Membangun Perdamaian Dunia Berbasis Pancasila, Mungkinkah?

Membangun Perdamaian Dunia Berbasis Pancasila, Mungkinkah?

- in Narasi
1
0
Membangun Perdamaian Dunia Berbasis Pancasila, Mungkinkah?

Di tengah dunia yang terus bergolak oleh konflik dan rivalitas geopolitik, gagasan tentang perdamaian sering kali terdengar seperti utopia belaka. Konflik Israel-Palestina yang tak kunjung padam, ketegangan antara Israel-Amerika Serikat dengan Iran yang memanas, perang yang masih membara antara Rusia dan Ukraina, hingga ketegangan historis antara India dan Pakistan menjadi deretan fakta keras tentang dunia yang jauh dari damai.

Dalam realitas seperti ini, pertanyaan “Apakah mungkin membangun perdamaian dunia?” terasa semakin retoris. Namun Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negaranya, justru menawarkan satu pendekatan unik dan etis dalam menjawab tantangan global tersebut. Maka pertanyaan selanjutnya yang layak untuk kita ajukan diajukan adalah mungkinkah membangun perdamaian dunia berbasis Pancasila di tengah konflik global yang memanas?

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bukan sekadar seperangkat nilai normatif yang berlaku untuk internal kehidupan bangsa. Dalam Pembukaan UUD 1945, termaktub secara eksplisit bahwa salah satu tujuan pembentukan negara Indonesia adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Mandat konstitusional ini mempertegas bahwa Indonesia, melalui nilai-nilai Pancasila, memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi pada terciptanya perdamaian dunia.

Namun, untuk menjawab apakah Pancasila bisa menjadi dasar dalam membangun perdamaian global, kita perlu melihat konflik-konflik yang terjadi secara lebih jernih dan obyektif. Ambil contoh konflik Israel-Palestina. Ini bukan semata-mata konflik teritorial, tetapi telah menjadi konflik identitas, keagamaan, dan politik yang berlapis.

Pendekatan kekuatan senjata dan supremasi militer selama puluhan tahun telah gagal menghasilkan solusi jangka panjang untuk mengakhiri konflik tersebut. Dalam konteks ini, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dari Pancasila—yang menempatkan harkat manusia di atas politik kekuasaan—bisa menawarkan paradigma baru: menyelesaikan konflik melalui penghargaan terhadap hak hidup dan martabat kedua pihak, serta mengedepankan dialog antarpihak dengan dasar kemanusiaan universal, bukan hanya kepentingan sektoral.

Ketegangan antara Israel-Amerika Serikat dengan Iran pun tidak kalah kompleks. Terpolarisasinya posisi global, sanksi ekonomi, serta narasi permusuhan yang terus didengungkan memperlebar jurang antara bangsa. Dalam hal ini, sila ketiga Pancasila—Persatuan Indonesia—dapat dimaknai ulang sebagai prinsip solidaritas internasional. Bukan sekadar persatuan dalam konteks kebangsaan, tetapi dalam arti yang lebih luas: persaudaraan antarbangsa yang menolak politik adu domba dan hegemoni unilateral.

Demikian pula pada kasus perang Rusia-Ukraina yang telah menewaskan ratusan ribu orang dan merusak tatanan keamanan Eropa. Dalam narasi geopolitik Barat dan Timur, perang ini sering dibaca sebagai persaingan pengaruh antara blok NATO dan Rusia. Tapi jika didekati dari sila keempat Pancasila—kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan—maka jalur diplomasi, dialog serta penyelesaian yang melibatkan suara rakyat seharusnya menjadi jalan utama, bukan operasi militer.

Ketegangan India-Pakistan juga menjadi contoh konflik berkepanjangan yang terjebak dalam politik nasionalisme eksklusif dan rivalitas agama. Pancasila—Ketuhanan Yang Maha Esa—mengajarkan bahwa keyakinan spiritual harus menjadi fondasi perdamaian, bukan alat pembenaran konflik. Pancasila menolak penggunaan agama sebagai alat mobilisasi kekerasan dan menekankan pentingnya toleransi yang berpijak pada kesadaran akan kemanusiaan bersama. Pancasila tidak memaksa seragamnya teologi, tetapi menyemai keadaban antarumat.

Namun, apakah Pancasila benar-benar bisa menjadi tawaran global? Di sinilah tantangannya. Dunia hari ini lebih banyak dikendalikan oleh kepentingan ekonomi-politik, blok kekuasaan, serta realitas kekuatan militer. Pancasila, yang menekankan pada kemanusiaan, musyawarah, dan keadilan sosial, terdengar lemah di tengah gempuran logika senjata dan keuntungan. Meski begitu, nilai-nilai Pancasila justru semakin relevan karena ia menawarkan pendekatan humanistik yang bersifat inklusif dan transnasional.

Indonesia sendiri telah membuktikan kapasitasnya untuk menjadi jembatan perdamaian. Keterlibatan aktif Indonesia dalam Gerakan Non-Blok dan sikap politik luar negeri bebas aktif menunjukkan bahwa Pancasila tidak hanya menjadi ide, tapi juga praksis. Namun tentu masih banyak pekerjaan rumah. Internalisasi Pancasila dalam praktik politik luar negeri Indonesia harus diperkuat agar lebih berani mengadvokasi perdamaian global secara konsisten, termasuk ketika harus berbeda sikap dengan negara-negara besar.

Membangun perdamaian dunia berbasis Pancasila memang bukan perkara mudah, tapi bukan berarti mustahil. Dunia butuh alternatif. Dan Pancasila adalah tawaran yang tidak datang dari pusat kekuasaan global, melainkan dari bangsa yang pernah dijajah, yang mengerti arti penderitaan dan nilai kemerdekaan bagi setiap bangsa. Di tengah dunia yang terus mengedepankan dominasi dan logika kekuatan, Pancasila hadir dengan pendekatan yang mengedepankan dialog, keadilan sosial, dan solidaritas umat manusia.

Facebook Comments