Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

- in Keagamaan
159
0

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam Islam. Menurut mereka, nation-state bertentangan dengan konsep kenegaraan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad di era Makkah-Madinah. Salah satu dalil yang sering dilontarkan adalah perihal kesempurnaan Islam yang tersebut dalam QS. Al-Maidah: 3.

Dalil ini menurut mereka meniscayakan bahwa amalan apapun termasuk ijtihad politik dan kebangsaan yang tidak sesuai dengan sunnah Rasululllah adalah salah. Ayat ini selalu digunakan sebagai pembenaran dengan asumsi bahwa pada hakikatnya agama telah sempurna, tidak perlu penambahan dan pengurangan dan Allah telah meridai agama yang sempurna ini, kata mereka. Sehingga amalan-amalan yang ada atau diadakan setelah Nabi wafat bertentangan dengan agama yang sudah sempurna.

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا

“ … Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu …”

Pendapat seperti ini sebenarnya merupakan hasil dari kesalahan berpikir dalam memahami ayat. Pemahaman tekstual dan monodisipliner menuntun pembacanya menuju pemahaman monoton, statis, dan kolot. Ya begitulah akhirnya, menjadi hobi menyalahkan sana sini.

Terdapat redaksi “Kusempurnakan” dalam ayat tersebut. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan, “sempurna” yang dimaksud apakah ‘sempurna apa adanya’ atau ‘sempurna sebagai dalil’?

Jika pertanyaan ini diajukan kepada si tukang membid’ahkan, mereka akan menjawab sempurna apa adanya. Artinya setelah turun ayat ini, sempurna dan final sudah agama Islam. Segala amalan yang tidak berdasar Al-Quran dan sunnah, setelah ayat ini turun, akan otomatis mendapatkan konsekuensi sebagai mengada-ada, alias bid’ah, atau sesat.

Mereka lupa bahwa pasca wafatnya Nabi Muhammad, Aisyah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat lainnya banyak diceritakan melakukan ijtihad-ijtihad agama dalam memutuskan sesuatu dan bertindak. Jika merunut pada asumsi ‘sempurna apa adanya’, apakah para sahabat ini bisa dikatakan menandingi Allah Swt. dalam arti menambahi kesempurnaan yang telah Allah Swt. putuskan, atau bahkan merasa kurang sehingga kesempurnaan itu harus ditambahi?

Dalam potongan ayat tersebut setidaknya ada empat variabel yang bisa dibedah, yaitu hari ini, agama telah sempurna, nikmat yang sudah dicukupkan, dan Islam diridhoi Allah sebagai agama umat Rasulullah.

Poin-poin tersebut menciptakan pertanyaan-pertanyaan. Pertama, jika hari itu, saat turunnya ayat tersebut, Allah telah sempurnakan agama Islam, lalu apakah ketika ada dalil lain yang turun setelah ayat tersebut, Islam berarti belum sempurna? Nyatanya, banyak perbedaan riwayat dan pendapat mengenai ayat Al-Qur’an yang terakhir turun. Bahkan Imam Bukhori meriwayatkan pernyataan Ibn Abbas dalamShahih-nya bahwa ayat yang turun terakhir adalah QS. al-Baqarah: 278-281, ayat yang berbicara mengenai riba.

Kedua, pada hari itu, nikmat telah dicukupkan. Pertanyaannya, apakah setelah turunnya ayat, Nabi masih hidup? Jika masih, maka masih membutuhkan nikmat tambahan untuk kelangsungan hidup beliau. Apakah akan seperti itu memahami ayat tersebut?

Ketiga, jika pada hari itu Islam diridhai sebagai agama Nabi, lalu apakah sebelum-sebelumnya ke-Islam-an Nabi tidak diridhoi? Akankah sesederhana itu berpikirnya? Kesalahan berpikir tersebut muncul karena hanya mengambil yang jelas-jelas saja, yang tekstual dan langsung ditelan begitu saja.

Pada kenyataannya, sumber utama agama Islam adalah Al-Quran dan hadis. Sedangkan setelah ayat ini turun, Rasulullah masih hidup beberapa tahun dan mengerjakan sunnah-sunnah baru. Bahkan dalam salah satu sabdanya, beliau bersabda bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah sahabat sepeninggal Nabi. Hal ini tentu bertentangan dengan legitimasi pembid’ahan berdasar ayat Surat Al-Maidah ayat 3. Perlu diingat, zaman sahabat, tabi’in, dantabi’ut tabiinmelahirkan banyak sekali amalan-amalan baru yang tentu tidak ditemukan ketika Rasulullah masih hidup.

Tentu kita ingat cerita Muadz bin Jabal ketika diutus Rasul ke wilayah Yaman. Rasul bertanya mengenai kebijakan apa yang akan Muadz lakukan jika ada suatu perkara yang diputuskan kepadanya. Muadz menjawab bahwa ia akan memutuskan dengan Al-Qur’an. Rasul bertanya kembali, jika tidak ada dalam Al-Qur’an. Muadz menjawab akan memutuskan dengan sunnah Rasulullah. Rasul bertanya kembali, jika tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah bagaimana? Muadz menjawab bahwa ia akan mencurahkan pikirannya tanpa ragu sedikitpun.

Mendengar jawaban itu, Rasulullah meletakkan tangannya di dada Muadz seraya berkata, “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati Rasulullah.” Kejadian tersebut terjadi setelah turunnya QS. Al-Maidah: 3. Nabi tidak menghakimi ijtihad Muadz meskipun ayat mengenai kesempurnaan agama telah turun.

Hal itu menunjukkan bahwa argumen setiap perbuatan yang tidak dicontohkan Nabi adalah bid’ah, seperti yang dituduhkan sebuah kelompok pada kelompok lainnya, justru sangat tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah sendiri. Maka ketika acuannya saja tidak sesuai dan relevan, bagaimana bisa itu dikait-kaitkan dan dijadikan legitimasi.

Salah satu “bid’ah” modern yang wajib kita hayati adalah nasionalisme kebangsaan. Tidak sedikit kelompok-kelompok tekstualis yang memperdebatkan konsep nasionalisme ini. Mereka menganggap bahwa kesetiaan terhadap negeri yang pemerintahannya tidak berasas hukum syariat Islam merupakan sebuah kesalahan fatal. Mereka menyebutnya dengan tagut.

Dalam konteks QS. Al-Maidah: 3, membangun semangat kebangsaan dan nasionalisme merupakan wujud dari menyempurnakan agama Islam. Membangun tanah air yang konsepnya terletak pada nilai-nilai nasionalisme yang terkandung dalam Pancasila menjadi bagian dari model keberislaman saat ini, di era yang berjarak ribuan tahun dari zaman Nabi.

Facebook Comments