Memupuk Kesantunan, Menebar Perdamaian di Dunia Maya

Memupuk Kesantunan, Menebar Perdamaian di Dunia Maya

- in Editorial
1560
0

Jika dikatakan bahwa media merupakan sumber utama informasi, pembentukan opini, sikap bahkan ideologi, dewasa ini peran tersebut telah beralih dari media mainstream ke media alternatif yang kita kenal dengan media sosial (social media). Memang sumber isu media sosial masih merujuk pada isu besar yang dikembangkan oleh media mainstream, tetapi pengaruh pembentukan opini di media sosial lebih besar dari pada media mainstream. Tepatnya, masyarakat lebih banyak mendapatkan dan mempercayai media sosial dari pada media mainstream.

Hadirnya media sosial merupakan momentum pergeseran cara interaksi manusia modern dari ruang nyata ke ruang maya. Sebagai instrument interaksi, di situ ditemukan persinggungan antar satu dengan yang lainnya yang melibatkan banyak informasi, komunikasi, pengetahuan, dan kepentingan yang saling bertemu. Sayangnya, sebagai ruang interaksi baru, media sosial tidak dibarengi dengan prinsip etika, norma, dan kesopanan yang lazimnya digunakan dalam interaksi secara langsung. Kesopanan, kesantunan, dan keadaban menjadi hal yang mudah diabaikan dalam berinteraksi di dunia maya.

Dalam interaksi di dunia nyata, kita mungkin butuh berpikir kesekian kali untuk menghina presiden dan aparat pemerintah, mencaci maki ulama, ustadz, dan kiai serta merendahkan orang lain berdasarkan perbedaan suku, ras dan etnik. Namun, dalam pergaulan di dunia maya semua hal tabu tersebut menjadi biasa dan mudah dilakukan. Tidak hanya ruang perdebatan, tetapi ruang konflik dan perkelahian sejatinya terjadi di dunia maya melalui media sosial. Pertanyaan berikutnya adalah apakah konflik di dunia maya merupakan representasi konflik yang akan terjadi dalam realitas sosial?

Tanpa kita sadari, sebenarnya konflik di dunia maya merupakan benih yang akan menyebabkan kejadian serupa di dunia nyata. Salah seorang Profesor dari Central European University, Julia Buxton menilai media sosial memang menjadi media alternatif yang mendorong lahrinya proses demokratisasi media. Tetapi, dalam pengamatannya di Venezuala, media sosial jutsru menimbulkan efek negatif dari suburnya kesalahan informasi (disinformation) dan kesalahan representasi (misrepresentation). Dalam peristiwa Arab Spring, Peter Beaumont dengan lugas memotret secara sederhana peristiwa besar tersebut dari “ a young man or a young woman with a smartphone”. Dan Sesungguhnya revolusi Mesir pada tahun 2011 sebenarnya berawal dari revolusi twitter (Twitter Revolution).

Dari berbagai kejadian tersebut, hari ini kita sedang menghadapi era maha dahsyat dari kekuatan media sosial yang menjadi media alternatif dalam mendorong perubahan baik bersifat positif maupun negatif. Kebanyakan, apa yang disajikan media sosial terkadang penuh manipulasi fakta dan informasi yang seolah sebagai representasi realitas yang sesungguhnya. Parahnya, para penikmat media sosial terbiasa melakukan sharing dan comment tanpa proses verifikasi kebenaran konten di media sosial.

Hal serupa sebenarnya juga terjadi di tanah air akhir-akhir ini. Peristiwa yang terjadi di ruang sosial dipotret di media sosial dengan penuh nada kebencian, hasutan, fitnah, dan penanaman kebencian antar satu dengan lainnya. Proses disinformasi dan misrepresentasi disajikan di media sosial yang sengaja membenturkan kelompok satu dengan lainnya. Akibatnya, etika, norma, kesopanan dan keadaban sebagai bangsa yang luhur tergilas oleh kepentingan kelompok yang ingin menanam benih konflik dan kekerasan di tengah masyarakat melalui media sosial.

Dalam konteks kuatnya pengaruh media sosial hari ini, kecerdasan bermedia sosial sangat dibutuhkan. Pertama, selalu rajin melakukan proses verifikasi kebenaran dan validitas konten adalah hal utama. Tidak ada jaminan 100 persen setiap informasi di media sosial sebagai representasi kebenaran. Sehingga mengedepankan sikap kritis dan kehati-hatian adalah prinsip utama. Jangan selalui menilai berita yang tersebar di dunia maya dan media sosial dari sekedar judulnya saja. Bacalah secara utuh dan kroscek kebenarannya dengan membandingkan dengan sumber lainnya.

Kedua, jangan mudah memberikan komen dan menyebarkan konten tanpa proses verifikasi. Menahan diri untuk berkomentar tentang isu yang sedang ramai diperbincangkan apalagi juga menyebarkan adalah langkah untuk menghindari kita dari kesalahan. Tanpa disadari kadang kita menjadi bagian dari proses yang justru kontra produktif terhadap kejadian yang sebenarnya. Kita mudah terpancing tanpa pernah meneliti lebih lanjut kebenaran isi dan sumber informasi.

Selanjutnya, mengedepankan etika berkomunikasi di media sosial. Tidak ada bedanya antara ruang maya dan dunia nyata. Proses interaksi selalu membutuhkan etika komunikasi. Kesopanan, kesantunan, dan keramahan adalah etika yang juga harus dilakukan di dunia maya. Idealnya kita semestinya menahan diri untuk berselancar di dunia maya dalam kondisi emosi. Kadang kekesalan dan suasana hati kita dapat mudah mencemari kata-kata yang kita lempar di media sosial.

Akhirnya, dunia maya merupakan representasi diri kita di dunia nyata. Media sosial adalah ruang tamu kita untuk berinteraksi dengan orang lain. Jadikan media sosial untuk menjalin silaturrahmi yang produktif dan bermanfaat, bukan sebagai sarana menebar permusuhan dan kekerasan.

Facebook Comments