Ada apa dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI? Hanya dalam waktu yang tidak berselang lama, insititusi yang kini dikomando menteri muda dan inovatif, Nadiem Makarim ini membuat tiga kesalahan fatal. Pertama, terkait hilangnya frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Kedua, terkait hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai daftar pelajaran dan mata kuliah wajib. Ketiga, terkait hilangnya nama Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam Kamus Sejarah Indonesia.
Kesalahan ketiga ini kian mengokohkan asumsi publik selama ini bahwa Kemendikbud mengalami persoalan internal. Alibi keteledoran dan kealpaan yang kerap dipakai untuk menutupi kesalahan tampaknya sudah tidak bisa meredam emosi publik. Sikap publik itu tentu wajar mengingat kesalahan yang dilakukan Kemendikbud RI terjadi secara beruntun dan terkesan terpola.
Apa yang terjadi di tubuh Kemendikbud? Itulah pertanyaan yang menggelayuti pikiran kita. Persoalan hilangnya frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 tentu bukan semata persoalan teknis. Alibi salah ketik dan sebagainya agaknya justru lebih merupakan alasan yang dibuat-buat. Pun juga raibnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dari daftar mapel dan matkul wajib. Revisi yang dilakukan Kemendikbud kepada Presiden Jokowi meneguhkan bahwa ada problem sistematis di lembaga tersebut.
Demikian pula dengan raibnya nama KH. Hasyim Asya’ari dalam Kamus Sejarah Indonesia. Bagaimana bisa tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di dunia dan terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan RI tidak masuk dalam buku kanon sejarah Indonesia? Di saat yang sama, tokoh-tokoh yang tidak terlalu familier di kalangan masyarakat Indonesia justru dimasukkan.
Sejarah Yang Semu
Penghapusan nama KH. Hasyim Asy’ari dari Kamus Sejarah Indonesia tidak bisa dipandang sepele. Pengetahuan sejarah merupakan hal penting yang diwariskan pada generasi penerus. Apa jadinya jika catatan sejarah yang diwariskan itu mengalami pembelokan. Konsekuensinya ialah para generasi penerus akan kehilangan perspektif sejarah yang benar.
Penghapusan sejarah yang demikian ini jika diamati lebih lanjut merupakan cara-cara khas dari kaum konservatif-radikal. Seperti kita lihat dalam beberapa tahun terakhir ini, bagaimana mereka selalu berupaya keras menulis ulang sejarah (kemerdekaan) Indonesia dari perspektif golongan mereka.
Tidak segan mereka menghapus nama-nama tokoh yang berperan langsung dalam berdirinya NKRI. Kerapkali pula mereka membelokkan fakta sejarah dengan mengarang cerita-cerita yang belum jelas benar kebenarannya. Misalnya saja, kisah hoaks yang menyebut bahwa Gajah Mada beragama Islam dan memiliki nama asli Gaj Ahmada. Atau keyakinan semu bahwa Nusantara merupakan bagian dari kekhilafahan Turki Usmani. Sehingga raja-raja Islam di Nusantara kala itu berbaiat pada khilafah Usmaniyyah.
Fenomena pembelokan sejarah itulah yang dinamakan sebagai pseudo history alias sejarah semu. Fakta sejarah dibelokkan, bahkan dihapus dan diganti dengan narasi cerita khayalan yang diklaim sebagai fakta sejarah. Tujuannya ialah mengaburkan pemahaman masyarakat akan jatidiri negara dan bangsanya lalu mencerabutnya dari akar dimana ia tumbuh berasal.
Fenomena pseudo history tidak lain merupakan bagian dar strategi dalam perang ideologi. Dalam konteks Indonesia kontemporer, perang ideologi yang dimaksud ialah antara ideologi nasionalisme yang pro-NKRI dan Pancasila dan ideologi islamisme-khilafahisme yang anti-NKRI dan Pancasila. Pendek kata, pseudo history dipakai oleh kaum radikal anti negara untuk membongkar struktur dasar sejarah bangsa dan menggantinya dengan sejarah baru. Jika akar kesejarahan masyarakat itu telah tercerabut, maka akan dengan mudah ideologi asing masuk dan mendominasi sebagai kekuatan baru.
Waspada Manuver Kaum Radikal
Ini tentu bukan pola baru yang dilakukan oleh kelompok radikal. berkali-kali mereka melancarkan aksi serupa. Tempo hari misalnya, kita dikagetkan dengan rilisnya film Jejak Khilafah di Nusantara yang sebagian besar isinya merupakan penyesatan sejarah dan propaganda. Cukup disayangkan manakala blunder itu dilakukan oleh Kemendikbud; institusi yang digadang mampu menjadi gerbong moderasi beragama dan bernegara di Indonesia.
Rangkaian blunder yang dilakukan oleh Kemendikbud ini kiranya menjadi alasan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap seluruh pejabat di pucuk insititusi. Harus ada screening mendalam terhadap seluruh pejabat di Kementerian tersebut. Adalah hal yang ironis manakala menterinya sendiri dikenal moderat, bahkan liberal namun para pembantunya berideologi konservatif bahkan radikal.
Disinilah pentingnya screening menyeluruh terhadap pejabat dan pegawai, tidak hanya di Kemendikbud, namun juga di seluruh kementerian dan lembaga serta insitusi pemerintah pada umumnya. Jangan sampa kita kecolongan dengan manuver kaum radikal yang menyusup ke lembaga pemerintahan. Jangan sampai mereka membangun jejaring dan mengampanyekan ideologi anti-NKRI dengan memanfaatkan sumber daya dan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.