Kegagalan dalam menanamkan pendidikan toleransi dan cinta damai tercermin dalam kekerasan, dan tindakan tidak manusiawi terjadi hampir di seluruh pelosok negeri. Kabar buruknya, kejadian ini berlangsung dalam waktu yang lama. Padahal, aspek cinta damai dan toleransi merupakan ruh dari pendidikan anti kekerasan yang sangat dibutuhkan anak. Pada poin inilah, para orang tua memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengasuhan berbasis kasih sayang. Tanpa pengasuhan berbasis kasih sayang, seorang anak akan cenderung menjadi pribadi yang bermasalah di masa dewasanya.
Berbagai peristiwa kekerasan dan teror yang semakin mengusik rasa aman semakin menegaskan pentingnya pemahaman anti kekerasan dalam konteks perbedaan. Sebenarnya, dunia pendidikan telah melakukan upaya deradikalisasi dan membentengi peserta didik dengan pendidikan anti toleransi melalui mata pelajaran khusus, pendidikan kewarganegaraan. Sayangnya, upaya ini belum membuahkan hasil karena pendidikan anti kekerasan tidak dilakukan secara repetitif dan konsisten di dalam keluarga. Seharusnya, starting point pendidikan anti kekerasan bermula dari keluarga.
Di dunia pendidikan formal, pendidikan anti kekerasan baru terbatas dilaksanakan dalam aspek kognitif semata. Padahal, karakter anti kekerasan sejak dini harus ditempa dengan melibatkan aspek feeling, loving, dan acting. Karakter anti kekerasan yang kokoh harus dilatih melalui pembiasaan akhlak terpuji di dalam keluarga. Para orang tua memegang kunci (keberhasilan) pendidikan anti kekerasan sebab mereka menangani pendidikan anak pada usia emas (golden age). Pada masa dini, anak-anak memiliki kepekaan untuk menyerap pendidikan karakter dan mereka membutuhkan bibit anti kekerasan agar dapat tumbuh sehat secara psikologis.
Ketidakmampuan orang tua dalam menanamkan sikap cinta damai dan toleransi berdampak pada kepribadian yang kaku, mudah tidak puas, tidak mampu bersikap toleran, dan menganggap bahwa kekerasan merupakan “jalan tol” untuk menyelesaikan aneka konflik. Sejauh ini, para orang tua mengalami dilema dalam hal pengasuhan anak. Terlebih di era digital, banyak anak yang secara impulsif menyerap paham radikal tanpa pengawasan yang memadai dari orang tuanya. Jika para orang tua sudah tidak lagi menaruh perhatian pada pendidikan anak, maka banyak generasi muda mudah tersesat dalam pola pikir (keagamaan) yang radikal, penuh kekerasan, dan mengandung maksud memecah belah kerukunan umat.
Dalam rangka menyemai bibit anti kekerasan sejak dini, agama telah memberikan modal spiritual. Para orang tua semestinya teguh berpegang pada prophetic parenting yang menawarkan nilai-nilai cinta damai, toleransi, dan karakter yang good and smart. Hakikatnya, Islam merupakan agama yang mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti, mencederai, dan melukai kepada diri sendiri atau kepada orang lain. Sehingga, kekerasan dalam derivasi apa pun bertentangan secara diametral dengan misi universal agama. Allah SWT berfirman, “Dan, tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 107).
Prinsip itulah yang harus menjadi ruh dalam pengasuhan. Para orang tua tidak harus mengawasi anak secara berlebihan dalam mengekspresikan kekhawatiran atas merebaknya paham radikalme dan terorisme. Satu paragraf di atas merupakan key words untuk menanamkan sikap cinta damai dan toleransi yang bermuara pada sikap dan perilaku yang anti kekerasan. Benih anti kekerasan sudah disajikan secara lengkap dalam agama. Persoalannya, sudahkah benih ini dipupuk, dirawat, dan dijaga secara intens pada usia-usia emas?
Merawat benih anti kekerasan dapat dilakukan dengan cara memproduksi sikap-sikap positif. Dalam hal ini, orang tua perlu memberikan kasih sayang, cinta, dan rasa aman pada anak. apabila anak dibesarkan dengan kasih sayang, cinta, dan toleransi, maka ia akan cenderung mereproduksi sikap-sikap yang sama di masa dewasa. Konsekuensinya, mereka akan mampu bertoleransi dalam perbedaan, bijak menegakkan sikap damai, dan menjadi duta damai bagi lingkungan sekitar.