Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024. Tentu bukan tanpa alasan Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres RAN PE tersebut. Seperti kita tahu, ekstremisme dan terorisme yang berjubah agama telah menjadi problem akut di negeri ini. Ekstremisme dan terorisme tidak hanya menjadi fenomena kriminalitas biasa, namun lebih dari itu telah menjelma menjadi kejahatan kemanusiaan luar biasa yang dampaknya berpengaruh pada stabilitas keamanan dan ketahanan negara.
Maka dari itu, upaya pencegahan gerakan ekstremisme dan terorisme harus dilakukan secara sistematis dan melibatkan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, serta memiliki payung hukum yang kuat. Ditekennya Perpres RAN PE oleh presiden merupakan langkah penting dalam upaya memberangus ekstremisme dan terorisme yang selama ini terbukti telah menjadi semacam kanker yang menggerogoti tubuh bangsa dari dalam. Kita sudah menyaksikan sendiri bagaimana ekstremisme dan terorisme telah menimbulkan efek destruktif luar biasa. Berkaca dari fakta historis itulah, Perpres RAN PE menemukan relevansinya dalam konteks kekinian.
Namun, seperti dapat diduga Perpres RAN PE ini mendapat kritik tajam bahkan penolakan dari sejumlah kalangan. Mudah ditebak jika suara kontra pada Perpres RAN PE ini digaungkan oleh para eksponen eks-HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan para dedengkotnya yang merasa ruang geraknya kian dipersempit. Para mantan anggota dan simpatisan HTI sebagai lokomotif ekstremisme berjubah Islam di Indonesia selama ini merupakan pihak paling merasa terancam dengan ditandatanganinya Perpres RAN PE tersebut. Mengamati apa yang mengemuka di media digital hari-hari belakangan ini, narasi penolakan Perpres RAN PE ini umumnya bertumpu pada tiga argumen.
Pertama, Perpres RAN PE dianggap sebagai representasi dari sikap pemerintah yang anti-Islam atau islamopobhia. Kedua, Perpres RAN PE merupakan wujud dari tindakan sewenang-wenang pemerintah yang rentan menimbulkan tindakan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, Perpres RAN PE dinilai bisa memicu konflik horisontal lantaran memberikan kesempatan warga untuk memolisikan orang yang dianggap menyebarkan ekstremisme atau terorisme. Jika ditarik ke belakang, argumen-argumen ini sebenarnya bukan barang baru melainkan hanya daur ulang dari argumen lama yang dipoles kembali agar tampak relevan. Argumen serpa juga digaungkan pada momen pembubaran HTI tahun 2017 dan pelarangan FPI pada Desember 2020 lalu. Tuduhan islamophobia dan abuse of power nyaris selalu hadir ketika pemerintah menutup ruang gerak kaum ekstremis dan teroris di negeri ini.
Keracuan Argumen Para Penolak Perpres RAN PE
Tiga argumen para penolak Perpres RAN PE itu mengandung cacat logika dan sangat mudah dipatahkan. Pertama tudingan bahwa pemerintah bersikap anti-Islam atau islamophobia merupakan hal yang tidak berdasar. Kebijakan Perpres RAN PE sama sekali tidak memiliki unsur anti-Islam. Apa yang dilawan Pemerintah melalui Perpres RAN PE bukanlah umat IsLam, melainkan kelompok ekstremis, radikalis dan teroris yang menjadikan Islam sebagai kedoknya. Kaum ekstremis apalagi teroris jelas tidak merepresentasikan Islam.
Dalam istilah Bassam Tibi gerakan yang diusung kaum ekstremis dan teroris lebih tepat disebut sebagai islamisme. Yakni gerakan ideologis-politis yang mengeksploitasi Islam demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Tibi dalam bukunya Islamism and Islam telah secara gamblang menarik garis demarkasi antara Islam sebagai ajaran moral-spiritual dan islamisme sebagai gerakan politis-ideologis. Di Indonesia, kaum radikal-ekstremis memiliki agenda mengganti dasar dan falsafah negara Pancasila menjadi khilafah islamiyyah memakai cara teror dan kekerasan.
