Dengan 236 juta penduduk Muslim, Indonesia menjadi negara nomor dua setelah Pakistan sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Hal ini sekaligus sebagai penanda bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius atau masyarakat yang kepercayaan terhadap agama mampu melapisi rasionalitas dan tindakannya (Kompas.id, 9 April 2024).
Sebagai salah satu pedoman utama dalam bermasyarakat, agama melalui para tokoh agama menjadi rujukan dalam aktivitas masyarakat. Ditambah lagi Berdasarkan Sistem Informasi Masjid (Simas) Kementerian Agama RI, tahun 2022 ada 299.644 masjid, 364.085 mushala, dan 54.375 majelis taklim di Indonesia. Sehingga rumah ibadah tidak lagi sebatas menjadi rumah untuk mendekatkan diri pada Allah namun juga sebagai rumah hidup bersama untuk menambah ilmu bersama para pemuka agama.
Hal ini menjadi celah bagi kelompok radikal untuk masuk ke dalam masjid untuk memberikan pemahaman yang keliru tentang agama. Hal ini sempat terjadi pada 2018, saat masjid-masjid di lingkup pemerintahan seperti kementerian, lembaga, dan BUMN, belum bebas dari paparan radikalisme.
Dalam catatan Badan Intelijen Negara (BIN), dari 41 masjid yang terindikasi telah terpapar radikal, tersisa 17 lagi yang kondisinya masuk kategori parah. Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, mengatakan dakwah yang disampaikan khatib dalam ceramah salat Jumat di belasan masjid itu misalnya, berisi ajakan untuk berperang ke Suriah atau Marawi, Fipilina Selatan, dan disampaikan dengan “memelintir” ayat-ayat dalam Al Quran. (BBC.com, 19 November 2018).
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai bentuk kehadiran negara dalam memerangi radikalisme dan terorisme menyatakan bahwa masjid mesti menjadi benteng pertahanan melawan radikalisme. Para pemuka agama melalui kotbah dan pendekatannya mesti menjadi pendidik bagi masyarakat, khususnya anak-anak dan generasi muda akan pentingnya hidup damai dan penuh toleransi terhadap perbedaan.
Deradikalisasi Mantan Napiter
BNPT yang oleh undang-undang juga mendapat tugas melakukan deradikalisasi bertanggungjawab untuk mengembalikan napiter ke fitrahnya sebagai masyarakat Indonesia. Direktur Bidang Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid mengatakan bahwa lembaganya telah melakukan banyak upaya agar mantan napiter tidak lagi kembali ke kelompok terorisme.
Upaya mengembalikan napiter untuk dapat hidup bermasyarakat dimulai dengan asesmen psikologis dan kemandirian, tingkat keterpaparan paham radikal, kondisi wilayah, keluarga, serta lingkungan masyarakat. Proses mempersiapkan napiter untuk dapat kembali ke masyarakat ini merupakan tahapan penting agar menyiapkan kedua pihak untuk dapat saling memahami dan menjaga. BNPT memastikan agar napiter tidak kembali masuk dalam jaringan terorisme dan meyakinkan masyarakat bahwa napiter binaan BNPT sudah persih dari paparan paham radikal dan dapat hidup mandiri di tengah masyarakat. (Koran Tempo, 8 April 2024).
Kembalinya para teroris ke Fitrah adalah kembali kepada kemurnian, kesucian kembali ke asal, visi misi lahirnya di dunia, dan tentang bekal apa setelah meninggal dunia. Hal ini membutuhkan upaya bersama antara negara, napiter, dan masyarakat. Selayaknya Allah yang Maha Pengampun, manusia sebagai ciptaan-Nya juga wajib mengampuni kesalahan sesamanya dan saling menjaga.