Pada 4 Februari 2020, Presiden Jokowo melantik Yudian Wahyudi sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sebagai pengganti Yudi Latif yang mundur sejak Juni 2018. Rektor UIN Sunan Kalijaga ini mendapat arahan langsung dari Presiden agar penguatan ideologi Pancasila fokus terhadap kelompok milenial yang jumlahnya mencapai 125 juta orang.
Menurut lulusan Harvard ini dalam pertemuan koordinasi penguatan nilai-nilai Pancasila pada tingkat Pejabat Tinggi Madya di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), BPIP, di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (17/2/2020), penguatan Pancasila perlu masuk melalui semua platform media sosial yang digemari generasi milenial. “Semua channel kita gunakan, akan dibuat dengan santai tapi tetap berisi. Misalnya melalui kegiatan kuliner tapi arahnya ke keadilan sosial. Main bola, ke persatuan. Seni atau film-film pendek,” kata dia.
Lanjutnya, BPIP merasa perlu memikirkan rumusan langkah-langkah membumikan Pancasila untuk kaum milenial dengan menyesuaikan psikologi mereka. Hal ini juga dirasa perlu menggandeng kementerian-kementerian terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Agama. Jika sasarannya adalah generasi milenial, tentu sudah tepat berkolaborasi dengan Kemdikbud, apalagi menterinya merupakan ahli di bidang digital platform.
Sayangnya, dalam Forum Rapat Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Desember 2019 lalu, Yudian Wahyudi justru sempat “menguliti” Menteri Nadiem. “Hati-hati kalau dia merombak dari awal itu, saya yakin pasti bangsa ini akan tersungkur dalam waktu sepuluh tahun ke depan. Karena tidak ada lagi yang ahli dalam bidang-bidangnya. Karena semuanya mau dijadikan start up (perusahaan rintisan teknologi).” ucap Yudian dengan tegas kala itu.
Yudian khawatir jika Menteri Nadiem terlalu menyederhanakan sistem pendidikan, maka orang-orang lebih suka hal yang instan dan tidak ada yang mau sekolah lagi. “Ini bahaya. Al-Ajalatu Minas Syaiton (instan bagian dari setan). Ini harus hati-hati, kita harus pelan-pelan. Karena kalau tidak, kita akan tersungkur,” tambah Yudian. Bahkan Yudian juga mengingatkan Nadiem Makarim agar tidak berlebihan. Sebab ia baru barusia 35 tahun dan belum pengalaman sebagaimana kalangan tua.
Baca Juga : Relasi Agama Dan Pancasila Dalam Hadist
Kini, tak ia sangka, mesti menjalin kerjasama yang intens dengan Kemdikbud dan Nadiem Makarim tentunya. Sehingga kritiknya terhadap digital platform yang menurutnya “instan” justru perlu digunakan sebagai sarana pembadanan Pancasila terhadap generasi milenial yang memang suka hal-hal instan, misalnya mengemas Pancasila dalam 60 detik atau 15 detik di Instagram sebagai “ruang berkumpul” terbesar generasi milenial.
Tentu masih menjadi tanda tanya bagi kita semua, langkah apa yang ditempuh Kepala BPIP untuk membadankan Pancasila yang sempat ia sebut bermusuhan dengan agama. Dalam penjelasannya di tayangan Blak Blakan yang diproduksi oleh kanal Youtube Detik.com, maksud Yudian agama sebagai musuh Pancasila adalah kelompok eksklusif yang mengatasnamakan agama untuk melakukan propaganda dan ujaran-ujaran kebencian terhadap kelompok lain, sehingga menimbulkan intoleransi yang kemudian sampai pada sikap fundamentalisme agama.
Fundamentalisme agama atau kekerasan mengatasnamakan agama merupakan manifestasi dari gagalnya Negara dalam menjamin kesetaraan dan keadilan dalam ekonomi, politik, dan hukum. Sehingga sebagian kelompok menyebarkan tawaran alteratif yang menyesatkan melalui kajian-kajian tertutup yang lama kelamaan menumbuhkan sikap anti perbedaan, anti keragaman, anti Bhineka Tunggal Ika, dan tentu saja akhirnya anti Pancasila. Sehingga, fundamentalisme agama yang merupakan persoalan struktural ini, perlu dituntaskan secara sistemik melalui kolaborasi lintas kementerian, bidang, dan generasi. Salah satunya adalah melalui film.
Oleh sebab itu, jika pembadanan Pancasila akan fokus pada generasi milenial, salah satu contoh yang dapat kita pakai adalah film Mata Tertutup (2011) yang disutradarai Garin Nugroho. Film ini dimaksud sebagai propaganda antikekerasan dan antifundamentalisme. Untuk itu film ini kemudian ditayangkan di sekolah-sekolah. Menurut buku Membela Islam Membela Kemanusiaan (2017), film Mata Tertutup memberikan informasi memadai terhadap pelajar mengenai bahaya fundamentalisme agama, sehingga pelajar-pelajar itu dapat mengantisipasi tanda-tanda adanya fundamentalisme agama di sekitar mereka.
Tak hanya film panjang, seperti kata Kepala BPIP, kuliner, olahraga, film pendek, seni, dan budaya juga dapat menjadi sarana untuk membadankan Pancasila di kalangan generasi milenial. Hanya, kendalanya adalah persis seperti kata Kapala BPIP, yaitu gap generasi tua dan muda yang menyebabkan beda persepsi atau cara pandang terhadap dunia digital.
Beda cara pandang ini cukup merepotkan, sebab dalam hal kebijakan, pengambil kebijakan adalah generasi tua yang bisa jadi salah menentukan keputusan atau cara yang paling efektif dalam membahasakan ulang Pancasila untuk generasi milenial. Jika cara yang dipilih akhirnya hanya sekadar supaya BPIP punya agenda dan penganggaran rutin, maka tenaga dan anggaran yang sudah dicurahkan tak memiliki dampak yang signifikan.
Cara masuk dunia generasi milenial adalah dengan mengenali generasi ini, salah satunya adalah khas generasi milenial yang kolaboratif. Kerja kolaborasi merupakan cara kerja generasi milenial yang mengedepankan kerjasama dan jejaring, generasi milenial semakin menyukai pola hidup simple dan minimalis, sehingga generasi ini memilih “meminjam” daripada memiliki. Untuk itu pendekatan-pendekatan terhadap milenial perlu memperhatikan salah satunya nilai kolaboraif ini, misalnya dengan kunjungan lintas agama yang diadakan Duta damai Yogyakarta dalam memperingati Sumpah Pemuda 2019 lalu atau kolaborasi produksi film-film pendek yang menceritakan nilai-nilai Pancasila di sekolah atau lingkungan generasi milenial.