Musuh pemerintah Indonesia dan juga pemerintah di sebagian besar negara di dunia saat ini bukanlah umat Islam, melainkan kaum ekstremis dan teroris yang membajak Islam demi kepentingan kekuasaan. Menutup ruang gerak ekstrmisme dan terorisme dengan demikian tidak bisa disebut sebagai islamophobia apalagi anti-Islam. Memberangus ekstremisme dalam banyak hal justru melindungi kesucian Islam itu sendiri. Ini artinya, menuding pemerintah anti-Islam karena menerbitkan Perpres RAN PE ialah tuduhan absurd.
Kedua, argumen bahwa pemerintah bertindak abuse of power dengan mengeluarkan Perpres RAN RE juga terasa sumir. Indonesia sebagaimana kita tahu merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika dan India. Konstitusi kita menganut sistem pemerintahan terbatas, dimana kekuasaan dibagi ke dalam tiga matra, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ala Montesquieuini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih kekuasaan sekaligus munculnya kekuasaan absolut. Konsekuensi logis dari pembagian kekuasaan ini ialah keputusan yang diambil pemerintah (eksekutif) sudah pasti merupakan keputusan bersama yang disepakati oleh legislatif sebagai representasi perwakilan publik dan yudikatif sebagai unsur penegak hukum.
Selain itu, negara pada titik tertentu diberikan otoritas atau kewenangan untuk mengerahkan sumber dayanya demi menjaga keutuhan dan stabilitas negara. Wewenang ini disebut coersive power yakni kewenangan negara untuk memberangus anasir yang dianggap mengancam kedaulatan negara, tentu dengan mengedepankan jalur hukum tanpa melanggar HAM. Kewenangan coersive power ini wajib dipakai untuk melindungi kedaulatan negara sekaligus menjaga kepentingan mayoritas warga dari ancaman kaum ekstremis. Jika tidak, maka pemerintah justru akan dianggap gagal melindungi kedaulatan negara.
Ketiga, argumen bahwa Perpres RAN PE berpotensi menimbulkan konflik horisontal juga sama sekali tidak berdasar. Jika dipahami secara obyektif, penegakan hukum terhadap pelaku ekstremisme dan terorisme justru akan mencegah munculnya kekacauan sosial yang lebih besar. Selama ini kaum ekstremis menjadi benalu bagi kehidupan sosial, politik dan agama di Indonesia. Mereka bernaung di bawah sistem demokrasi namun secara diam-diam merongrong otoritas dan wibawa negara dengan menebar fitnah, adu-domba, kebencian bahkan teror yang merenggut korban jiwa. Kaum ekstremis menyumbang andil besar pada munculnya perpecahan dan kekacauan sosial. Ironisnya, terpaksa diam melihat manuver kaum ekstremis lantaran tidak ada payung hukum yang mengaturnya.
Perpres RAN PE yang memungkinkan publik memolisikan individu terlibat ekstremisme dan terorisme adalah langkah maju yang patut diapresiasi. Kita sudah terlalu lama membiarkan kaum ekstremis, radikalis dan teroris memiliki ruang gerak yang leluasa untuk bermanuver. Akibatnya seperti dapat kita lihat; aksi teror selama dua dekade belakangan merenggut banyak korban jiwa dan kerugian material. Kaum ekstremis juga kian meluaskan jaringannya dengan melakukan rekrutmen dan kaderisasi. Demikian pula, kaum radikal leluasa mendelegitimasi pemerintah melalui narasi kebencian yang mereka sebar di media sosial. Dengan adanya payung hukum yang mengatur pencegahan ekstremisme dan terorisme kita patut optimis negeri ini akan aman dan kokoh dengan falsafah Pancasila dan semboyan Bineka Tunggal Ika-nya.