Mengamplifikasi Dakwah Aswaja di Tengah Wahabisasi Berlabel “Manhaj Salaf”

Mengamplifikasi Dakwah Aswaja di Tengah Wahabisasi Berlabel “Manhaj Salaf”

- in Narasi
20
0
Mengamplifikasi Dakwah Aswaja di Tengah Wahabisasi Berlabel “Manhaj Salaf”

Mata saya terbelalak ketika tengah menggulir lini masa media sosial Instagram. Di laman explore saya menemukan sebuah unggahan dengan tajuk “lowongan kerja manhaj salaf”. Sontak saya kepo dan mencari tahu lebih lanjut akun tersebut. Ternyata, akun tersebut berisi unggahan tentang lowongan kerja.

Tapi, beda dengan lowongan kerja pada umumnya, semua loker di akun tersebut menyertakan kualifikasi atau syarat “haris bermanhaj salaf” dan jika perempuan wajib mengenakan jilbab syar’i. Lowongan yang tersedia pun macam-macam. Mulai dari pengajar sekolah untuk anak usia dini, penjaga gerai toko kosmetik, perawat anak, dan sebagainya.

Tempo hari saya sempat dikejutkan dengan seorang influencer yang mengunggah konten tentang sekolah-sekolah sunnah. Sekolah yang konon menerapkan sepenuhnya ajaran Rasulullah ini tidak mencapur murid laki-laki dan perempuan, dan memberi tirai jika gurunya beda jenis kelamin dengan muridnya.

Di sekolah sunnah itu, segala jenis musik diharamkan. Pokoknya, sekolah itu mengklaim sebagai lembaga pendidikan yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Anehnya, semua sekolah berlabel sunnah yang dipromosikan itu berbiaya puluhan juta sekali masuk dengan SPP per-bulan setara Upah Minimum Provinsi di Jawa Tengah.

Belum reda kekagetan saya pada fenomena “Sekolah Sunnah” kini saya dibuat kaget dengan fenomena “Loker Manhaj Salaf”. Ternyata arus Wahabisasi di negeri ini sudah jauh berkembang, berevolusi, dibranding sedemikan rupa sehingga umat Islam tidak menyadari bahwa itu sebenarnya adalah wahabisasi terselubung.

Citra Wahabi memang kadung buruk bagi umat Islam. Wahabi identik dengan paham dan gerakan keislaman yang tidak hanya berkarakter puritan, namun juga pro-kekerasan. Maka, mereka membutuhkan citra baru agar bisa diterima oleh umat Islam. Belakangan mereka membasuh citra negatifnya itu dengan label sunnah atau salaf.

Meski dibungkus dengan label baru, yakni “sunnah” dan “manhaj salaf”, pada dasarnya karakteristik Wahabi itu tidak bisa ditutupi sepenuhnya. Ciri atau karakteristik pemikiran Wahabi itu bisa diidentifikasi dari sejumlah hal. Antara lain, pertama corak berpikir literalis yakni memahami teks keagamaan secara harfiah tanpa berusaha mengkontekstualisasikannya dengan dinamika zaman.

Kedua, pola pikir tektualis, yakni menjadikan teks keagamaan sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan menolak hasil pemikiran yang berbasis pada akal (rasio). Ketiga, mudah membidahkan segala bentuk peribadatan yang tidak dimuat dalam teks dan tidak dikenal di masa Rasulullah. Atas dasar inilah, kaum Wahabi menolak keras adaptasi kearifan lokal ke dalam kegiatan keagamaan.

Keempat, pro-kekerasan, yakni menoleransi cara-cara kekerasan untuk memaksakan klaim kebenarannya pada kelompok lain. Sejak awal kemunculannya, kaum Wahabi tidak segan memakai cara kekerasan untuk mengeliminasi segala hal yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya mereka tidak segan menghancurkan makam nisan para sahabat Nabi dan para ulama.

Label “sunnah” dan “salaf” ini tampaknya berhasil memikat kelompok muslim menengah-perkotaan. Terbukti, semua hal yang dilabeli “sunnah” dan “salaf” nisbi laris di kalangan menengah perkotaan. Mereka tidak menyadari bahwa itu adalah branding baru dari wahabi. Dalam konteks inilah pentingnya memasifkan dakwah Aswaja untuk membendung wahabisasi berkedok “sunnah” dan “salaf” tersebut.

Dakwah Aswaja perlu diperluas jangkauannya tidak hanya di kalangan muslim tradisional-pedesaan. Namun merambah ke kelompok muslim menengah-perkotaan. Dakwah Aswaja ini penting sebagai narasi tandingan dari dakwah Wahabi yang intoleran, dan anti-pada kearifan lokal. Dakwah Aswaja yang berkarakter moderat dan adaptif pada kearifan lokal kiranya juga harus disebarluaskan di media sosial.

Dakwah Aswaja; Merambah Digital, Menarget Muslim Menengah Perkotaan

Saat ini harus diakui bahwa dakwah Wahabi bisa dikatakan mendominasi lanskap dakwah keislaman di jagat digital. Memang, jumlah mereka sebenarnya minoritas. Namun, mereka berhasil mengorkestrasi narasi dakwahnya di media sosial sehingga cenderung berhasil mendominasi algoritma medsos. Di era digital, kemampuan mengorkestrasi narasi melalui algoritma media sosial itu adalah modal penting untuk memobilisasi opini dan persepsi umat.

Di tengah gelombang wahabisasi dengan label “manhaj salaf” ini, amplifikasi dakwah Aswaja adalah sebuah keharusan. Jika menengok sejarah, maka Islam yang pertama kali masuk ke bumi Nusantara ini adalah Islam berpaham Ahlussunnah wal Jamaah, yakni Islam yang berdasar pada empat mazhab (Syafii, Hambali, Maliki, dan Hanafi).

Islam Aswaja yang dibawa oleh para saudagar asal Gujarat dan sufi Persia itu juga memiliki karakteristik yang adaptif pada kearifan lokal Nusantara. Itulah gen asli Islam Indonesia. Ironisnya, wajah Islam Nusantara yang otentik itu kini tergerus oleh wahabisasi yang dikemas dalam jargon “manhaj salaf”. Amplifikasi dakwah Aswaja di medsos dengan segmentasi kelompok menengah-perkotaan penting untuk mengembalikan otentisitas Islam Nusantara tersebut.

Facebook Comments