Mengeliminasi Pesantren Radikal

Mengeliminasi Pesantren Radikal

- in Narasi
912
0
Mengeliminasi Pesantren Radikal

Polemik Al-Zaytun dan Panji Gumilang masih tetap menggelinding di bilik-bilik diskursus publik. Hingga kini, persoalan tersebut menjadi sketsa perbincangan publik lantaran menafsirkan ajaran Islam secara berbeda dengan tafsir kebanyakan umat Islam. Arus ini bahkan disebut-sebut sebagai fenomena Gerakan Negara Islam (NII) yang disinyalir akan membangkitkan radikalisme dan terorisme.

Seperti sebuah kejutan, isu kontroversi Al-Zaytun yang menjalar di media sosial, tanpa disadari telah membuat gaduh persoalan agama di kalangan masyarakat. Al-Zaytun, pondok pesantren yang mempunyai landasan pesantren spirit but modern system, menampik kecemasan publik lantaran digadang-gadang sebagai pesantren yang mempunyai hubungan gelap dengan NII. Akhirnya, masyarakat melakukan aksi demonstrasi, meminta pemerintah untuk membekukan izin Al-Zaytun dan menuntut aparat penegak hukum menangkap Panji Gumilang.

Ancaman Radikalisme

Bukan tidak memungkinkan, tafsir kontradiktif ala Al-Zaytun dan Panji Gumilang merupakan sinyal kebangkitan radikalisme dan terorisme. Berdasarkan isu yang beredar di media sosial, cara berislam ala Al-Zaytun, secara jelas, jauh dari kebiasaan. Tidak berislam dengan cara rileks atau moderat.

Sementara, asumsi yang terbangun di masyarakat ialah bahwa sikap Al-Zaytun belakangan ini mempunyai kesamaan dengan NII yang dinilai akan membangkitkan radikalisme. Seperti gerakan Islam lainnya, suatu organisasi ketika masih lemah, ia menerima pancasila dan mematuhi konstitusi negara. Namun ketika ia besar, maka secara terang-terangan akan menjadi gerakan politik ekstrimis yang, bukan tidak mungkin, akan melakukan kudeta terhadap pemerintah secara masif.

Berdasarkan catatan sejarah, Indonesia sering kali mengalami hantaman ideologi negara oleh gerakan yang berembel-embel agama. Gerakan seperti ini disebut politik ekstrimis yang diklaim sebagai bentuk dari radikalisme. Radikal dapat diartikan sebagai suatu yang sangat keras untuk menuntut sebuah perubahan. Sedangkan radikalisme ialah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Artinya, radikalisme merupakan paham yang menginkan perubahan secara besar-besaran.

Syamsul Ma’arif (2014) mengklasifikasikan radikalisme ke dalam dua bentuk. Pertama, radikalisme dalam pikiran (fundamentalis). Kedua, radikalisme dalam tindakan (terorisme). Perlu diingat, radikalisme kerap kali digerakkan dalam berbagai momentum, utamanya menjelang tahun politik. Mencuatnya radikalisme mendekati momen politik mengindikasikan bahwa terdapat agenda kepentingan politik terselubung dari pihak-pihak tertentu, entah sekedar mencari panggung kekuasaan atau sebatas membuat gaduh dinamika sosial masyarakat.

Berislam Dengan Rileks

Nur Syam (2009) dalam buku Tantangan Multikulturalisme Indonesia, mempunyai analisis dan cara pandang yang cukup menarik untuk membendung radikalisme dan terorisme. Perspektif tersebut sebenarnya lahir atas ideologi ahlussunnah wal jama’ah atau NU melalui konsep Islam Moderat yang terdiri dari empat pandangan.

Pertama, Tawasuth (moderat), doktrin ini mengajarkan bahwa setiap orang memiliki hak dalam memilih dan mengamalkan agamanya masing-masing tanpa tekanan atau intimidasi dari pihak lain. Artinya, setiap orang harus saling menghormati dan menghargai kelompok agama yang berbeda. Kedua, Tawazun (keseimbangan), doktrin ini mengajarkan tentang cara memandang suatu realitas tidak boleh bersifat ekstrem baik ke kiri ataupun ke kanan. Artinya, tidak boleh saling egois atau berpikiran paling benar dalam memandang sesuatu.

Ketiga, I’tidal (keadilan), doktrin ini mengajarkan bahwa di antara sesama manusia harus menjunjung tinggi keharusan berperilaku adil dan lurus di dengah-tengah kehidupan bersama. Keempat, Tatharruf (universalisme), doktrin ini mengajarkan setiap manusia agar lebih mengedepankan pemahaman Islam yang bersifat universal (global). Kebenaran Islam dilihat dari norma-norma yang bersifat umum seperti keadilan, kemanusiaan, keselamatan dan kesejahteraan.

Dalam koteks ini, tidak elok kiranya jika harus menghormati dan menghargai bahkan mengikuti tafsir Islam ala Al-Zaytun karena hal tersebut tidak dibenarkan dalam aspek agama dan sosial. Dalam konteks sosial, sesuatu yang mengganggu ketertiban umum merupakan sebuah tindakan merugikan yang harus diberi sanksi sosial.

Kini polemik Al-Zaytun semakin meradang, sebelum bertransformasi menjadi pesantren radikal, pemerintah dan aparat penegak hukum harus melakukan tindakan tegas demi kepentingan keutuhan bangsa dan negara berdasarkan ideologi pancasila.

Facebook Comments