Pandemi, Provokasi, dan Literasi

Pandemi, Provokasi, dan Literasi

- in Narasi
1470
0
Pandemi, Provokasi, dan Literasi

Pandemi melahirkan persoalan kompleks-multidimensional. Tidak hanya Indonesia, namun seluruh negara di dunia. Guru besar sejarah Universitas Harvard, AS, Niall Campbell Ferguson menyebut bahwa pandemi berdampak pada meningkatnya ekstremisme agama, gejolak sosial-politik, kecurigaan massal, disfungsi mental hingga hiper-skeptisisme alias perasaan skeptis berlebihan. Pembatasan sosial yang berdampak langsung pada sisi ekonomi disinyalir melatari beragam fenomena tersebut.

Di antara problem serius yang harus dihadapi di masa pandemi ini ialah munculnya narasi provokatif yang sengaja dibangun oleh tokoh agama, tokoh politik atau tokoh masyarakat. Seperti yang tampak belakangan ini di lini masa media massa maupun media sosial kita. Sejumlah elite politik dari kelompok oposisi gencar mengembuskan isu “negara gagal”, “pemerintah tidak becus” dan narasi lain yang intinya mendelegitimasi kinerja pemerintah mengatasi pandemi.

Di saat yang sama, sejumlah tokoh agama juga melontarkan isu hoaks seputar pandemi dan vaksinasi covid-19. Ada segelintir tokoh agama yang dengan lantang menyebut pandemi sebagai konspirasi dan vaksinasi merupakan ajang pembantaian. Parahnya lagi, ada tokoh masyarakat yang justru menyerukan aksi massa besar-besaran untuk menciptakan kekacauan sosial-politik dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah.

Paling mutakhir, ada segelintir tokoh masyarakat yang gencar menggaungkan gerakan pembangkangan terhadap pemerintah. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari aksi menentang PPKM Level 3-4, sampai gerakan “Jokowi End Game” yang bertendensi melakukan makar dari otoritas pemerintahan yang sah.

Bahaya Provokasi

Tidak diragukan, gerakan provokatif itu sama berbahayanya dengan Covid-19. Wabah Covid-19 seperti kita tahu mengancam keselamatan manusia. Sedangkan aksi provokatif cenderung mengancam keutuhan bangsa. Covid-19 menyerang tubuh, melemahkannya dari dalam dan membuat kita kesakitan, bahkan bisa berujung kematian. Sedangkan kaum demagog provokator menyerang alam bawah sadar kita, membangun kecurigaan terhadap pemerintah Kecurigaan itu dikapitalisasi sebagai bahan bakar pembangkangan bahkan pemberontakan.

Dalam lingkup terkecil, aksi provokatif itu rawan menimbulkan gejolak sosial. Sikap curiga dan skeptis berlebihan pada pemerintah akan melemahkan soliditas bangsa dalam menghadapi pandemi. Pandemi ialah problem kebangsaan dan kemanusiaan yang harus dihadapi dengan sinergi bersama antara pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Kecurigaan dan skeptisisme berlebihan hanya akan membuat imunitas bangsa lemah. Akibatnya, virus provokasi akan dengan mudah menyebar.

Terlebih saat ini kita hidup di zaman digital. Era ketika segala jenis pesan dan informasi bisa dengan mudah disebarluaskan dan diamplifikasi melalui kanal-kanal platform komunikasi digital seperti internet dan media sosial. Kecepatan penyebaran informasi itu kerap tidak berbanding lurus dengan kemampuan publik mencerna dan menganalisa esensi di balik informasi tersebut.

Konsekuensinya, ruang publik digital kita kerap dibanjiri oleh informasi yang berkelindan dengan hoaks dan provokasi. Rendahnya literasi membuat masyarakat kerap tidak bisa membedakan mana informasi, dan mana hoaks serta provokasi. Semua saling tumpang-tindih dan silang sengkarut membuat penanganan pandemi kian sulit.

Literasi Digital, Sosial-Politik dan Agama

Puncaknya ialah munculnya sindrome “menyalahkan pemerintah” di sebagian masyarakat. Apa pun kebijakan pemerintah selalu dianggap salah. Pembatasan sosial dituding menyengsarakan rakyat kecil. Aturan beribadah dari rumah dituduh menghalangi umat beribadah. Larangan mudik dituduh menghalangi masyarakat bersilaturahmi. Namun, ketika kasus Covid-19 melonjak drastis karena masyarakat abai prokes dan melanggar aturan, mereka menuding pemerintah gagal mengatasi pandemi.

Tidak sampai di situ. Ketika vaksinasi bergulir, ada kelompok yang menolak dengan beragam alibi. Mulai dari alibi bahwa jenis dan merk vaksin yang dianggap tidak efektif menangkal Covid-19. Ada pula yang terang-terangan menyebut vaksinasi Covid-19 sebagai strategi China menjajah Indonesia dan menghancurkan umat Islam.

Disinilah pentingnya kita menguatkan literasi masyarakat dalam berbagai bidang, mulai dari literasi digital, literasi sosial-politik hingga literasi keagamaan. Literasi digital diperlukan agar masyarakat mampu memilah dan memilih informasi yang benar, valid dan berbasis data sehingga terhindar dari hoaks dan provokasi. Literasi sosial-politik dibutuhkan agar masyarakat memiliki pemahaman atas peta isu-isu sosial politik kontemporer.

Ketidakapamahan masyarakat pada peta isu sosial-politik kontemporer kerap membuat masyarakat bersikap naif. Seolah-olah setiap gerakan mengkritisi kebijakan pemerintah ialah benar memperjuangkan aspirasi publik. Padahal, sebagian di antaranya sebenarnya merupakan agenda terselubung untuk melemahkan pemerintah dari dalam.

Terakhir, literasi beragama penting agar masyarakat tidak mudah diprovokasi pihak tertentu dengan mengatasnamakan kepentingan agama. Di masa pandemi, inti beragama ialah terbangunnya spirit kemanusiaan. Yakni bagaimana praktik beragama tidak hanya semata berorientasi pada ketuhanan, namun juga berdampak positif bagi kemanusiaan dan kemaslahatan.

Facebook Comments