwa setiap tindakan yang diambil oleh umat Islam harus mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. Jika fatwa jihad justru menimbulkan kekacauan, memperkuat jaringan terorisme, atau membahayakan keamanan nasional, maka sudah semestinya ditinjau ulang atau bahkan dibatalkan penerapannya di negara-negara tertentu.

Kepentingan Nasional Indonesia: Jihad dalam Wawasan Kebangsaan

Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, dan prinsip Bhineka Tunggal Ika, memiliki koridor perjuangannya sendiri dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Dukungan terhadap Palestina selama ini sudah dilakukan melalui jalur diplomatik, kemanusiaan, serta partisipasi aktif dalam forum-forum internasional, dan itu merupakan wujud jihad konstitusional yang lebih aman dan berdampak jangka panjang.

Kita tidak boleh menggadaikan amanat persatuan nasional hanya demi memenuhi seruan global yang belum tentu sesuai dengan konteks kebangsaan. Seruan jihad harus diterjemahkan dalam bentuk yang relevan dengan kondisi sosial-politik Indonesia, bukan dengan pendekatan militeristik yang justru berisiko menimbulkan konflik domestik baru.

Peran MUI: Tafsir Lokal atas Fatwa Global

Sebagai patron keislaman paling otoritatif di Indonesia, MUI seharusnya tidak sekadar mengafirmasi fatwa IUMS, melainkan menyaring dan menerjemahkannya sesuai dengan nilai-nilai keislaman khas Nusantara—Islam yang moderat, damai, dan bijaksana. Beberapa poin dalam fatwa IUMS memang layak didukung, seperti seruan untuk boikot produk pro-Israel atau dukungan ekonomi untuk warga Gaza, tetapi poin-poin yang menyerukan keterlibatan militer langsung perlu dikritisi secara tajam. MUI harus berperan aktif dalam memberikan edukasi kepada umat, agar tidak terjadi misinterpretasi fatwa yang berujung pada ekstremisme. Narasi jihad harus dikemas dalam bahasa perjuangan kultural, sosial, dan spiritual, sebagaimana telah lama menjadi ciri khas dakwah Islam Indonesia.

Jihad Palestina dan Kewaspadaan Global

Perjuangan membela Palestina adalah tugas kemanusiaan sekaligus keimanan. Namun, dalam mengekspresikan solidaritas tersebut, umat Islam perlu mengedepankan hikmah, kehati-hatian, dan kebijaksanaan. Seruan jihad dari luar negeri tidak bisa serta-merta diterapkan di semua tempat. Dibutuhkan pemahaman kontekstual dan analisis mendalam agar perjuangan tersebut tidak berubah menjadi bumerang bagi negara asal. Indonesia harus tetap berdiri sebagai negara Muslim terbesar yang memberi contoh bagaimana jihad dilakukan dengan penuh etika, strategi, dan kesadaran geopolitik, demi menjaga stabilitas dalam negeri dan kontribusi damai di panggung global.

Facebook Comments