Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan serius dengan munculnya aktivisme keagamaan radikal yang menyasar generasi muda. Fenomena ini menguat seiring dengan aksi-aksi besar seperti demonstrasi 4/11 yang diprakarsai oleh Front Persaudaraan Islam (FPI) dan kegiatan Temu Muslimah Muda (TMM) 2024 yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kegiatan HTI bertema “The Next Level Activism: We Aspire, We Engage, & We Stand for Islam Kaffah” ini menarik ratusan, mungkin ribuan, peserta dari berbagai wilayah. Aktivitas ini menunjukkan kebangkitan gairah kelompok ortodoksi dan transnasional lama, menghidupkan kembali cita-cita Islam kaffah sebagai solusi atas berbagai permasalahan bangsa. Aktivisme ini merespons ketidakpuasan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik, menciptakan panggung yang menarik bagi kaum muda yang tengah mencari identitas dan tujuan hidup.
Salah satu alasan utama yang membuat aktivisme radikal menarik bagi generasi muda adalah ketidakpuasan mereka terhadap realitas sosial. Generasi muda menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pendidikan berkualitas, pekerjaan yang layak, serta keadilan sosial. Kondisi ini diperparah dengan krisis kemanusiaan internasional seperti konflik berkepanjangan di Palestina. Fenomena ini telah menciptakan perasaan marah dan ketidakadilan yang memicu dorongan untuk mencari solusi yang dianggap total dan menyeluruh.
Kelompok radikal membungkus agama sebagai ideologi yang diyakini dapat membenahi segala aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, hingga sosial. Mereka menyajikan agama yang totalitas (kaffah) sebagai solusi yang bisa menghapus ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh kaum muda.
Radikalisme sering berkembang di tengah situasi krisis yang menyuburkan perasaan ketidakpuasan, baik terhadap sistem sosial maupun politik yang ada. Radikalisme keagamaan di Indonesia memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas sosial dan politik bangsa. Paham ini sering kali mengabaikan nilai-nilai kebangsaan dan justru berupaya menggantinya dengan ideologi transnasional seperti khilafah.
Pola pemikiran ini bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang menghargai keberagaman sebagai kekuatan. Apabila tidak diantisipasi, radikalisme dapat mengikis identitas nasional dan menggantinya dengan ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Lebih jauh lagi, radikalisme juga memperburuk citra Islam sebagai agama yang seharusnya membawa pesan rahmat bagi seluruh alam “rahmatan lil alamin”. Islam yang moderat dan inklusif di Indonesia, jika terus dibayangi oleh ideologi radikal, berisiko mengalami distorsi dalam pandangan masyarakat luas, baik nasional maupun internasional.
Salah satu cara yang dapat diambil untuk membendung arus radikalisme adalah dengan menanamkan semangat kebangsaan yang kuat di kalangan generasi muda. Konsep “Hubbul Wathan Minal Iman” atau cinta tanah air sebagai bagian dari iman harus terus digaungkan. Pesantren, kampus, dan masjid memiliki peran strategis dalam menyebarkan pemahaman Islam yang moderat, toleran, dan penuh kasih sayang. Banyak pesantren yang telah menerapkan pendekatan Islam Wasathiyah, yaitu Islam yang moderat dan menghargai perbedaan, sebagai upaya untuk mencegah radikalisasi di kalangan santri.
Pendekatan ini tidak hanya mengajarkan Islam secara tekstual, tetapi juga mengembangkan pemahaman kontekstual bahwa Islam tidak hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antar manusia dan cinta tanah air. Dengan memaknai jihad sebagai usaha untuk memberantas kebodohan, meningkatkan pengetahuan, dan menyebarkan kebaikan, santri diajarkan untuk menjadi individu yang berkontribusi positif bagi masyarakat dan negara. Mereka didorong untuk mengekspresikan kecintaan terhadap tanah air melalui pendidikan, bukannya melalui aksi yang merugikan masyarakat.
Kampus sebagai institusi pendidikan tinggi juga memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah penyebaran ideologi radikal. Kampus harus dapat menciptakan ruang dialog yang inklusif dan toleran, di mana mahasiswa dari berbagai latar belakang bisa saling bertukar pandangan tanpa ada rasa takut atau eksklusivitas. Kampus bukan hanya tempat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi juga benteng utama yang menangkal infiltrasi ideologi transnasional.
Kebangkitan aktivisme keagamaan radikal di Indonesia memerlukan perhatian serius dari semua pihak, khususnya dalam hal pencegahan. Pendekatan kebangsaan dengan prinsip “Hubbul Wathan Minal Iman” menjadi kunci untuk membangun generasi yang tidak hanya taat beragama tetapi juga mencintai tanah air. Dengan penguatan nilai-nilai nasionalisme di pesantren, kampus, dan masjid, kita bisa membentuk generasi muda yang tangguh dalam menghadapi radikalisme dan sekaligus memiliki komitmen kebangsaan yang kuat.
Jika Indonesia mampu menanamkan semangat kebangsaan di kalangan generasi muda melalui pendidikan dan dialog yang konstruktif, maka bangsa ini akan lebih siap menghadapi segala tantangan, termasuk ancaman ideologi transnasional yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia membutuhkan generasi muda yang mencintai negara dan berkomitmen pada keutuhan NKRI sebagai warisan berharga yang harus dijaga bersama.