Menafsirkan Pancasila secara Kaffah

Menafsirkan Pancasila secara Kaffah

- in Narasi
1855
3
https://jalandamai.org/pancasila-yudian-dan-milenial.html

Persoalan relasi agama dan Pancasila; yang melahirkan beberapa kutub yang saling berseberangan, sesungguhnya merupakan perkara yang sudah usang. Meskipun begitu upaya mengkontradiksikan agama dan Pancasila yang diprakarsasi kelompok tertentu masih berseliweran hingga saat ini.

Penulis melihat bahwa kelompok yang menganggap bahwa musuh Pancasila adalah agama atau agama dan Pancasila saling bertentangan, disebabkan karena problem pemahaman, ranah intepretasi atau penafsiran. Artinya, kelompok yang yang keukeuh berkeyakinan bahwa antara agama dan Pancasila itu bak minyak dan air, perlu disadarkan segera dengan jalan menghadirkan penafsiran tentang Pancasila secara komprehensif.

Memang, jika kita membolak-balik kitab suci bahkan literatur otoritatif dalam agama, Islam misalnya, tidak ditemukan istilah atau konsep Pancasila. Namun jangan lantas gegabah menyimpulkan bahwa Pancasila itu tidak islami, bahkan ada yang keluar dari mulut mereka yang katanya paling alim, bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam.

Memang ada yang lebih soft, dengan mengatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama, namun ada sistem atau dasar negara yang lebih baik dari Pancasila. Mereka ini lantas menggiring narasi bahwa Pancasila sudah terbukti gagal mengawal Indonesia ke depan pintu gerbang kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Baca Juga : Pancasila, Yudian, dan Milenial

Begitulah orang atau kelompok ketika hendak menggali nilai dan ajaran yang berangkat dari Alquran tidak dipahami secara komprehensif. Diantara ciri pemahaman yang komprehensif itu adalah mempertimbangkan konteks, baik ketika Alquran diturunkan maupun konteks atau ruang di mana Alquran akan diaplikasikan.

Dengan menggunakan paradigma tafsir kontekstual, maka akan lahir sebuah pemahaman yang konprehensif sehingga ajaran dan nilai Islam yang terkandung dalam Alquran menjadi hudan li an-nâs, sâlihun likulli zamânin wa makânin, dan mendatangkan kemaslahatan. Jadi, jika nilai-nilai Pancasila bertentangan dengan setidaknya tiga hal tersebut, baru bisa dikatakan dan disimpulkan bahwa Pancasila bertentangan (ta’arud) dengan agama (Islam-red). Sebaliknya, jika butir-butir Pancasila sesuai dengan tiga hal tersebut, maka agama justru telah sesuai dan menjadi inspirasi nilai-nilai Alquran. Dan sejarah mencatat bahwa Pancasila diperas dari ajaran agama, terutama Islam.

Dualisme Identitas yang Tetap Selaras

Sebagai muslim, misalnya, hidup di Indonesia tidak lantas tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara dan menjadi falsafah dalam menapaki kehidupan bernegara. Seorang Muslim, begitu juga agama lain, telah memikul dua identitas sekaligus. Pertama sebagai agamawan berkewajiban menjalankan dan mengamalkan ajaran agama masing-masing dan kedua sebagai rakyat Indonesia yang harus pula menjunjung tinggi Pancasila dan menjadikannya sebagai ruh dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dualisme identitas ini tidak menjadi sebuah pilihan tetapi secara otomatis akan melekat pada semua rakyat Indonesia. Jika dipahami dengan baik, maka tak ada masalah terkait dualisme identitas tersebut karena keduanya memang selaras.

Dalam posisi ini pula, tidak dibenarkan pandangan bahwa ayat suci di bawah konstitusi. Artinya, Pancasila lebih mulia ketimbang kitab suci agama. Justru pemahaman yang harus dibangun adalah, bahwa Pancasila justru menjadi titik temu antara keduanya. Logikanya, Pancasila dan ayat suci tidak bertentangan sehingga mengatakan bahwa ayat konstitusi lebih tinggi daripada ayat suci dan sebaliknya, merupakan langkah mempertentangkan Pancasila dan agama. Padahal, sekali lagi, keduanya tidak bertentangan. Jika masih ada yang mempertentangkan, maka semakin ia mempertentangkan akan semakin kelihatan ‘jahiliyyah’nya.

