Merayakan Kerukunan dalam Perayaaan Hari Besar Keagamaan

Merayakan Kerukunan dalam Perayaaan Hari Besar Keagamaan

- in Narasi
51
0
Lebaran Ketupat: “Hari Raya” Kultural yang Selalu Dibid’ahkan

Di Indonesia, perayaan agama sering berlangsung di ruang publik—di jalan raya, di alun-alun, atau bahkan di pusat perbelanjaan. Ini adalah bagian dari keunikan kita sebagai bangsa. Saat umat Muslim melaksanakan shalat Ied di lapangan, umat Kristen menyelenggarakan pawai Natal, atau umat Buddha mengadakan prosesi Waisak, kita sebagai warga negara lain di sekitar mereka bisa menghormati dengan memberikan ruang dan tidak melakukan tindakan yang mengganggu.

Umat Muhammadiyah di Yogyakarta misalnya menyelenggarakan salat ied di alun-alun kota. Di sisi alun-alun, banyak pedagang menunggu bubarnya salat dan penjual koran yang berharap korannya dibeli sebagai alas melakukan salat. Para pedagang ini tidak semuanya orang Islam. Mereka turut meramaikan perputaran ekonomi di tengah selebrasi umat Islam dalam perayaan Idul Fitri.

Toleransi sering disalahartikan sebagai keharusan untuk menyamakan atau menghilangkan perbedaan. Padahal, esensi toleransi adalah merayakan perbedaan tanpa merasa terancam. Menghormati perayaan agama lain tidak berarti kita harus ikut merayakannya, tetapi kita bisa menunjukkan rasa hormat dengan sikap yang baik, seperti memberikan ucapan selamat, tidak mengganggu proses ibadah, atau bahkan membantu teman yang sedang mempersiapkan perayaan agamanya.

Para pedagang koran itu mungkin seorang Kristen. Tetapi ia hanya ingin mencari nafkah yang kebetulan caranya adalah dengan memfasilitasi umat Muslim beribadah ied di alun-alun. Atau ketika perayaan Maulud Nabi. Keraton Yogyakarta menyelenggarakn kegiatan Grebeg Mulud yang intinya berbagai hasil bumi sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Sedekah itu tidak hanya ditujukan kepada orang Islam saja, tetapi siapa pun tanpa melihat latar belakang agamanya.

Pada tahun 2023, perayaan Hari Raya Nyepi berbarengan Bulan Ramadan. Bali, pulau yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, merayakan Tahun Baru Saka 1945 yang tahun ini jatuh pada Rabu (22/3), dengan menghentikan segala aktivitas, termasuk bekerja, bepergian, yang berarti juga tidak menggunakan kendaraan, tidak menyalakan listrik, selama 24 jam hingga Kamis pagi.

Jatuhnya perayaan besar keagamaan pada hari yang sama ini jarang terjadi mengingat bulan suci Ramadan tanggalnya bergeser setiap tahun karena mengikuti kalender Islam, demikian juga Nyepi yang umumnya jatuh pada bulan Maret namun pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya karena mengikuti kalender Saka Hindu.

Muslim, yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia tetapi minoritas di Bali, menjalankan salat Tarawih pada Rabu malam ini hanya di rumah atau dengan berjalan kaki menuju masjid terdekat untuk menghormati umat Hindu yang sedang menjalankan Nyepi.

Meskipun Indonesia tetap berstatus negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, namun realitas hidup bertetangga dengan orang non-Muslim sudah menjadi hal lumrah di negeri ini. Tentu, sebagai tetangga dan kerabat, Muslim dan non-Muslim perlu membangun relasi yang baik agar tercipta lingkungan yang harmonis. Itulah mengapa ketika perayaan Idul Adha, berbagai daging kurban dengan non-Muslim sudah menjadi hal yang biasa.

Umat Muslim yang berkurban bisa berbagi daging kurban kepada saudara-saudara yang non-Muslim sebagai akad untuk saling berbagi dan komitmen untuk menciptakan hubungan yang harmonis.

Menghormati perayaan agama lain bukan hanya tentang menjaga sopan santun atau sekadar basa-basi. Ini tentang menerima bahwa keyakinan orang lain adalah bagian dari hak asasi mereka, sama seperti kita ingin keyakinan kita dihargai. Ketika umat Muslim merayakan Idul Fitri, umat Kristen merayakan Natal, umat Hindu merayakan Nyepi, atau umat Buddha merayakan Waisak, kita merayakan keragaman yang ada di sekitar kita. Setiap perayaan memiliki makna mendalam bagi yang menjalankannya, dan kita yang mungkin tidak merayakan tetap bisa berpartisipasi dengan menghormati dan memberikan ruang bagi mereka.

Ketika kita saling menghormati perayaan agama, kita secara otomatis memperkuat toleransi dan persatuan. Sikap saling menghormati ini mendorong masyarakat yang lebih inklusif, di mana perbedaan tidak menjadi alasan untuk saling menjauh, tetapi justru untuk saling mendekat.

Lebih dari itu, menghormati perayaan agama lain menciptakan suasana kebersamaan dan solidaritas antar umat beragama. Ketika umat Muslim menghadiri undangan buka puasa bersama yang diadakan oleh komunitas lintas agama, atau saat teman-teman non-Kristen hadir dalam perayaan Natal di rumah tetangga mereka, kita tidak hanya berbicara tentang toleransi, tetapi juga mempraktikkannya. Kehidupan berbangsa menjadi lebih hangat dan penuh kasih sayang.

Facebook Comments