Perhelatan muktamar yang diselenggarakan hampir bersamaan oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, telah menarik perhatian banyak pihak. Bukan saja mereka yang memang secara definitif menjadi anggota atau pengurus dari ormas yang bersangkutan, namun juga pihak-pihak lain yang tidak memiliki kaitan secara struktural. Hal ini dikarenakan muktamar yang dihelat kali ini mengangkat isu kebangsaan sebagai tema utamanya, NU dengan “Islam Nusantara”-nya, sementara Muhammadiyah mengusung tema “Islam Berkemajuan”.
Seluruh elemen bangsa tentu menyandarkan sebagian harapan terkait nasib Indonesia kedepan pada perhelatan muktamar ini. Tema kebangsaan yang diangkat baik oleh NU maupun Muhammadiyah tidak bisa dianggap remeh, karena pada muktamar yang di gelar di Jombang (NU) dan Makasar (Muhammadiyah) ini, kedua ormas di atas sedang membicarakan kejayaan bangsa yang mulai sedikit meleleh.
Maka dalam konteks bersama-sama membangun bangsa, muktamar dua ormas di atas tidak boleh secara sempit dipandang sebagai ajang saingan atau unjuk muka, karena jika ditilik lebih mendalam, keduanya sama-sama menggodok ide dan gerakan nyata untuk menjaga dan membesarkan Indonesia.
Berkumpulnya para kyai, pemuka agama, dan pemuda dalam arena muktamar merupakan momen vital dalam melahirkan gagasan dan kerja nyata bagi bangsa. Karenanya baik NU maupun Muhammadiyah harus memaksimalkan momen ini untuk membahas isu-isu penting yang berserakan di seluruh pojokan negeri. Mulai isu kemiskinan, pendidikan, perempuan, anak, LGBT, radikalisme, keadilan sosial, teknologi baru, hingga isu politik harus masuk kedalam menu pembahasan.
Hal ini tentu tidak berlebihan, mengingat bahwa spirit utama yang diusung oleh KH. Hasyim Asy’ari ketika mendirikan NU pada 1926 adalah untuk menjadi salah satu wajah Islam toleran yang konsisten menyampaikan dakwah yang damai. Demikian juga dengan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan ketika menggawangi pendirian Muhammadiyah pada 1912, beliau menekankan kesalehan yang bukan saja ada pada level individual, tetapi juga pada harus ada pada level sosial (kesalehan sosial).
Karenanya, fungsi NU sebagai penyebar dakwah yang damai, serta Muhammadiyah sebagai dasar bagi kesalehan sosial, harus dipadukan untuk mewujudkan Islam Indonesia yang berkemajuan. Yakni islam yang toleran dan anti kekerasan, baik dalam hal pikiran maupun perbuatan. NU dan Muhammadiyah harus mampu secara bersama-sama menyingsingkan lengan baju masing-masing dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin, menjadi berkah untuk seluruh alam, bukan saja untuk manusia, tetapi untuk seluruh alam.
Peran dan fungsi kedua ormas besar ini tentu tidak bisa dipandang sebelah mata, karena mereka telah ada dan menggejala bahkan sebelum negeri ini merdeka dan menjadi Indonesia. Karenanya tidak berlebihan jika harapan besar bagi terciptanya bangsa yang berkeadilan dan berkeadaban disandarkan pada pundak keduanya. Karena sejarah telah menunjukkan bahwa kombinasi antara tokoh agama dan pemuda mampu mengantarkan Indonesia mencapai kejayaan seperti yang selalu diimpikan.
Kini tantangan terbesar bagi Islam Indonesia adalah mewujudkan Islam yang toleran, yang tidak lagi disesaki dengan parade kekerasan dan kesewenang-wenangan. Islam –melalui peran dua ormas di atas– harus mampu tampil sebagai penggerak utama dalam memerangi ketidakadilan dan korupsi yang telah lama menggerogoti negeri ini.
Selamat bermuktamar…