Mewaspadai Sentimen Keagamaan Berkedok Wacana Apologetik

Mewaspadai Sentimen Keagamaan Berkedok Wacana Apologetik

- in Narasi
59
0
Mewaspadai Sentimen Keagamaan Berkedok Wacana Apologetik

Dalam kehidupan bermasyarakat, perbedaan agama dan keyakinan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Keberagaman ini semestinya menjadi kekayaan, di mana setiap individu bisa hidup berdampingan dalam perbedaan. Namun, di tengah keberagaman yang seharusnya dipupuk dengan rasa saling menghormati, kita kerap mendapati fenomena intoleransi yang bersembunyi di balik dalih apologetik, yakni pembelaan terhadap keyakinan agama tertentu yang justru menciptakan polarisasi di antara kelompok-kelompok masyarakat.

Sentimen keagamaan yang dibungkus dengan wacana apologetik kerap kali digunakan untuk menjustifikasi diskriminasi, kekerasan, hingga penindasan terhadap kelompok agama atau keyakinan lain. Fenomena ini menjadi semakin mengkhawatirkan ketika isu-isu keagamaan digunakan untuk memanipulasi opini publik, memperkuat sentimen kebencian, dan melemahkan semangat persatuan yang selama ini kita bangun dan serta kita jaga bersama.

Wacana apologetik ini sebenarnya sah-sah saja dalam diskursus teologi. Apologetik, dalam definisi paling mendasar, adalah upaya untuk mempertahankan atau membela keyakinan agama tertentu melalui argumen-argumen rasional. Ini adalah bagian dari tradisi intelektual dalam agama yang dimaksudkan untuk menjawab kritik atau serangan dari luar. Namun, dalam praktiknya, wacana apologetik sering kali diselewengkan menjadi senjata untuk mempromosikan intoleransi dan sektarianisme yang berpotensi memecah belah masyarakat.

Beberapa pihak menggunakan argumen-argumen keagamaan untuk menjustifikasi tindakan yang merugikan kelompok lain, entah itu minoritas agama, penganut kepercayaan lokal, atau bahkan individu yang dianggap tidak sejalan dengan interpretasi agama kelompok tertentu. Ketika ini terjadi, apologetik yang seharusnya menjadi metode dialog yang konstruktif berubah menjadi instrumen pemecah belah yang memperdalam jurang perbedaan.

Apologetik dalam bentuknya yang manipulatif biasanya hadir dalam retorika yang terlihat ilmiah dan logis, namun pada dasarnya bertujuan untuk menguatkan klaim-klaim eksklusivisme agama tertentu. Ini bisa berbentuk ceramah, artikel, atau debat publik yang tampaknya hanya ingin mempertahankan kebenaran teologis dari keyakinan tertentu, tetapi di dalamnya terselip pesan-pesan yang mengarahkan pendengarnya untuk merendahkan, mengisolasi, atau bahkan menyerang kelompok agama lain yang dianggap bersebrangan.

Dengan mengemasnya dalam bahasa yang terlihat netral dan rasional, para pelaku apologetik semacam ini berupaya menciptakan kesan bahwa pandangan mereka adalah yang paling benar, sementara pandangan lain salah dan sesat. Di sinilah wacana apologetik mulai berbahaya, karena argumen-argumen yang disampaikan bukan lagi bertujuan untuk dialog yang sehat, melainkan untuk menciptakan permusuhan dan memperkuat sentimen kebencian.

Fenomena ini dapat kita lihat dalam berbagai peristiwa intoleransi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Kasus-kasus penyerangan terhadap rumah ibadah, penolakan pendirian tempat ibadah, dan tindakan kekerasan terhadap penganut agama minoritas sering kali dipicu oleh sentimen-sentimen keagamaan yang dibungkus dengan dalih pembelaan terhadap agama mayoritas. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, tindakan-tindakan tersebut bukanlah hasil dari ajaran agama yang mereka anut, melainkan hasil dari manipulasi.

Wacana apologetik yang bermuatan intoleransi biasanya juga memperkuat narasi “kami versus mereka” yang membelah masyarakat menjadi dua kutub: kelompok yang benar dan kelompok yang salah, kelompok yang saleh dan kelompok yang sesat. Dengan membangun identitas kolektif yang eksklusif, kelompok berkedok apologetik ini memperlemah semangat kebersamaan dan toleransi yang seharusnya menjadi dasar kehidupan bermasyarakat.

Dalam konteks Indonesia yang plural, dampak dari narasi semacam ini sangat merusak. Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara sudah secara jelas menegaskan pentingnya keberagaman dan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila bukan hanya sekadar slogan, melainkan falsafah yang menjaga agar seluruh elemen masyarakat dapat hidup dalam harmoni tanpa melihat perbedaan agama, suku, atau ras. Namun, ketika narasi apologetik yang intoleran merajalela, nilai-nilai ini terancam oleh polarisasi yang dalam.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan sebagai bagian dari identitas mereka. Namun, masalahnya muncul ketika agama, yang seharusnya menjadi sumber perdamaian dan kasih sayang, dijadikan senjata untuk mempertegas perbedaan dan menanamkan kebencian pada kelompok.

Terlebih di era digital ini, di mana penyebaran wacana apologetik yang berpotensi memicu intoleransi semakin mudah dilakukan melalui media sosial. Informasi yang menyesatkan, termasuk sentimen keagamaan, dapat dengan cepat tersebar luas dan mempengaruhi pola pikir masyarakat. Karena, literasi digital menjadi hal yang mendesak untuk ditingkatkan, agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh adanya sentimen keagamaan.

Indonesia yang beragam hanya bisa tetap bersatu jika setiap elemen masyarakat, baik mayoritas maupun minoritas, mampu hidup berdampingan dengan penuh penghormatan terhadap perbedaan. Dengan demikian, menolak wacana apologetik yang bermuatan intoleransi adalah langkah penting untuk menjaga perdamaian dan persatuan dalam keragaman.

Facebook Comments