Ada sebuah fragmen yang menarik ketika Sunan Kalijaga, yang saat itu lebih dikenal sebagai Syekh Malaya, hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Maulana Maghribi, yang saat itu hadir laiknya Nabi Khidhir, mengingatkannya bahwa putra Tumenggung Sahur itu terlalu jauh seandainya hendak pergi ke Mekkah. Justru, ketika Jawa hendak ditinggalkannya akan menjadi “kafir.”
Memang, tak ada catatan yang pasti bahwa Sunan Kalijaga pernah pergi berhaji. Tapi Serat Seh Malaya, yang menceritakan perjalanan seorang Kalijaga, menyingkapkan suatu cara-pandang yang menarik untuk ditelisik. Cara-pandang itu adalah cara-pandang yang terlalu muluk sehingga ketika orang memakainya akan kehilangan hal-hal yang kecil, pinggiran, terkesan tak penting, tapi sebenarnya sangatlah pokok.
Ki Nartosabdo pernah menggubah sebuah langgam yang berjudul “Dara Muluk” yang mengisahkan perihal orang yang memburu hal-hal yang bersifat kakap yang justru mengakibatkan kehilangan apa yang sudah dimilikinya meskipun hanyalah hal-hal yang bersifat teri.
Rame-rame ngoyak dara mabur muluk aduh
Nusup silem neng mego
Alok-alok playune kesandhung-sandhung tobil
Darane dhewe ucul
Jroning gupon akeh piyike
Nora kopen kontrang-kantring
Akeh kabandhang gupone katon komplang
Jebulane sakabehe
Melik sarta melok ingkang dudu mesthine
Amburu uceng kelangan dheleg
Mrih tentreming bebrayan urip ingkang prasaja
Angan, sepertinya, memang menjadi salah satu ganjalan manusia untuk hidup tanpa goncangan yang berarti. Dalam Buddhisme angan atau pikiran itu didamik sebagai sumber samsara yang karenanya mestilah dikontrol atau tak dibiarkan ngayawara. Sedangkan dalam sufisme angan itu disebut sebagai waham yang mengakibatkan pula manusia yang dikuasai olehnya merasakan sakit hati. Hati yang semestinya serupa kantong bolong akhirnya menjadi ruang yang penuh dengan isi yang dikenal sebagai penyakit hati: dengki, srei, dahwen, panasten, dst.
Dalam khazanah budaya Jawa karakteristik angan kerap diungkapkan dengan peribahasa “cebol nggayuh lintang (cebol menggapai bintang).” Artinya, sudah menjadi tabiat angan untuk bersifat muluk dan kejauhan. Di sinilah orang belajar tentang peringatan Semar pada Durga dalam kisah pewayangan Jawa, “wis wani wirang?.”
Durga selalu saja terseret oleh waham-nya yang mengakibatkan terjadinya goncangan kosmologis yang tak hanya menyeretnya pada kewirangan dan kegagalan yang akut serta menyorongkannya lebih dalam pada lembah kejahatan. Bathara Guru, selaku penguasa Triloka, juga dinamakan Sang Hyang Jagat Pratingkah karena, begitu terpedaya pada Durga, angannya menjadi dominan tingkahnya yang akhirnya menyebabkan bergolaknya dunia yang dikenal sebagai Gara-Gara.
Menyimak kasus Palestina mutakhir, tampaknya hal-hal di ataslah yang perlu diperhatikan dalam menentukan kebijakan politik luar negeri bangsa Indonesia. Jarak yang jauh, yang hanya bermodalkan media, membuat renik apa yang terjadi tak lagi gamblang dan laik diperhatikan. Orang seperti terobsesi pada hal-hal yang jauh yang belum pasti sifatnya (amburu uceng)—seperti kita sendiri pun tak memiliki masalah. Ghirah keislaman bergeliat dengan sedemikian dahsyatnya dimana ketika dikalkulasikan dengan nalar tak ada jawaban yang pasti, pernah melakukan apa Palestina pada Indonesia?
Seabrek masalah cukup menumpuk di negeri sendiri dan hanya karena kebetulan Palestina mayoritas penduduknya muslim lantas membuat kita ramai memburu merpati yang terbang meninggi (“Rame-rame ngoyak dara mabur muluk”). Jangan-jangan, karena terlalu terobsesi pada hal-hal yang tampak pokok (uceng), kita justru tengah kehilangan hal-hal yang terkesan tak pokok tapi sesungguhnya sangatlah pokok (dheleg): kebhinekaan, persatuan, dan renik kemanusiaan saat lebaran (Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021). Di tengah siang yang memanggang, di ujung jalan tampaklah adanya genangan air yang ketika didekati ternyata hanyalah bias cahaya yang tak bisa diraba. Demikianlah karakteristik dari angan atau waham yang kerap membuat wirang.