Menghapus Jejak: Pahlawan, Kekalahan Republik dan Nasib Populisme Sesudahnya

Menghapus Jejak: Pahlawan, Kekalahan Republik dan Nasib Populisme Sesudahnya

- in Narasi
1693
0
Menghapus Jejak: Pahlawan, Kekalahan Republik dan Nasib Populisme Sesudahnya

Pernah dalam suatu masa pahlawan adalah justru bukanlah sebagaimana yang selama ini digambarkan banyak orang: seorang yang gigih dalam membela kebenaran dan keadilan yang sering tanpa suatu imbalan. Citra pahlawan yang demikian ternyata pernah luntur, digantikan oleh seorang dengan citra yang betul-betul manusiawi hingga tak laik dikategorikan sebagai pahlawan dalam standar konvensional: dapat berbuat jahat, licik, membingungkan, pragmatis, egois, pecundang dan pengecut.

Populisme yang selama ini mewabah di Indonesia memang menjadi salah satu pemicu terjadinya upaya-upaya “pengecilan” dan “perendahan” orang-orang yang selama ini dianggap berjasa dan “besar.” Hal demikian pernah saya sebut sebagai upaya “dekultusisasi” dan “desakralisasi” yang dilakukan oleh para penganut radikalisme keagamaan ngepop (Hikayat Kebohongan I, Heru Harjo Hutomo, https://islami.co).

Sangat tak tampak sederhana, pada tahun 2017, saya pun pernah berkesimpulan bahwa yang membuat pembalikan segala tata nilai selama ini bukanlah kalangan khawarij klasik yang tak percaya pada satu pun versi kebenaran, kecuali versi kebenaran sendiri. Meskipun mereka tampak radikal dalam ekspresi keagamaannya, sejatinya penafsiran-penafsiran dan kehidupan mereka sungguh berkebalikan dengan itu semua, sama sekali tak percaya pada nilai-nilai agama dan budaya (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Mereka cerdik hingga seolah mampu mem-plekotho, dengan bujuk-rayu dan karakter masokistisnya, kalangan keagamaan yang notabene puritan dan bahkan radikal untuk menjadi para budaknya. Mereka sangat paham tentang wacana-wacana kritis dan lihai menyembunyikan diri atau khumul. Target mereka memang bukanlah fisik secara langsung, tapi adalah mental dan kejiwaan dimana ketika hal ini sudah tercapai, maka diandaikan terenggut pula fisiknya dan hidupnya akan seperti halnya selembar kapas yang putih dan ringan terbawa angin (Ingusan, Merendahkan dengan Cercaan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Kemenangan Biden atas Trump dalam pemilihan presiden di Amerika tempo hari saya kira, setidaknya harapan saya, akan mengubah semangat zaman (zeitgeist) yang selama ini memang kental berasa populistik yang ditandai oleh rendahnya dan bahkan terbaliknya segala tata nilai yang selama ini ada. Tom Nichols pernah menyebut fenomena populisme semacam ini sebagai fenomena “the death of expertise” (Menguak Spiritualitas Semu di Balik Gerakan Op[l]osan, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Dengan demikian, berbicara pahlawan di hari ini, di zaman seperti ini, adalah berbicara tentang sosok paradoksal yang memilih untuk rusak dan penyok, memilih untuk senantiasa berkhianat dan rendah agar tak menjadi teladan atau percontohan dengan harapan terdalam yang butuh penggalian ala psikoanalisis, justru agar diteladani, dicontoh, digandakan hingga membentuk sebuah budaya tandingan. Itulah kenapa sebelum meledakkan kepalanya, Kurt Cobain mencatat harapan terdalamnya yang ingin menjadi seorang teladan dengan caranya yang anti-keteladanan: “It’s better to burn out than to fade away” ataupun “I hate myself and I want to die.”

Facebook Comments