Usia Nahdlatul Ulama (NU) tahun ini menginjak 95 tahun sesuai kalender Masehi dan 98 tahun merujuk penanggalan Hijriah. Menjelang usia satu abad ini, NU masih berdiri kokoh sebagai benteng NKRI dan Pancasila dari infiltrasi ideologi asing. Soal komitmen menjaga keislaman dan keindonesiaan, sikap NU barangkali tidak perlu diragukan lagi. Tahun ini, Harlah NU mengusung tema “Menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan”. Sebuah tema yang tentu relevan dengan situasi keislaman dan kebangsaan Indonesia belakangan ini yang diwarnai oleh tantangan berat ihwal infiltasi paham keagamaan radikal.
Dalam pidatonya di acara peringatan Harlah NU, Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj mengungkapkan keresahannya terhadap maraknya penyebaran hoaks, ujaran kebencian dan fitnah adu-domba yang dilakukan salah satunya oleh kelompok takfiri yang selama ini bernaung di bawah payung besar gerakan salafi-wahabi. Beliau (Kiai Said) bahkan meminta pemerintah menutup situs daring dan akun media sosial yang selama ini menjadi corong amplifikasi gagasan salafisme dan wahabisme.
Perbincangan ihwal salafisme dan wahabisme akan menuntun kita pada persoalan yang cukup pelik. Keduanya merupakan dua ideologi dan gerakan yang sebenarnya memiliki akar yang berbeda, namun kerapkali dianggap sama oleh sebagian kalangan. Dalam banyak literatur akademik disebutkan bahwa wahabisme ialah paham keislaman yang berakar dari pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, seorang tokoh ahli hukum Islam yang bersama Abu Saud berperan mendirikan kerajaan Arab Saudi. Wahabisme menjadi doktrin Islam remsi kerajaan Arab Saudi. Wahabisme dicirikan dengan karakter Islam puritan, yakni doktrin Islam yang menolak pembaharuan (modernitas), anti-pluralitas dan berupaya memurnikan Islam dari pengaruh luar. Dalam perkembangannya, wahabisme lekat dengan citra kekerasan (violence) dalam aktivitas dakwah Islam yang dilakoninya.
Sementara salafisme merupakan paham keislaman yang merujuk pada tiga pemikir Islam besar, yakni Jamaluddin al Afghani, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh yang dikenal sebagai reformis dunia Islam. Terminologi salafisme yang merujuk pada tiga pemikir Islam tersebut memiliki agenda membebaskan Islam dari ketertinggalan, kejumudan dan keterbelakangan yang diakibatkan oleh dominasi pemikiran Barat. Dalam perkembangannya, salafisme bertransformasi menjadi beragam corak gerakan, mulai tarbiyah yang fokus pada aspek penyadaran umat melalui pendidikan, haraqi yang fokus pada gerakan sosial-politik, hingga jihadi yakni gerakan berbasis perjuangan fisik yang mentolerir cara-cara kekerasan dalam meraih tujuan.
Konstelasi politik global dan dunia Islam yang rumit pada akhirnya mempertemukan dua ideologi (salafisme dan wahabisme) ini dalam satu titik dan mewujud pada fenomena Islam politik yang populer dalam beberapa dekade belakangan ini. Fenomena inilah yang disebut oleh para pakar kajian Islam sebagai “salafisme kontemporer” yakni gerakan Islam yang bercorak ideologis-politis dan menghendaki adanya perubahan radikal dalam dunia Islam. Secara teologis, gerakan Salafisme kontemporer menghendaki adanya praktik keislaman yang murni seperti di zaman Rasulullah dan menolak adanya infiltrasi unsur di luar Islam, seperti tradisi lokal, adat-istiadat atau budaya dan sejenisnya. Dari sisi politik, Salafisme kontemporer mengagendakan sebuah bentuk imperium (kekhalifahan) Islam seluruh dunia dan memiliki kekusaan terpusat (sentralistik).
Keberpihakan Pemerintah sebagai Modal Sosial Melawan Salafisme Kontemporer
Di Indonesia, gerakan salafisme kontemporer cenderung menimbulkan banyak problem sosial-politik. Sikap anti pluralitas dan anti-lokalitas telah menumbuhkan benih-benih eksklusivisme bahkan radikalisme. Maka, tidak berlebihan untuk menyebut bahwa fenomena radikalisme dan terorisme yang menghantui Indonesia selama dua dekade belakangan ini berakar dari gerakan salafisme kontemporer terutama yang bercorak jihadi. Gelombang naiknya popularitas media baru (internet dan sosial media) membuat manuver gerakan salafi kontemporer kian membahayakan. Dengan medium internet dan medsos, propaganda eksklusivisme, radikalisme dan jihad kekerasan dengan mudah bisa disebarluaskan ke masyarakat. Indoktrinasi, bahkan kaderisasi pun bisa dilakukan via daring. Masifnya propaganda salafisme kontemporer ini juga kian meningkat di masa pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas daring masyarakat melonjak tajam.
NU sebagai ormas Islam sekaligus lokomotif penggerak moderasi agama dan penjaga tradisi Nusantara tentu tidak bisa berdiri sendiri menghalau manuver gerakan salafisme kontemporer. Pemerintah sebagai pemegang otoritas yang memiliki wewenang, termasuk dalam hal mengatur konten keislaman di ranah digital tentu memiliki tanggung jawab yang sama besarnya. Penegakan regulasi hukum dengan menutup media daring dan akun medsos milik kelompok salafi kontemporer penting dilakukan untuk membatasi ruang gerak kaum radikal di negeri ini. Sikap permisif pada gerakan salafisme kontemporer dengan dalih penegakan demokrasi hanya akan membahayan eksistensi bangsa dan negara. Sudah banyak negara muslim yang jatuh dalam kubangan konflik sektarian karena bersikap permisif pada kelompok salafi kontemporer.
Pemblokiran situs atawa akun medsos kalangan salafi kontemporer barangkali memang tidak akan menumpang ideologi salafisme dan wahabisme hingga ke akarnya. Pemblokiran situs dan akun medsos salafi kontemporer lebih dimaksudkan untuk tiga hal. Pertama, memberikan semacam warning alarm pada kelompok salafi kontemporer bahwa negara tidak tinggal diam dan tidak menoleransi segala bentuk gerakan yang mengancam keutuhan bangsa. Kedua, meredam gaung doktrin salafi kontemporer yang belakangan ini makin mendominasi ruang publik setelah diamplifikasi melalui medium internet dan medsos. Ketiga, memberikan semacam penegasan bahwa pemerintahan saat ini memberikan komitmen dan keberpihakan pada kelompok Islam moderat yang ramah pluralitas dan setia pada NKRI serta Pancasila.
Komitmen dan keberpihakan negara pada Islam moderat sangat diperlukan sebagai modal sosial menghalau gerakan salafi kontemporer, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Negara memang harus berdiri di atas kepentingan semua golongan. Namun, hal itu tidak berarti bahwa negara harus mengayomi kelompok yang menjadi benalu demokrasi, seperti kaum salafi kontemporer yang rajin menebar propaganda dan provokasi. Sinergi pemerintah dan kelompok sipil-keagamaan berhaluan moderat dan nasionalis sangat diperlukan demi memastikan tidak ada ruang bagi kaum salafi kontemporer untuk bermanuver.