Fenomena Dai Mualaf; Menyoal Trend Dakwah Konfrontatif dan Provokatif

Fenomena Dai Mualaf; Menyoal Trend Dakwah Konfrontatif dan Provokatif

- in Narasi
73
0

Dalam beberapa tahun belakangan ini, lanskap dakwah Islam di Indonesia diwarnai oleh kemunculan para pendakwah (dai) mualaf. Istilah dai mualaf merujuk pada sosok pendakwah atau penceramah agama yang baru saja memeluk Islam.

Para dai mualaf ini juga memiliki ciri atau karakter lainnya, yakni model dakwahnya yang kerap menjelek-jelekkan agama sebelumnya dan membandingkannya dengan agama barunya (Islam).

Menariknya, para dai mualaf ini memiliki semacam pasar tersendiri. Para pendengar mereka cenderung militan dan sebagian besar berasal dari kalangan muslim konservatif-fundamentalis. Hal ini bisa dilihat dari pengajian dakwah mereka di berbagai forum atau yang disiarkan melalui berbagai kanal media sosial.

Fenomena dai mualaf ini menyisakan sejumlah persoalan. Antara lain, seperti susah disebut diatas, para dai mualaf ini cenderung mengetengahkan dakwah yang konfrontatif. Di mimbar dakwah, mereka tidak segan mengumbar aib komunitas agama sebelumnya, bahkan memfitnah para tokoh agama sebelumnya, serta lebih jauh menjelek-jelekkan ajaran dan simbol agama mereka sebelumnya.

Problematika Dai Mualaf

Hal ini tentu menimbulkan sakit hati komunitas agama lain, dan rawan menimbulkan perpecahan antar-agana. Apalagi para dai mualaf itu berbicara seolah-olah mereka adalah wakil atau representasi umat Islam secara keseluruhan. Padahal, nyatanya tidak demikian. Para dai mualaf itu tidak pernah merepresentasikan sikap seluruh umat Islam terhadap agama lain.

Kedua, para dai mualaf itu cenderung mengangkat tema-tema yang sangat sensitif bagi hubungan umat antaragama di negara majemuk Indonesia. Meraka membahas tema-tema kontroversial seperti bagaimana kedudukan Yesus dalam agama Islam, atau bagaimana trinitas dihadapkan pada ajaran tauhid.

Tema-tema kontroversial itu pun disampaikan dengan tendensi yang jelas-jelas menghina ajaran dan simbol agama lain. Hal ini tentu rawan memicu amarah kelompok non-Islam yang agamanya direndahkan dan dihina sedemikian rupa oleh para dai mualaf tersebut.

Ketiga, para dai mualaf itu umumnya tidak memiliki otoritas keagamaan yang mumpuni. Baik dalam konteks agama sebelumnya, maupun agama Islam yang dipeluk sekarang. Dalam konteks agama sebelumnya, mereka bukan pakar keagamaan. Kerap kali mereka mengaku sebagai mantan pastor, pendeta atau tokoh agama lainnya. Namun, setelah dicek riwayat dan katae belakangnya, ternyata itu bukan belaka.

Demikian pula, dalam konteks Islam, para dai mualaf itu juga umumnya tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk berdakwah. Ilmu keislaman dasar saja mereka cenderung tidak menguasai dengan baik. Itulah mengapa mereka cenderung menghindari pembahasan tentang fiqih, Kalam, atau tasawuf sebagaimana kerap dibahas para pendakwah.

Untuk menutupi kelemahannya di tema-tema tersebut, mereka lebih memilih untuk membahas tema kontroversial. Ironisnya, hal itu justru disukai oleh sebagian umat Islam, khususnya kaum konservatif-fundamentalis.

Pentingnya Edukasi dan Regulasi

Fenomena maraknya dai mualaf ini menjadi penanda adanya sejumlah persoalan dalam tubuh Islam sendiri. Pertama, kita tidak punya aturan yang jelas terkait regulasi dakwah. Ihwal siapa yang boleh berdakwah, tema apa yang boleh dibahas, dan bagaimana dakwah seharusnya disampaikan sampai hari ini tidak atau belum ada regulasi resmi yang mengatur.

Alhasil, dakwah akhirnya diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Siapa yang mendapat atensi publik luas pun akhirnya mendapat panggung yang besar dalam lanskap dakwah keislaman nasional. Tidak peduli, apakah ia punya otoritas keilmuan yang mumpuni atau tidak.

Mekanisme pasar bebas dakwah inilah yang memungkinkan para pendakwah kontroversial termasuk para dai mualaf mendapat popularitas begitu luas di tengah umat. Mereka laris-manis diundang dakwah kesana-kemari, karena memang demand-nya sangat tinggi.

Kedua, umat Islam sendiri sebagian masih belum bisa memilah mana pendakwah yang kayak didengarkan dan mana yang tidak. Umat Islam, utamanya kelas menengah urban yang memang baru saja merasakan ghiroh keislaman, acapkali gagap menghadapi fenomena dakwah apalagi di era digital.

Akhirnya, mereka kerap takluk di hadapan algoritma media sosial. Meraka lantas hanya mengonsumsi dakwah yang viral di media sosial. Cilakanya, hari ini yang mendominasi jagad maya adalah model dakwah konfrontatif-provokatif seperti tampak pada fenomana dai mualaf tersebut.

Ke depan, kita tentu harus membangun kesadaran umat akan bahaya dakwah konfrontatif. Kesadaran itu penting agar umat tidak lagi memberikan panggung pada para dai yang suka menghina agama lain, dan membenturkan antar sesama umat beragama. Umat wajib memiliki semacam filter untuk menyaring konten dakwah yang mereka nikmati di media sosial.

Tidak kalah penting dari itu, pemerintah dan organisasi keagamaan idealnya bersinergi menyusum regulasi dakwah yang resmi. Bagaimanapun juga, dakwah yang belakangan juga menjadi industri harus diatur oleh hukum yang sah.

Harus ada aturan yang melarang model dakwah konfrontatif dan provokatif yang mengancam kebinekaan bangsa. Ini artinya, harus ada aturan yang memungkinkan para dai penebar fitnah dan kebencian itu dijerat hukum. Jika tidak, maka fenomana dakwah konfrontatif-provokatif akan terus eksis.

Facebook Comments