Mengapa Kita Masih Lomba Makan Kerupuk? : Ritual Kemerdekaan dan Persatuan

Mengapa Kita Masih Lomba Makan Kerupuk? : Ritual Kemerdekaan dan Persatuan

- in Narasi
6
0
Mengapa Kita Masih Lomba Makan Kerupuk? : Ritual Kemerdekaan dan Persatuan

Setiap Agustus tiba, ada sensasidéjà vuyang unik. Jalanan tiba-tiba dipenuhi bendera, gapura dicat ulang, dan satu pertanyaan klasik kembali muncul:Apa makna kemerdekaan di era digital ini?

Alih-alih menjawab dengan teori besar, mari kita tengok fenomena paling sederhana sekaligus paling mengakar: lomba 17 Agustus. Mengapa bangsa yang katanya modern dan digital masih sibuk dengan lomba makan kerupuk, tarik tambang, atau panjat pinang?

Jika meminjam kacamata Émile Durkheim, sosiolog Prancis, tradisi ini bukan sekadar hiburan kampung. Ia adalah ritual modern yang memunculkancollective effervescence—energi kolektif yang mengikat kohesi sosial. Lomba panjat pinang, misalnya, bukan hanya tentang hadiah di puncak. Ia adalah miniatur perjuangan kolektif: ada yang jadi tumpuan, ada yang jadi pemanjat, semua berlumur oli. Sebuah metafora gotong-royong yang konyol, tetapi brilian.

Kemerdekaan: Hurriyah yang Bermartabat

Dalam filsafat Islam klasik, kemerdekaan disebuthurriyah. Kata ini bukan sekadar bebas, melainkan bebas yang bermartabat. Bedanya jelas dengan “bebas merdeka” seperti kambing lepas dari tali. Kemerdekaan menuntut tanggung jawab moral. Bayangkan, kebebasan tanpa kendali bisa menjadi anarki. Seperti seorang dewa Yunani yang punya kekuatan super tapi tidak tahu cara menggunakannya—sebuah bencana.

Dulu, musuh kita jelas: penjajah bersenjata. Kini, lawannya lebih licin: dominasi ekonomi, infiltrasi budaya, dan ideologi transnasional yang merongrong identitas kita. Dalam derasnya arus globalisasi, perayaan 17 Agustus dengan segala keunikan lokalnya—dari tari Saman hingga Reog Ponorogo—adalah bentuk resistensi kultural. Ia cara kita berkata, “Kami punya identitas, kami tidak akan hanyut.”

Di sini, nasionalisme bukan sekadar slogan tua, tetapi strategi bertahan hidup di panggung global.

Secara spiritual, kemerdekaan adalah anugerah. Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”(QS. Al-Anfal: 53).

Ayat ini mengingatkan bahwa nikmat kemerdekaan bisa berubah menjadi bencana jika kita sendiri yang merusaknya. Karena itu, perayaan 17 Agustus bukan sekadar pesta pora, tetapidzikir kebangsaan—ungkapan syukur dan janji untuk mengisinya dengan kebaikan.

Revitalisasi Semangat

Ketika kita melihat anak-anak berlomba balap karung atau berdiri tegak dalam upacara bendera, sebenarnya kita sedang melakukan revitalisasi semangat kebangsaan. Ini adalah proyek kolektif yang tidak pernah selesai.

Dalam setiap lomba rakyat, parade budaya, dan upacara bendera, kita tidak hanya mengenang masa lalu. Kita meneguhkan arah masa depan. Kemerdekaan bukan sekadar tonggak sejarah, melainkan napas yang terus diisi.

Dan napas itu, bagi saya, wujudnya ada dalam riuh rendah tawa saat kerupuk jatuh dari mulut, dalam suara tarikan tambang yang menegang, dan dalam derap langkah serempak saat merah putih berkibar. Itu adalahgenius lociIndonesia: jiwa tempat yang terus hidup dan berdenyut di setiap pelosok.

Sampai jumpa di Agustus berikutnya, dengan pertanyaan yang sama—dan dengan jawaban yang, saya yakin, akan selalu relevan. Semoga kita tak mengubah nikmat besar ini.

Facebook Comments