Gaung terorisme di Indonesia seperti tak mau putus. Gerakan radikalisme mengatasnamakan Islam terus tumbuh dan berkembang. Eksistensi mereka layaknya pucuk gunung es di permukaan laut. Semakin ke dalam kian besar bongkahan yang ditemukan. Bukti sahihnya, dari hari ke hari, penganut paham ini tak mengenal kata habis. Mati satu tumbuh seribu.
Hal itu diperkuat lagi dengan tesis yang diimani oleh kaum mujahidin bahwa Negara Indonesia merupakan bentuk negara taghut. Negara yang tidak selaras dengan Islam, yang tidak mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. Bagi kalangan ini, perubahan bentuk negara merupakan keharusan. Karena, perubahan itu bisa mengakomodasi “kepentingan” kaum Islam yang mayoritas di negeri ini.
Pandangan semacam itu dibumbui lagi dengan asumsi bahwa aparat negeri di negara taghut tidak layak dipertahankan. Hal itu tercermin dalam penelitian Bilveer Singh dan Abdul Munir Mulkhan, Teror dan Demokrasi dalam I’dad (Persiapan) Jihad (Perang) (2013).
Abu Rusydan, seorang responden, membagi taghut dalam dua kategori: taghut yang berakal dan taghut yang tidak berakal. Dia berkeyakinan bahwa yang berhak membuat hukum adalah Allah, bukan manusia. Sementara itu, di Indonesia diklaim telah merampas otoritas Tuhan dengan membuat sistem hukum yang tidak berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis. Undang-undang Dasar disebut sebagai produk hukum manusia yang tidak mengindahkan hukum dari Tuhan, (Singh dan Mulkhan, 2013: 142).
Atas dasar itu, aksi anarkistis kepada sejumlah aparat kepolisian dan pelbagai bentuk ancaman yang ditujukan kepada aparatur negara yang lain. Pemikiran tersebut diperparah anggapan bahwa teroris tidak melakukan hal yang salah. Perbuatan anarkistis yang mereka lakukan sepenuhnya demi mewujudkan negara Islam mewujud di Indonesia.
Seperti diketahui, 80 persen lebih penduduk Indonesia beragama Islam. Fakta tersebut tidak menyurutkan keyakinan di benak mereka bahwa sistem yang dijalankan di Indonesia tidak memenuhi syarat sebagai Negara Islam. Sementara Indonesia menganut sistem demokrasi yang diimpor dari Barat. Hal itu berbanding terbalik dengan keyakinan mereka bahwa sistem terbaik adalah sistem khilafah. Menurut mereka, sistem tersebut yang bisa menghantarkan masyarakat Muslim merengkuh cita-citanya.
Kekecewaan itu bertambah karena partai-partai Islam dewasa ini tidak memuaskan untuk melancarkan cita-cita tersebut. Pasalnya, pencapaian partai Islam selalu merosost. Hal itu berbeda dengan Partai Masjumi yang menang telak pada mencapai angka 44 persen di tahun 1955. Setelah itu, suara masyarakat Muslim terpecah ke pelbagai penjuru. Kehadiran partai Islam seperti PPP, PKS, PBB, PAN, dan PKB belum pernah mencatat angka perolehan konstituen yang sama pernah diperoleh partai Masjumi. Bahkan, jika dijumlahkan menjadi satu, perolehan suara semua partai Islam tidak bisa menandingi perolehan suara Partai Masjumi.
Kekalahan (partai) Islam yang mayoritas di negara mayoritas muslim seringkali dijadikan alasan bahwa tengah terjadi gerakan anti Islam secara sistematis. Hal itu dibuktikan dengan praktik-praktik hukum negara yang tidak selaras dengan Al-Qur’an dan Hadis. Hukum-hukum yang berdasarkan Undang-undang Dasar, bagi kaum radikal, tidak sejalan dengan garis yang ditentukan oleh Tuhan. Mereka berkeyakinan, di dalam Al-Qur’an dan Hadis sudah memuat semua yang diperlukan oleh manusia di muka bumi ini. Sedangkan, UUD yang adalah adopsi dari sistem Barat tidak tepat diterapkan di negara yang mayoritas Islam. Ketidakpercayaan itu ditambah lagi dengan hadirnya islam liberal yang, bagi mereka, telah mendistorsi Islam yang seutuhnya.
Mereka menjadikan khilafah sebagai konsep yang ideal bagi perjuangan yang diharapkan. Bagi kaum radikal, i’dad jihad (persiapan perang) merupakan tahapan sebelum melaksanakan jihad. Bahkan, urgensi i’dad jihad bisa mengungguli kewajiban yang lain, semisal salat, zakat, haji. Pandangan paling menggemaskan adalah bahwa perkembangan Islam tanpa jihad dalam arti perang dan menetaskan darah adalah sekadar mimpi (Singh dan Mulkhan, 2013: 124-125).
Jamal Albana menyebut bahwa jihad di masa nabi lebih mengedepankan hikmah (kebijaksanaan memilih yang terbaik melalui proses intelektual), berupa nasihat kebaikan, dan juga kesabaran, serta militansi membangun sistem sosial yang berkeadilan dan lebih manusiawi. Karena, tidak bisa dimungkiri, ikhtiar untuk melawan radikalisme tidak cukup mengandalkan aksi reaktif, melainkan juga aksi preventif.
Jihad radikal yang dipertontonkan sejumlah organisasi, baik yang ada di Indonesia maupun luar negeri, memperburuk citra Islam rahmatan lilalamin. Jihad radikal yang menggunakan kekerasan tentu saja tidak mencerminkan asas beragama yang sempurna. Alih-alih mendapatkan simpati dari sesama pemeluk agama, bisa jadi malah membuat pemeluk agama lain takut dengan Islam dengan label yang ekstrem.
Dalam jejak sejarah bangsa ini, kita mengenal para wali yang menggunakan pendekatan yang lebih berbudaya dalam berdakwah. Sunan Kalijogo, misalnya, dikenal sebagai sosok yang bisa memadukan kebudayaan dan agama berjalan harmonis sehingga menampilkan corak Islam yang khas. Jihad yang dilakukan oleh beliau tentu jauh berbeda dengan cara kekerasan yang ditempuh oleh sebagian kalangan.
Jihad radikal bisa jadi menambah daftar pajang Islamofobia di kalangan non-muslim. Mempertontonkan kekerasan berbalut agama (Islam), sekali lagi, tidak membawa marwah agama ke level yang unggul, namun menjungkalkannya pada jurang tak terperikan.