Mengatasi Pendangkalan Agama: Tantangan Dakwah dalam Konteks Kebhinekaan dan Hegemoni Agama

Mengatasi Pendangkalan Agama: Tantangan Dakwah dalam Konteks Kebhinekaan dan Hegemoni Agama

- in Narasi
83
0
Mengatasi Pendangkalan Agama: Tantangan Dakwah dalam Konteks Kebhinekaan dan Hegemoni Agama

Di Indonesia, praktik konversi iman atau berpindah agama menjadi isu sensasional yang hangat dibincangkan publik. Apa lagi, jika pelaku konversi agama tersebut berasal dari kalangan figur publik seperti para artis, elite politik, atau agamawan.

Jangankan pindah agama, menyeberang sekte saja meski masih dalam satu rumpun agama, tetap jadi bahan perbincangan. Ambil saja contoh Ustaz Hanan Attaki yang melakukan baiat untuk menyatakan diri sebagai warga NU.

Sebetulnya, dalam konteks negara majemuk seperti Indonesia, konversi agama adalah konsekuensi dari realitas keberagaman yang ada di tubuh bangsa. Perjumpaan individu atau kelompok lintas agama dalam relasi sosial menjadi alasan signifikan hal itu terjadi. Entah lantaran intervensi melalui proses dakwah dan misionaris, desakan pemenuhan administrasi, atau pun dengan suka rela.

Masalahnya, bagi sebagian kelompok, konversi agama menjadi penting. Sebab, orang-orang yang berpindah agama akan menambah kuantitas kelompok tersebut sehingga dapat memperkuat eksistensi mereka.

Selain itu, praktik berpindah agama ini juga dianggap sebagai jalan menuju “keselamatan” bagi para pemeluk agama yang menjadi tujuan konversi. Misalnya, subjek yang konversi ke Islam akan diklaim telah memperoleh hidayah, atau subjek yang konversi ke Kristen akan dianggap telah menerima keselamatan dan pengampunan.

Tidak heran jika terdapat skema dakwah yang merupakan dakwah misionaris untuk mengajak orang melakukan konversi agama. Masalahnya, praktik ini akan mengarahkan asumsi publik bahwa kegiatan dakwah yang dilakukan para agamawan memang ditujukan untuk mengajak banyak orang memeluk agama mereka.

Masih ingat dengan acara Login di kanal Youtube yang dibawakan oleh Habib Husain Jafar dan Onadio? Bagi non-viewer, sekilas dari nama programnya, tampak seolah acara tersebut merupakan acara bertema keislaman yang bertujuan untuk mengajak orang-orang nonis untuk login agama Islam.

Padahal kenyataannya, isi acara tersebut fokus mengajak umat untuk bertoleransi antar agama lewat dialog bersama tokoh agama lain (nonis) untuk membuka perspektif pemahaman tentang nilai dan ajaran agama mereka. Meski demikian, fakta tersebut tidak lantas meluruhkan trademark Login yang notabene tetap jadi istilah ajakan orang melakukan konversi agama.

Dakwah dan Harmoni dalam Kebhinnekaan

Perlu diketahui bahwa dalam konversi agama terdapat dua paradigma yang berlawanan. Pertama, bagi kelompok agama tujuan, konversi tersebut merupakan jalan keselamatan. Kedua, bagi kelompok agama asal yang ditinggalkan, konversi “keluar” agama tersebut dianggap bertentangan dengan kebenaran agama, atau dalam bahasa teologisnya disebut apostasi.

Singkatnya, “penyimpangan” bagi satu agama merupakan “kebenaran” pada agama lain. Ryan Cragun dan Joseph Hammer (2011) menjelaskan fenomena ini sebagai bagian dari hegemoni agama. Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa agama itu normatif dan tindakan yang menyimpang kesetiaan beragama dianggap sebagai penyimpangan.

Pemikiran tersebut, jika tidak dipahami secara keseluruhan, agaknya mencederai keluhuran nilai-nilai ke-bhinneka-an yang telah ditanamkan oleh leluhur bangsa sejak lama. Bhinneka yang merupakan bahasa Sansekerta bermakna “beraneka”, menekankan keberagaman yang ada di masyarakat, baik dalam hal suku, agama, budaya, bahasa, maupun pandangan hidup, menuntut kita untuk mampu memahami satu sama lain.

Dakwah misionaris yang menjadikan konversi agama sebagai tujuan utama, selain mencederai keluhuran nilai bhinneka, juga menjadi cermin terjadinya pendangkalan dalam kehidupan beragama kita. Perihal ini, Gus Dur (1997) pernah menuturkan bahwa pendangkalan tersebut tidak lain karena masih banyak orang yang memiliki anggapan jika orang beragama lain adalah musuh. Sehingga orang mudah sekali terpancing untuk melakukan persaingan antar agama dan membuat kerusuhan atas nama agama.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi pendangkalan itu?

Menurut Gus Dur, jawabannya ada dua. Pertama, kita harus meyakinkan warga masyarakat agar tidak mudah dihasut. Perselisihan atas nama agama tidak pernah murni dilakukan atas nama agama, melainkan karena tujuan politik. Kedua, kita harus menyadari bahwa tugas kita sekarang memang berat. Kita berhadapan dengan kenyataan campur aduknya agama dengan politik: kehidupan beragama yang mengalami pendangkalan dan manipulasi politik atas agama.

Kenyataan tersebut harus disikapi dengan kembali mendalami pengetahuan agama kita dan menyadarkan diri bahwa sejatinya hubungan antar agama harus dijalin atas dasar saling pengertian. Selain toleransi dan tenggang rasa, kita juga dituntut untuk saling mengerti agar tidak hanya rukun, tapi kita juga mampu hidup berdampingan secara damai.

Kritik, koreksi, atau pelurusan konsep agama lain yang ada dalam konten dakwah misionaris ada lantaran mereka tidak mengenal satu sama lain. Akhirnya, terjadilah mis-persepsi di mana fokus dakwah kita bukan menyoal tentang bagaimana bisa hidup damai dengan umat dari agama lain, melainkan saling mengkritik dan mengunggulkan diri masing-masing.

Sejatinya, penganut satu agama tidak perlu membicarakan secara negatif konsep agama lain. Soal itu menjadi urusan masing-masing. Di dalam semangat kerohanian kita, konsep-konsep kemanusiaan dan fungsi agama bagi kehidupan manusia dapat dikembangkan lebih jauh. Tentu dengan mempertimbangkan wilayah mana yang jadi urusan (agama) masing-masing dan wilayah mana yang terbuka untuk didialogkan. Dan hal-hal tersebut akan berjalan jika kita memiliki kesadaran untuk menghormati konsep agama lain.

Facebook Comments