Pada akhir tahun 2020 yang lalu, pencinta film tanah air di buat takjub dengan sebuah film pendek berjudul berjudul “Tilik”. Film yang diproduksi oleh Ravacana Films bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY ini pertama kali diunggah ke kanal Youtube pada tanggal 17 Agustus 2020. Tak mengherankan jika kemudian wajah Bu Tedjo menjadi viral dan trending topik di media sosial. Berdasarkan penelusuran penulis, di kanal Twitter, sudah lebih dari 20.000 pengguna Twitter yang menggaungkan nama Bu Tedjo dalam sehari (20/08).
Dalam percakapan inilah, muncul sosok yang amat menggelitik sekaligus membuat perasaan penonton campur aduk. Antara kesal dan geram dengan kelakuan Bu Tedjo. Selain itu, ada pula Yu Ning yang selalu berseberangan dengan Bu Tedjo. Diantara semua perdebatan yang ditampilkan dalam film ini, satu hal yang menjadikan penulis teramat geleng-geleng kepala dengan sosok Bu Tedjo.
Dalam film tersebut, Bu Tedjo digambarkan sebagai figure yang suka nyinyir. Tidak hanya blak-blakan dalam ghibah semata, namun Bu tedjo juga kerap kali menunjukkan ketidaksukaannya terhadap sosok Dian. Ketidaksukaan inilah yang dalam film tersebut ditonjolkan dalam bentuk ucapan Bu Tedjo yang bertujuan untuk menjatuhkan sosok Dian.
Kritik atau Nyinyir
Enam hari lalu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Menurut Jokowi, kritik tersebut adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. “Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan,” kata Jokowi saat memberi sambutan di Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin, 8 Februari 2021. (Tenpo,15/2/2021)
Pernyataan yang disampaikan oleh Jokowi itupun kemudian menimbulkan berbagai tanggapan dari netizen tanah air. Secara garis besarnya, tanggapan tersebut menimbulkan polarisasi netizen Indonesia kedalam beberapa kelompok. Yakni ada yang pro dan juga ada pula yang kontra. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan menbahas lebih dalam terkait kedua kelompok tersebut. Akan tetapi, penulis lebih menyoroti terkait dengan kritikan seperti apa yang diharapkan oleh Jokowi.
Dalam pernyataan tersebut, setidaknya presiden Indonesia ketujuh ini mengharapkan masyarakat agar turut serta aktif dalam menilai birokrasi pemerintahan. Dimana masyarakat dihimbau agar senantiasa memberikan kritik dan masukan yang membangun terkait dengan kinerja pemerintah. Dalam hal ini berkaitan erat dengan pelayanan public yang diberikan oleh birokrasi pemerintahan terhadap pelayanan masyarakat.
Perlu dicatat bahwa kritikan yang diharapkan bersifat konstruktif. Sekali lagi harus bersifat konstruktif. Artinya kritikan tersebut tidak hanya mengkoreksi kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan public saja, akan tetapi juga disertai dengan solusi yang relevan. Kritikan seperti inilah yang sangat diperlukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk lebih meningkatkan kinerja pemerintah.
Akan tetapi, tampaknya yang terjadi tidak serratus persen seperti apa yang diharapkan oleh Jokowi. Tampaknya, netizen Indonesia juga telah mengalami syndrome ala-ala Bu Tedjo, sebagaimana sosok Bu Tedjo yang telah penulis ungkapkan di muka. Dimana netizen Indonesia sebagian besar masih ada yang memberikan tanggapan berupa nyinyiran atas pernyataan Jokowi.
Tidak hanya satu atau dua akun saja, banyak netizen Indonesia yang berlomba-lomba untuk nyinyir seperti yang dilakukan Bu Tedjo. Bahkan tidak jarang, netizen Indonesia yang bar-bar. Dimana mereka seperti masyarakat primitive yang masih tinggal di hutan. Maksudnya, tidak hanya melakukan nyinyir seperti Bu Tedjo saja, nyinyiran yang dilakukan oleh netizen Indonesia juga disertai dengan kata0kata yang berbau kebun binatang. Seperti kata anjing, asu, kodok, cebong, gudel, kadrun, dan lain sebagainya.
Nyinyiran primitive seperti inilah yang akan terus menerus menjerumuskan netizen Indonesia. Tanpa mereka sadari, apa yang mereka tulis sudah melenceng jauh dari yang nananya kritik konstruktif. Dimana seharusnya netizen Indonesia mampu memainkan peran sebagai pihak oposisi yang mampu memberikan sumbangsih kepada pemerintah. Dalam hal ini berupa sebuah pemikiran maupun ide-ide berlian yang mampu menghadirkan perubahan dalam kinerja pemerintahan.
Oleh sebab itu, sudah seyogyanya kita untuk bersikap dewasa dan menjauhi budaya nyinyir. Dimana seharusnya kebebasan berpendapat yang diberikan oleh pemerintah harus dimanfaatkan dengan arif dan bijaksana. Karena perlu disadari, bahwa kekuatan sebuah postingan di media sosial itu sangatlah luarbiasa. Maka, sudah seharusnya kita harus memanfaatkan media sosial dengan optimal. Termasuk didalamnya dengan memberikan kritik yang konstruktif terhadap pelayanan public yang diberikan oleh pemerintah.