Jika ada yang meragukan korelasi antara media sosial dengan sikap dan tindakan radikal mungkin harus banyak belajar dari berbagai kasus terorisme di Indonesia. Tentu sudah banyak pengalaman pahit di negeri ini yang memperlihatkan serangan teror anak muda karena terpapar dari internet.
Ketika mengomentari Kasus rentetan Bom Surabaya pada tahun 2018, saat itu Tito Karnavian yang masih menjabat Kapolri menegaskan bahwa para pelaku teror belajar cara merakit bom dari internet. Online training dalam pembuatan dan perakitan bom banyak ditemukan di media sosial. Tidak mudah akhirnya seseorang melancarkan aksi secara mandiri hanya dengan belajar dari media sosial.
Pengalaman ini dialami oleh pelaku penyerangan terhadap dua anggota Brimob Polri di Masjid Falatehan, Jakarta, Mulyadi (28 tahun). Proses radikalisasi yang dialami Mulyadi terungkap setelah kakak kandungnya dan temannya menceritakan ihwal kesehariannya. Mulyadi kerap menunjukkan berbagai informasi dan video terkait kelompok ISIS. Bahkan ia pernah menegaskan ingin berangkat ke Filipina bergabung dengan jaringan ISIS.
Dalam kasus lone wolf tidak ditemukan hubungan langsung dengan jaringan teror di Indonesia. Pelaku mengalami proses radikalisasi di internet khususnya media sosial. Ruang maya dimanfaatkan tidak hanya sebagai proses radikalisasi tetapi area yang sepenuhnya mendukung terhadap penyiapan aksi.
Bayangkan di internet para pemuda bisa mengakses informasi apapun terkait paham radikal. Ketertarikan anak-anak muda tentang heroisme dan perjuangan agama menjadi tumbuh cepat. Konten ajaran dan pemikiran radikal mudah ditemukan. Mereka pun bisa terhubung di media sosial untuk berinteraksi dengan siapapun secara anonymous.
Ketika proses radikalisasi selesai dan sudah memiliki pemahaman yang militan, saatnya mereka menentukan jalan perubahan. Mereka menyiapkan aksi. Internet sekali lagi menyediakan banyak ruang bagi mereka yang sudah radikal. Media sosial seperti youtube banyak menyimpan file dan data tutorial merakit bom. Onine training pun bisa diakses dalam rangka menyiapkan aksi.
Bagaimana menyiapkan aksi? Toko online banyak menyajikan barang yang dapat diakses dengan mudah. Senjata tajam pun bisa dipesan melalui toko online. Itulah yang dilakukan Mulyadi menurut penuturan saudaranya ketika memesan senjata tajam melalui toko online. Ia tidak sempat menanyakan untuk apa senjata itu dibelinya. Ternyata senjata itulah yang digunakannya untuk melakukan penyerangan terhadap dua anggota Brimob Polri.
Dari berbagai pengalaman itu kita bisa belajar bagaimana anak-anak muda mudah terpapar dan menyiapkan aksi hanya bermodal perangkat digital. Semuanya ibarat tersaji dengan mudah dari perubahan mindset pemikiran menjadi radikal, pelatihan secara online hingga penyiapan aksi dan pembelian alat untuk melakukan penyerangan.
Pelajaran penting adalah anak-anak muda sedang digoda dengan banyak konten yang bermuatan ajaran radikal. Konten itu tentu lebih atraktif dari pada konten perdamaian, toleransi dan harmoni. Karena konten radikal menusuk minat anak-anak muda untuk melakukan perubahan dan seolah menjadi pahlawan.
Kontrol orang tua menjadi minim. Anak muda berselancar di dunia bebas hambatan. Pilihan ada di tangan mereka yang dalam hatinya: hidup menjadi pecundang atau mati sebagai pemenang!. Radikalisasi berjalan begitu cepat dan penyiapan hingga perencanaan aksi begitu mudah didapatkan di internet.
Apa solusinya? Tidak sekedar regulasi! Siapa yang akan mengontrol rimba internet yang begitu luas? Regulasi hanya akan menjadi sia-sia jika tidak dibarengi literasi. Butuh gerakan literasi digital yang tidak hanya soal kecakapan bermedia sosial, tetapi tanggungjawab bermedia sosial.
Literasi digital ini mutlak menjadi Pendidikan sejak anak dini bukan hanya untuk anak remaja dan dewasa. Menanamkan budaya literasi harus dimulai dari dini dengan membiasakan anak-anak tidak sekedar mengonsumsi informasi secara pasif, tetapi harus membiasakan dialog dan verifikasi. Tentu ini bukan sekedar tugas guru, tetapi terpenting juga orang tua. Literasi dari keluarga akan lebih menentukan masa depan anak ke depan.
Orang tua hanya diberikan pilihan. Memilih serius untuk mengawasi dan mendidik anak di media sosial atau membiarkan mereka bebas terbang tanpa batas yang ada kemungkinan bisa tersesat.