Akhir-akhir ini kebhinekaan berbangsa kita diusik dengan sejumlah insiden yang membuat was-was perasaan kita. Mulai dari teror bom di Thamrin, dianugerahinya Jawa Barat oleh PBB sebagai provinsi yang paling tidak toleran di Indonesia, geliat gembong teroris daerah timur oleh Santoso, dan video ISIS yang diduga melakukan pembaiatan di Masjid di Jakarta secara terang-terangan, serta banyak lagi yang lainnya. Tentu ini meresahkan, bagaimana tidak, semua geliat radikalisme itu muncul memiliki motif kekerasan dan tentu akan mengacam persatuan berbangsa kita.
Beberapa peristiwa di atas muncul dari beberapa kelompok yang menginginkan satu pemahaman keagamaan untuk diterapkan di Indonesia. Mereka menafikkan kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural yang di dalamnya tidak hanya hidup satu golongan orang saja. Pemahaman keagamaan yang kaku dari kelompok-kelompok radikal ini muncul sebagai akibat miskinnya pemahaman atas kebangsaan dan keindonesiaan serta di sisi lain didukung oleh pemahaman kegamaan mereka yang kaku dan sangat terkstualis.
Akibatnya, ekses negatif muncul sebagai akibat dari tindakan radikal tersebut dalam kehidupan sosial berbangsa kita. Orang satu dengan yang lain mudah curiga, agama satu curiga dengan agama lain, begitupun suku-sukunya. Tidak hanya itu, bahkan dalam Islam misalnya, mazhab satu dengan mzhab lain saling bertikai dan sesat menyesatkan, satu dengan yang lain. Tentu ini sangat menghawatirkan bagi kehidupan berbangsa kita.
Agaknya perlu dibuka kembali memori kebangsaan kenegaraan kita. Ada yang sudah lama sekali kita lupakan dan abaikan. Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara menyatakan dirinya sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini artinya, bangsa Indonesia menyadari kekuatan kita sebenarnya adalah persatuan dan sebaliknya perpecahan adalah kelemahan.
Sebagai sebuah negara dan bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya, bahasa dan agama, Indonesia di satu sisi sungguh indah dan mengagumkan sementara pada saat yang sama hal-hal tersebut adalah potensi yang paling utama bagi kehancuran kita bila tidak dikelola secara benar. Agaknya kenyataan tersebut telah disadari betul oleh kakek-kakek kita sebagai founding fathers. Mereka menyadari bahwa bangsa ini bukanlah milik satu golongan tertentu sehingga dibentuklah Indonesia sebagai sebuah bangsa yang dapat menampung segala perbedaan tersebut dalam bingkai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Bila kita perhatikan kembali pada pembukaan undang-undang dasar 1945 negara kita, akan kita temukan satu alinea kalimat pada paragraf ke tiga yang menunjukkan kesadaran yang sangat luar biasa dari founding fathers dalam melihat potensi bangsa ini, kalimat tersebut berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Ada dua hal penting yang perlu dicatat dari penggalan paragraf UUD 45 tersebut. Pertama, kalimat yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, kalimat ini mengisaratkan satu kesadaran spiritual yang tinggi dari founding fathersbahwa bangsa ini tak akan terbentuk jika tak ada ikut campur tangan Tuhan (invisible hand). Kesadaran tauhid yang mapan ini menunjukkan bahwa pembentukan ini telah melalui proses yang panjang, dalam, serius, dan visioner. Invisible hand disebutkanbukan hanya karena sebatas rasa syukur semata atau bukan hanya karena mayoritas negara ini penduduknya beragama.
Makna “atas rahmat Allah (Tuhan) Yang Maha Kuasa” menunjukkan bahwa Allah yang merujuk pada asma’ (nama) Tuhan tertinggi telah “meridhoi” Indonesia untuk menjadi sebuah negara. Kesadaran founding fathers bahwa Tuhan telah “meridhoi” bangsa Indonesia membentuk sebuah negara adalah kesadaran yang sangat penting, di mana dalam kondisi yang beragam dengan berbagai latar belakangnya bangsa ini pada akhirnya menghimpun dirinya dalam satu kesatuan dalam bingkai Indonesia. Bahwa sulit dibayangkan jika dengan manusia dengan ratusan bahasa, budaya, suku, tatakrama dan sebagainya bisa bersama-sama membentuk sebagai sebuah bangsa yang satu.
