Perbedaan suku bangsa, ras, agama, budaya serta adat istiadat yang dimiliki oleh Negara Indonesia merupakan kekayaan luar biasa yang diramu dalam formulasi Bhineka Tunggal Ika yang artinya, berbeda-beda tetap satu jua. Perbedaan bukanlah sebuah halangan bagi masyarakat Indonesia untuk saling menghormati terutama untuk berbuat adil.
Sebuah tantangan tersendiri bagi kita untuk menegakkan keadilan di negeri ini di tengah perbedaan. Karena keadilan dari seseorang akan diuji ketika mereka dihadapkan dengan perbedaan. Apakah seseorang mampu berbuat adil kepada mereka yang berbeda dari kita? Apakah yang berbeda memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sebagai saudara sebagai dengan mereka yang sama?
Ada sebuah cerita menarik yang bisa kita baca dan resapi makna yang terkandung di dalamnya. Semasa kepemimpinan Islam yang dipimpin oleh oleh Khalifah Umar bin Khattab, sahabat Amr bin Ash mendapat amanah untuk menjadi gubernur Mesir. Suatu ketika, Sang gubernur memiliki niat mulia yakni membangun beberapa fasilitas umum dan salah satunya adalah masjid yang bisa digunakan untuk shalat berjamaah karena pesatnya perkembangan umat Islam.
Namun, niat pelebaran masjid itu harus menemui kenyataan dengan adanya bangunan reyot milik orang tua Yahudi yang berada di kawasan rencana pembangunan masjid. Karena alasan inilah, sang laki-laki tua tersebut dipanggil ke istana untuk menghadap sang gubernur.
Sang Gubernur Amr bin Ash mengutarakan rencana pembangunannya kepada kakek Yahudi sekaligus meminta kakek tersebut menjual tanah beserta rumahnya tersebut kepada Negara. Namun sayangnya kakek Yahudi tersebut menolak permintaan sang gubernur meskipun ditawari harga lebih tinggi dari harga normalnya.
Melihat keteguhan hati kakek Yahudi, sang gubernur tak hilang akal sampai ia menaikkan harga tawarannya sampai lima kali lipat dari harga normalnya. Namun tetap saja sang kakek Yahudi tersebut menolaknya karena rumah tersebut dianggap saksi dari perjuangan hidupnya.
Sayangnya kekuasaan membuat Sang gubernur hilang kendali, Amr bin Ash akhirnya secara sepihak menggusur gubuk reyot milik kakek Yahudi dengan alasan untuk kepentingan bersama sekaligus memperindah dan memperluas masjid. Karena keterbatasan tenaga dan juga kekuasaan, kakek tua itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Demi menuntut keadilan dan haknya akhirnya kakek Yahudi tersebut memutuskan untuk pergi ke Madinah untuk menemui Khalifah Umar bin Khatab.
Betapa terkejutnya kakek tua tersebut ketika sampai di Madinah. Ia mengira akan menemukan istana yang megah dan mewah yang tak kalah dengan istana yang dimiliki sang gubernur. Namun ia hanya mendapati sebuah bangunan sederhana yang dimiliki oleh sang Khalifah. Kakeh Yahudi tersebut diterima oleh Khalifah Umar di halaman masjid Nabawi dan beliaupun bertanya untuk kepentingan apa ia menemui Umar.
Sang kakek Yahudi tanpa basa basi menceritakan kezaliman Gubernur Mesir, Amr bin Ash yang hendak menyerobot tanah miliknya sekaligus hendak merobohkan satu-satunya rumah reyot yang menjadi tempat tinggalnya. Setelah mendengar cerita dari kakek Yahudi tersebut, Khalifah lantas meminta tolong si kakek untuk mengambil sepotong tulang di tempat sampah masjid yang tempatnya tidak jauh dari tempat mereka bertemu.
Dengan penuh Tanya, sang kakek langsung mengambil tulang yang sudah sedikit busuk dan langsung diserahkan kepada Khalifah Umar. Segera, setelah menerima tulang itu, Khalifah Umar langsung menggoreskan ujung pedangnya membentuk huruf alif tegak dari atas ke bawah dan garis melintang di tengah-tengahnya. Tulang itupun diserahkan kepada si Yahudi yang masih tidak mengerti dengan maksud Khalifah.
Khalifah Umar menyuruh sang kakek untuk memberikan tulang tersebut kepada Gubernur Amr bin Ash. Dengan penuh kebingungan, sang kakek memutuskan untuk menuruti saja perintah Khalifah, karena dia meyakini sikap adil yang dimiliki oleh Khalifah Umar.
Sesampainya di Mesir, kakek Yahudi tersebut langsung menyerahkan tulang tersebut kepada Gubernur Amr bin Ash, dan menyampaikan bahwa tulang tersebut merupakan pesan dari Khalifah umar kepada Gubernur. Setelah melihat pesan dari sang Khalifah, sontak wajah gubernur menjadi pucat. Seketika gubernur memerintahkan arsitek untuk membangun masjid tanpa memangkas atau menggusur tanah dan rumah milik sang kakek Yahudi.
Dengan penuh heran, sang kakek tersebut bertanya apa maksud dari pesan sang khalifah hingga membuat gubernur berubah pikiran. Gubernurpun menjelaskan pada sang kakek bahwa tulang tersebut berisi peringatan dari Khalifah, yang seolah-olah beliau berkata, “Hai Amr bin Ash! Ingatlah, siapa pun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab jika kamu tidak bertindak demikian pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!”
Mendengar penjelasan Gubernur Amr bin Ash, kakek Yahudi tersebut tertunduk terharu. Ia kagum atas sikap Khalifah yang tegas dan adil, serta kepatuhan dari Gubernur kepada atasannya.
Dalam cerita ini terlihat kebijakan Umar bin Khatab menunjukkan konteks bernegara dan berbangsa bahwa perbedaan tidak boleh menyebabkan hak seseorang menjadi berbeda. Betapapun kepentingan agama semisal pembangunan masjid tidak boleh mengabaikan hak mereka yang berbeda.
Mereka yang berbeda dalam konteks keyakinan, suku, bangsa dan etnik sejatinya adalah saudara dalam bernegara dan berbangsa. Perbedaan bukan alasan untuk mengabaikan hak-haknya saudaranya. Yang berbeda wajib diperlakukan adil untuk mendapatkan hak yang sama dalam konteks bernegara dan berbangsa.
Dalam konteks inilah, bangunan berbangsa dan bernegara merupakan penyebab ikatan persaudaraan yang meniscayakan semua orang memiliki hak yang sama apapun latarbelakangnya. Keadilan harus menjadi angin yang bisa dihirup siapapun tanpa melihat perbedaan.