Menjernihkan Tafsir Pancasila

Adian Husaini (2011) pernah mengulas beberapa pendapat kalangan sekuler tentang Pancasila. Kelompok ini menafsirkan butir-buti Pancasila, teruma sila pertama, dengan berusaha memisahkan agama dan negara. Memang, Pancasila tidak hanya dihimpit oleh kelompok islamis yang mengusung formalisasi syariah, namun juga digempur oleh ideologi lain seperti sekulerisme, komunisme, liberalisme dan lainnya.

Maka, dalam kesempatan ini, perlu ditegaskan (kembali) tentang tafsir Pancasila secara jernih dan komprehensif. Pada uraian ini, penulis tidak akan mencari sumber lima sila Pancasila dalam Alquran atau hadis karena kajian tentang ini sudah banyak.

Oleh sebab itu, penulis lebih memilih beberapa poin berikut. Pertama, Islam subtantif. Penerimaan Pancasila dengan perubahan dihapus tujuh suku kata sesungguhnya merupakan kebijaksaan kalangan Islamis saat itu. Mereka lebih memilih berjuang menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kenegaraan melalui jalur Islam sebagai inspirasi produk hukum dan lainnya. Subtansi ajaran Islam harus menjiwai seluruh roda pemerintahan Indonesia.

Sehingga dalam tataran seperti itu, umat Islam memahami bahwa nilai-nilai agama tetap menjadi yang utama. Sehingga, kelompok ini ketika hendak menafsirkan ayat suci, selalu mempertimbangkan aspek lokalitas seperti adat, budaya dan lain sebagainya. Misalnya terkait dengan sila persatuan Indonesia, mereka merujuk apada ayat yang memerintahkan untuk bekerja sama dalam kebaikan (QS. [5]:2).

Kedua, demokrasi. Dasar negara Pancasila dengan mengambil demokrasi sebagai sistem negara, oleh sebagian kalangan, dinilai telah menjauhkan nilai-nilai Islam karena demokrasi diangap sebagai produk non-Islam. Lalu dari sini muncul penafsiran bahwa tidak ada konsep demokrasi dalam Islam, yang ada adalah syura (musyawarah). Dan syura bukanlah demokrasi.

Narasi yang dibangun oleh kelompok ini, antara lain, demokrasi bertentangan dengan Islam karena dalam demokrasi, suara rakyat dianggap sebagai suara ‘tuhan’. Yang berdaulat dalam sistem ini adalah manusia. Suara rakyat dianggap sebagai suara tuhan inilah yang disoalkan.

Namun, jika didekati dengan pendekatan tafsir yang lebih luas lagi, maka akan didapati bahwa antara syura dan demokrasi ada pertalian. Bahkan nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, kebebasan, keterlibatan, dan lainnya juga dapat dijumpai dalam ajaran Islam sehingga jangan kaku untuk kemudian menolak demokrasi.

Ketiga, nasionalisme. Tidak hanya demokrasi. Nasionalisme, yakni kesadaran tentang kebangsaan juga disoal. Menurut mereka, tidak ada ajaran nasionalisme dalam Islam. Padahal jika kita mau sedikit membuka mata, Nabi Muhammad pun sejatinya telah mengajarkan kepada kita tentang pentingnya nasionalisme.

Semoga kelompok-kelompok yang membatasi pemahaman atau penafsiran hanya pada teks saja, tanpa adanya sebuah konteks, dapat segera beranjak menuju penafsiran yang kaffah. Sehingga bisa menerima Pancasila sebagai dasar negara tanpa harus meninggalkan atau menentangkan dengan agama. Dan harus diakui dan disadari bagi kita semua, bahwa inilah tantangan kita hari ini. Sebuah tantangan yang cukup berat tapi harus dijalani sebagai upaya untuk memperbaiki negeri ini agar tidak diambil alih oleh kelompok yang ketika memahami agama ‘nafasnya/sumbunya pendek’.

Facebook Comments