Jika kita melihat fakta sejarah tentang pembentukan sebuah bangsa dan negara, tak banyak yang bisa seperti Indonesia. Negara-negara Arab misalnya—yang masih dalam satu bangsa dan bahasa yang identik— terpecah-pecah menjadi negara yang kecil-kecil. Atau Amerika yang dikatakan plural masih kalah jauh dari Indonesia. Maka patut direnungkan bahwa makna Makna “atas rahmat Allah (Tuhan) Yang Maha Kuasa”ini adalah kesadaranfounding fathers bawa Tuhan “ridho” suku bangsa yang berbeda-beda ini membentuk sebuah negara.
Dari kesadaran tauhid yang super tinggi ini kemudian dapat kita tangkap makna kalimat kedua, “dengan didorongkan oleh keinginan luhur”, bahwa keinginan yang luhur itulah ejawantah dari kesadardan spiritual akan kehadiran Tuhan sebelumnya dalam pembentukan bangsa ini.
Keinginan luhur itu adalah keinginan untuk membentuk suatu negara-bangsa yang merdeka yang di dalamnya semua orang dapat hidup bebas, merdeka, serta dapat mengatur hidupnya sendiri dengan penuh tanggungjawab. Karena itulah kenapa kemudian negara ini tidak dibentuk menjadi negara untuk suatu kelompok, agama, atau golongan tertentu. Sebab founding fathers (nenek moyang kita) menyadari betul keragaman bangsa ini, setiap orang berhak merasa dan memiliki bangsa ini, sebab kenyataannya setiap orang di negeri ini ikut serta dalam perjuangan mendirikan bangsa ini, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Batak, Jawa, Papua, Bali, Bugis, dan yang lainnya semua berpartisipasi dan merupakan bagian dari bangsa ini.
Kesadaran spiritual yang tinggi atas peran serta Tuhan bahwa Tuhan telah “ridho” akan pendirian bangsa yang plural ini, persis sebagaimana ia tak ingin menjadikan umat manusia ini seragam seluruhnya, sebab mudah bagi-Nya jika ingin melakukan demikian. Sementara di sisi lain didasarkan atas keinginan yang luhur yakni kesadaran untuk menerima kenyataan perbedaan dan sikap kesatria untuk mengakui bahwa dalam pembentukan negara dan bangsa ini semua orang atau kelompok terlibat sepanjang mengikuti kesadaran pluratias ini. Dengan demikian tidak dibenarkan jika dalam hidup bernegara dan berbangsa ini semua orang bertindak secara parsial atas dasar kesukuannya saja.
Setelah kesadaran akan peran Tuhan dan didorongkan keiginan yang luhur, tulus, dan suci untuk hidup bersama-bersama dalam bingkai bangsa dan negara Indonesia diharapkan akan tercipta manusia Indonesia yang berkehidupan kebangsaan yang bebas yang di dalamnya setiap orang dapat mengembangkan dirinya demi kemajuan bangsa secara bertanggung jawab agar tercipta suatu tatanan masyarakat Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera.
Meminjam penjelasan M.H. Ainun Najib atau Cak Nun, menjadi bangsa Indonesia berati, “aku orang Bali berarti ada Bali di jiwaku, namun di dalam jiwaku juga mendarah daging Indonesia, yang itu berarti aku ingin orang Batak, Jawa, Papua, Bugis, Sunda, Aceh dan yang lainnya juga hidup di dalam jiwaku”.
Karena itulah bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang di dalamnya hidup beragam macam suku bangsa yang satu dengan yang lainnya tulus dan ikhlas hidup bersama-sama, bahu-membahu satu dengan yang lain menuju kebaikan dan kesejahteraan bersama. Dengan kesadaran yang demikian, maka kita tidak lagi sebatas menerima keragaman bangsa ini namun juga merawatnya hingga akhir dari usia bumi ini demi cita-cita bersama, bangsa yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.