Di tengah pandemi yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, kita masih saja dihadapkan dengan problem lama kita, yakni menguatnya sekterianisme, provokasi, dan polarisasasi yang merusak rasa persaudaraan kita sesama bangsa.
Media sosial kita dipenuhi dengan narasi-narasi negatif-destruktif. Apalagi pasca kepulangan Rirzieq Shihab dari Arab Saudi, media sosial ibarat media tempur, satu pihak dengan pihak lainnya saling serang dengan argumennya masing-masing.
Wajah media sosial yang seharusnya damai, harmoni, dan merekatkan, kini kita disuguhkan dengan polarisasi dua kelompok besar. Pro-Rizieq Shihab dan anti-Rizieq Shihab. Kita mengira polarisasi dengan sebutan cebong dan kampret sudah selesai, ternyata justru menguat dengan bentuk dan yang baru.
Media sosial seharusnya kita isi dengan kedamaian dan rasionalitas. Media sosial harus jadi perekat kemanusiaan antara sesama. Akan tetapi, dalam realitanya, wajah media sosial kita penuh dengan debu kotor. Debu kotor itu berbentuk ujaran kebencian, ir-rasionalitas, rasisme, intoleransi, paham-paham radikal, hoax, dan sederet konten negative lainnya.
Buruknya wajah media sosial kita memang tak lepas dari sifatnya sendiri yang bersifat maya. Karena bersifat maya, akibatnya setiap orang bisa lebih leluasa dan bebas bersuara. Kebebasan bersuara ini dalam beberapa kasus justru terperosok ke dalam suatu yang menimbulkan kebencian dan dis-hormoni.
Wajah ini perlu dibersihkan segera, sebab bagaimana pun, sosial media adalah ruang publik, tempat bertemunya opini, nalar, debat publik. Membiarkan wajah medsos kita terus menerus diterpa debu-debu kotor, sama dengan membiarkan wajah dan masa depan bangsa ini buram.
Dalam konteks ini, salah satu cara untuk menghilangkan debu-debu yang mengurita ini adalah dengan cara mengaktifkan akal sehat publik. Akal sehat ini perlu dirawat dan diruwat, demi sebuah kebenaran. Merawat kebenaran ini dengan cara mengaktifkan akal sehat. Mengaktifkan akal sehat, salah satunya adalah dengan debat.
Debat dan Kebenaran
Debat yang tidak mencari kalah-menang, melainkan debat yang bisa membuat kita sama-sama menuju kepada kebenaran. Bukan debat caci-maki dan penuh umpatan. Metode debat sebagai mencari kebenaran sudah jauh dikenal manusia. Konon, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tak jauh dari kegiatan debat.
Debat sebagai media mengaktifkan akal sehat, hampir dipakai dalam setiap bidang dan profesi. Tak mengherankan, jika kompetisi debat hukum, ekonomi, politik, bahasa, tata negara, dan sosial-humaniora di kampus-kampus semakin menjamur.
Hal yang sama, ketika terjadi pesta demokrasi, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, sampai negara, tak luput dari kegiatan debat. Ini dilakukan, tak lain karena “kebenaran” bukan hanya milik individu atau kelompok tertentu, melainkan ia ada di mana-mana. Ia harus dicari.
Mengaktifkan akal sehat dengan debat perlu dimarakkan. Ini tidak lain, karena preferensi, dukungan, kepentingan politik, ideologi kelompok mulai menyusup ke arena diskusi netizen.
Tak jarang, pada awalnya masalah pribadi ditarik-tarik –sengaja atau tidak –menjadi soal teologi. Bahkan, sejatinya itu adalah soal pemenuhan materi ditarik ke urusan politik. Atau awal itu adalah urusan privat sengaja dibawa-bawa ke ranah publik.
Dengan mengaktifkan akal sehat lewat debat –baik itu di media sosial maupun di kehidupan sehari-hari –kita bisa memilih, memilah dan menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya masing-masing. Urusan privat tempatkan di ranah privat; masalah teologi, tempatkan di wilayah teologi; politik, dudukkan di arena politik; dan seterusnya.
Jangan dibolak-balik dan dicampur-adukkan. Akibatnya media sosial riwuh dan tidak terkontrol, sebab tidak ditempatkan di tempatnya masing-masing. Debat adalah salah satu jalan terbaik untuk menempatkan sesuatu sesuatu sesuai dengan tempatnya.
Di tambah, euforia kebebasan masyarakat Indonesia dengan adanya internet dan sosial media, menjadi momentum yang tepat bagi setiap anak bangsa -terutama netizen –untuk kembali lagi, mengaktifkan akal sehatnya.
Banyaknya kasus ujaran kebencian, meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong (hoax), tidak lepas dari akal sehat yang sudah terkotori.
Perdebatan di media sosial merupakan sesuatu yang sah, bahkan dianjurkan dalam dunia demokrasi. Dengan debat, akan terlihat kejelasan, kebenaran, konsistensi dari argumen dan dalil yang dilemparkan di medsos. Debat ini perlu dimarakkan, agar masyarakat dan netizen terbiasa dengan perbedaan; terbiasa menganalisa sesuatu, membangun dalil, dan mengungkapkan fakta.
Dengan itu, konten negatif, bisa hilang, setidaknya bisa diminimalisir. Defisit debat sama dengan defisit akal sehat. Indonesia sebagai bagian dari negara demokrasi, sudah seharusnya tidak alergi dengan debat. Sebagai netizen yang smart, perlu kiranya mempertimbangakan debat sebagai wahana untuk mencari dan mengorek fakta di balik sesuatu.