Negara Harus Tunduk pada Rakyat, bukan Para Perusuh: Ketika Provokasi Disakralisasi sebagai Aspirasi

Negara Harus Tunduk pada Rakyat, bukan Para Perusuh: Ketika Provokasi Disakralisasi sebagai Aspirasi

- in Narasi
1
0
Negara Harus Tunduk pada Rakyat, bukan Para Perusuh: Ketika Provokasi Disakralisasi sebagai Aspirasi

Rasa sedih, geram dan marah tentu adalah kewajaran ketika melihat kesewenang-wenangan oknum aparat tanpa hati memukul, menendang dan melindas para demonstran. Tetapi, demonstrasi sebagai media demokrasi tidak boleh dikotori oleh penjarahan dan perusakan terhadap fasilitas publik dan negara.

Gerakan rakyat merupakan gerakan murni yang menyuarakan aspirasi dan kegetiran nasib kalangan bawah saat ini. Di tengah para elite yang semakin mempertontonkan kemewahan dan hedonisme berlebihan saat kondisi hidup yang tidak lagi baik-baik saja. Rakyat wajib bergerak mengontrol, memperingatkan dan menyuarakan aspirasi.

Namun, di balik ketulusan gerakan ini terdapat kelompok yang selalu memanfaatkan situasi. Kericuhan, kerusuhan dan penjarahan adalah sarana membuat kecemasan. Target yang dituju bukan itu. Ketidakpercayaan masyarakat dan pembangkangan sipil yang meluas yang akan meruntuhkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara adalah asa mereka.

Lihatlah betapa masif gerakan ini dengan pola yang sama untuk menjarah dan membakar fasilitas publik dan pemerintahan. Gerakan rakyat memang harus diapresiasi, tetapi gerakan memanfaatkan situasi dengan penjarahan dan pengrusakan di berbagai daerah sungguh kentara.

Negara memang harus tunduk pada kedaulatan rakyat. Di atas landasan sistem politik demokrasi yang kokoh kedaulatan ada di tangan rakyat, sementara para pejabat adalah alat dan pelayan mereka. Namun, negara juga tidak boleh tunduk pada perusuh dan provokator yang mengatasnamakan gerakan rakyat.

Tipis memang dan sangat tidak kentara ketika mereka melebur dalam gerakan massa. Seolah membawa aspirasi tetapi sejatinya mereka menebar provokasi yang ingin meluluh-lantakan stabilitas keamanan.

Provokasi destruktif telah disakralisasi sebagai aspirasi. Ia menjelma seolah menjadi keinginan masyarakat. Ketika kebatinan masyarakat diselimuti amarah kepada para elite yang nir-nurani, provokasi dimainkan seolah itu menjadi aspirasi masyarakat.

Penjarahan seolah diabsahkan untuk melawan keserakahan. Pengrusakan seolah diabsahkan untuk melawan kesewanangan. Dan kekerasan seolah dihalalkan untuk melawan penindasan. Itu adalah narasi-narasi yang ditabur ke ruang publik untuk memobilisasi masyarakat.

Lalu, akhirnya mereka tiarap. Penegakan hukum begitu cepat dilakukan. Namun, provokasi tidak berhenti. Bagi mereka pembungkaman hak berpendapat telah terjadi. Penegakan hukum di mata mereka adalah alat untuk membungkam aspirasi.

Ketika para perusuh diamankan, narasi kembali menari tentang matinya demokrasi. Seolah demokrasi telah runtuh dengan ditangkapnya para perusuh. Perang klaim dan narasi dimainkan untuk merebut simpati.

Sekarang nalar sehat kita sedang dipertaruhkan. Apa bedanya ; tuntutan terhadap aparat untuk menghukum oknum aparat yang telah melanggar hukum dengan ajakan untuk merusak fasilitas dan markas aparat. Dalam narasi mereka ajakan menjarah, merusuh dan membakar adalah bagian dari aspirasi. Apakah membungkam para pengajak kerusuhan dan provokator penjarahan adalah membungkam demokrasi?

Tentu, ada desain yang lebih besar dari kejadian ini. Delegitimasi pemerintah adalah tujuannya. Membuat masyarakat tidak percaya sama sekali terhadap proses kerja pemerintahan merupakan target sesungguhnya. Mereka sedang mendesain untuk menghadapkan masyarakat agar meluapkan amarah, kebencian dan kegemasannya dengan pemerintah dengan cara kekerasan.

Sekali lagi matinya empati nalar dan nurani pejabat dan elite politik bukan sesuatu yang harus ditolerir dan didiamkan. Tetapi, menabur ajakan kekerasan dan penjarahan yang mengotori aspirasi bukan pula tindakan yang harus dipuja.

Gerakan rakyat telah menang. DPR membuka ruang dialog, pemerintah mengundang ke istana untuk menjaring aspirasi. Wakil rakyat harus terus diawasi ketika mereka mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi yang kuat ketika kedaulatan rakyat ditakuti, bukan dikebiri. Nuansa dan suasana keterbukaan ini harus terus dijaga agar tidak mudah layu.

Namun, kita juga perlu waspada dan siaga untuk mewaspadai gerakan yang hendak merusak tatanan stabilitas dan keamanan masyarakat. Mereka juga sedang mengintai emosi dan kemarahan publik untuk dikonversi menjadi gerakan destruktif dan chaos.

Tentu, mereka sedang menari lidah dan narasi tentang matinya demokrasi. Penegakan hukum terhadap provokator dan para perusuh bagi mereka adalah alat untuk membungkam aspirasi. Itu adalah bagian dari menunggangi demokrasi dengan provokasi.

Provokasi sedang disakralisasi seolah menjadi aspirasi. Kerusuhan dan ajakan kekerasan sedang dikonstruksi sebagai bagian ekspresi wajar dari gerakan rakyat. Negara harus pandai membaca situasi. Negara harus tunduk pada kedaulatan rakyat, tetapi bukan kepada kepentingan para provokator dan perusuh.

Facebook Comments