Mendakwahi “Tuhan” Dengan Lembut

Mendakwahi “Tuhan” Dengan Lembut

- in Keagamaan
2657
0

Siapa tak kenal Ramses Akbar II alias Fira’un? Penguasa Mesir yang menjadi musuh besar Musa dan adiknya, Harun, ini dilukiskan sebagai pribadi yang jahat, sombong, juga takabur. Tangan besi menjadi ciri utama kekemimpinannya. Kiai Bisyri Mushtafa menyebutnya berperangai “banget lacute” (sangat buruk). (al-Ibriz li Ma’rifah al-Qur’an al-‘Aziz: III/2203).

Ketika paranormal-paranormal pembisiknya menginformasikan akan hadirnya bayi lelaki dari Bani Israil yang kelak akan menggulingkan kekuasaannya, maka dengan membabi buta ia membunuh seluruh bayi laki-laki yang lahir. Musa, tentu saja, diantara yang dikecualilan oleh Allah Swt, karena ia-lah lakon kisah selanjutnya.

Menerima ilham dari Allah Swt, Bundanya melarungkannya di sungai Nil, hanya berbekal ketawakkalan (Qs. al-Qashshash: 7). Alkisah, bayi Musa kecil yang berada dalam peti itu ditemukan oleh isteri Fira’un, Asiyah. Ia merawatnya penuh cinta dan sayang, hingga Musa tumbuh besar di lingkungan keluarga calon musuhnya yang penuh angkara-murka. Musa adalah sebaik-baik kisah musuh dalam selimut.

Ayah angkat Musa, Fira’un, itu angkuh. Al-Qur’an merekam, bahkan ia mendaku dirinya sebagai “tuhan tertinggi”; “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi” (Qs. an-Nazi’at: 24). Kaumnya harus tunduk-patuh padanya. Karena merasa mampu menentukan hidup-mati seseorang, maka yang membangkang dibinasakan dan yang taat dilestarikannya.

Atas perangai buruk inilah, Musa dan adik sekaligus juru bicaranya, Harun, mendapat mandat khusus mendakwahi Fira’un si “tuhan jadi-jadian” itu, tepatnya setelah ia ber-‘uzlah (menyepi) ke Bukit Tursina. Mandat yang teramat berat: melawan “tuhan” (dengan “t” kecil) sekaligus ayah angkatnya sendiri.

Sebelum melaksanakan titah ini, Allah Swt menitipkan pesan penting pada Musa dan Harun: “Pergilah kalian berdua kepada Fir’au! Sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut! Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”(Qs. Thaha: 43-44).

Dari ayat ini, setidaknya tiga pelajaran utama bisa dipetik. Pertama, Allah Swt mengakui keburukan Fir’aun. Innahu tagha (sesungguhnya ia telah melampau batas). Ungkapan inilah yang Allah Swt gunakan untuk menunjuk karakter Fira’un. Selain karena kepemimpinannya yang adigang-adigung-adiguno, juga pengakuannya sebagai “tuhan”. Keburukan ini dimafhum oleh penduduk langit dan bumi.

Kedua, upaya meluruskan keburukan harus didengungkan tanpa jeda. Inilah prinsip dakwah yang mesti dijunjung tinggi. Baik obyek dakwah itu rakyat jelata, maupun penguasa. Baik wong alit (orang kecil), maupun wong elit (orang gedean). Keengganan atau kesungkanan pada obyek dakwah, karena kekuasaannya, wajib dinafikan.

Tentang dakwah tanpa pilah-pilih obyek, Rasulullah mengingatkan; Siapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya! Jika tak kuasa, maka dengan lisannya! Dan jika (tetap) tak kuasa, maka dengan hatinya! Inilah-selemah-lemah iman (HR. Muslim). Kemungkaran apapun dan dilakukan oleh siapapun, harus diluruskan; kendati hanya mendoakannya sebagai ajakan yang paling lemah.

Ketiga, kaifiyah (cara) meluruskan keburukan. Ada ungkapan, al-thariqah afdhal min al-madah (cara lebih utama dari substansi). Substansi yang bagus, disampaikan dengan cara yang buruk, akan mubadzir dan menjadi buruk. Substansi yang biasa, disampaikan dengan cara yang bagus, akan menjadi luhur.

Menyampaikan kebenaran pada Fira’un yang dikelilingi tukang-tukang sihir, harus dengan cara yang santun. Di sisi lain, Musa berkarakter temperamental. Tonjokannya menyebabkan prajurit Fira’un meregang nyawa. Tempelengannya menjadikan mata Izra’il juling (Menurut Ibn Qutaibah, kisah ini statusnya shahih, bersumber dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad. Lihat: Rasionalitas Nabi: 2008, h. 205 dan Kritik Hadis: 2006, h. 91).

Musa yang temperamental dan Harun yang lembut, diperintah Allah Swt mendakwahi “tuhan jadi-jadian” itu dengan kelembutan (qaulan layyinan). Harapannya ia ingat dan takut. Allah Swt memahami, hati yang keras hanya bisa ditembus dan dilunakkan oleh kelembutan dan keluhuran. Itu sebabnya, dengan Fira’un sekalipun, kelembutan dan keluhuran wajib dikedepankan. Apalagi berdakwah pada selain Fir’aun?

Hanya saja, karena keangkuhannya, Fira’un tetaplah Fira’un. “tuhan” ini harus meregang nyawa di tengah lautan, dihimpit ombak yang mengganas dalam ketakaburannya. Sebagai pelajaran, jasadnya diabadikan oleh-Nya (QS Yunus: 92).

Benar, ia mengungkapkan keislamannya di saat nafas di ujung tenggorokan (Qs. Yunus: 10). Para ulama menyangsikan kesungguhan ucapannya. Perdebatan perihal keimanan Fira’un pun ramai dibincangkan.[]

Facebook Comments