DI era serba digital dan hampir semua orang memiliki smartphone, membuat hampir semua orang di muka bumi ini mengetahui dan pernah berselancar di dunia maya (online). Media sosial yang semakin beragam, seperti adanya facebook, twitter, instagram, line, dsb, membuat generasi muda saat ini menjadi kian rajin online. Apakah itu untuk berkomunikasi jarak jauh, mencari informasi, dan seterusnya.
Sejak internet hadir beberapa tahun silam, kini, kita dipenuhi dengan lautan informasi. Persoalan informasi itu berguna atau tidak, itu tergantung dengan kita, apakah mau pilah-pilih atau tidak. Saya bukanlah anti terhadap internet. Justru, saya banyak mencari berbagai informasi itu dari internet. Masyarakat Indonesia pun juga sama.
Survei Edelman Trust Barometer pada 2015 di Indonesia, misalnya, menunjukkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap online search engines mencapai 80 persen atau sama setahun sebelumnya. Sedangkan kepercayaan masyarakat terhadap koran dan televisi malah menurun sampai 5 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 72 persen.
Internet oleh para ahli dianggap sebagai media baru (new media). Menurut Rasmussen dalam Social Theory and Communication Technology (2000), new media memiliki kontribusi yang sangat berpengaruh dalam integrasi sosial, berperan penting dalam kehidupan, mempengaruhi pemikiran sehingga dapat mendorong penggunaan media yang beragam dan partisipasi yang lebih luas.
Kelompok ekstremis, misalnya, sadar betul akan pengaruh new media ini. Untuk memuluskan misinya, mereka juga melakukan propaganda-propaganda radikalisme. Propaganda, menurut Hans Spier, ialah aktifitas komunikasi dari pemerintah kepada warga negaranya, warga negara lain di daerah itu, dan juga negara asing secara umum. Namun di lapangan, aktifitas propaganda juga dilakukan oleh aktor non-negara, seperti teroris.
Jika melalui media massa mainstream, ajaran radikal bisa dikenai sensor. Lain halnya jika di internet, yang bisa memungkinkan ekstremis menyebarkan paham radikal dengan mulus. Mereka ada yang membuat situs di internet dengan kedok portal berita dan sejenisnya. Di situs itu juga berisi narasi yang mengandung pesan-pesan tertentu agar pembaca menjadi sentimen dan bahkan mengkafirkan kelompok lain.
Banyak generasi muda menjadi korban dari propaganda radikalisasi online. Contoh terbaru, seorang anak muda berusia 22 tahun kedapatan melakukan aksi teror. Tiga polisi terluka karena diserang secara membabi buta oleh pelaku berinisial SA di pos polisi Cikokol, Tangerang, Banten (tempo.co, 20/10). Sebelumnya, ada kasus IAH. Sama seperti IAH, SA juga diduga merupakan simpatisan ISIS.
Mereka belajar paham radikal dan berhubungan dengan jaringan radikal melalui internet. Tanpa melakukan penelusuran lebih komprehensif, mereka bisa terjebak retorika radikalisme dan melakukan teror. Memang, Kemenkominfo RI telah memblokir situs-situs yang dinilai mengandung muatan radikal. Namun, Hasil Survei terbaru APJII menyebutkan, 30,2 persen netizen merasa puas dengan pemblokiran situs-situs tertentu itu, dan 69,2 persen menyatakan belum cukup.
Maka itu, kita perlu cara lain agar bisa memutus radikalisasi babak baru. Satu hal yang pasti, kita perlu memiliki jiwa detektif. Informasi yang kita peroleh dari online perlu kita teliti, apakah itu memuat informasi yang benar, ujaran kebencian, dsb. Apalagi mengingat semua orang di internet memiliki kesempatan yang sama digunakan untuk kepentingan masing-masing.
Kemampuan jiwa detektif di dunia maya seperti tersebut juga disebut literasi digital. Literasi digital bukan saja mencakup kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan untuk berpikir secara kritis terhadap informasi yang ditemukan melalui media digital. D. Bawden (2001) menyebutkan, literasi digital menyangkut beberapa aspek.
Perakitan pengetahuan adalah aspek pertama. Aspek ini mencakup kemampuan membangun informasi dari berbagai sumber yang terpercaya. Berikutnya, kemampuan menyajikan informasi, termasuk di dalamnya berpikir kritis dalam memahami informasi dengan kewaspadaan terhadap validitas dan kelengkapan sumber dari internet.
Ketiga, kemampuan membaca dan memahami materi informasi yang tidak berurutan dan dinamis. Setelah itu, kesadaran tentang arti media konvensional dan menghubungkannya dengan internet. Kesadaran terhadap akses jaringan orang yang dapat digunakan sebagai sumber rujukan dan pertolongan menjadi aspek kelima. Lalu, penggunaan jaringan terhadap informasi yang datang. Dan, terakhir, merasa nyaman dan memiliki akses untuk mengkomunikasikan dan mempublikasikan informasi.
Akhir kata, banyak pihak telah mengakui bahwa radikalisme kini memasuki babak baru, yaitu radikalisme online. Artinya, kelompok teroris di tengah berkembang pesatnya teknologi dan internet juga kian kreatif menggunakan media ini untuk menyebarkan paham radikal. Asalkan kita semua ketika berselancar di internet dengan jiwa detektif (literasi digital), besar kemungkinan kita tak akan tergoda bujuk rayu membahayakan itu. Wallahu a’lam.