Peran Generasi Milenial dalam Mewujudkan Pemilu Damai

Peran Generasi Milenial dalam Mewujudkan Pemilu Damai

- in Narasi
778
0
Peran Generasi Milenial dalam Mewujudkan Pemilu Damai

Salah satu persoalan serius yang mesti diantisipasi menjelang Pilpres 2024 adalah politik kesukuan (tribalisme politik). Politik kesukuan adalah praktik politik di mana identitas ras, etnis dan suku dipolitisasi dan dijadikan bahan bakar politik untuk memobilisasi dukungan publik. Atau, sebaliknya, dijadikan alat untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik.

Dalam praktiknya, politik kesukuan di Indonesia muncul dalam bentuk narasi-narasi etnisitas seperti ”Jokowi keturunan China” yang terlihat begitu masif menjelang perhelatan Pilpres 2019. Atau, seperti narasi ”Anies keturunan Arab” dan ”Ganjar Jawa Tulen” sebagaimana yang belakangan ini juga mulai muncul ke permukaan.

Politik kesukuan memiliki efek destruktif terhadap tatanan sosial-politik kita: pertama, merusak kerukunan; kedua, menciptakan ketegangan sosial; dan ketiga, menyuburkan benih-benih kebencian di antara sesama warga negara. Seiring dengan hal itu, makna dan tujuan politik elektoral pun juga menjadi terdistorsi: dari jalan untuk mewujudkan kepentingan bersama turun derajatnya menjadi alat untuk mewujudkan kepentingan kelompok kecil.

Menurut Amy Chu, praktik politik kesukuan itu tidak dimainkan oleh kelompok suku itu sendiri, melainkan dimotori oleh sejumlah elite-elite politik yang sedang berburu kekuasaan politik secara oportunistik (Amy Chua, 2020). Di beberapa negara dan termasuk di Indonesia, politik kesukuan sering kali digunakan karena dua hal: mudah dan relatif murah.

Di Indonesia, politik kesukuan berkembang subur salah satunya karena efek politik ”patron-klien” yang melibatkan elite-elite politik dengan elite-elite lokal yang juga tak kalah oportunistiknya (Aspinall, 2019). Mereka (antara elite-elite politik dan elite-elite lokal) sering kali terlibat kesepakatan saling menguntungkan agar kelompok identitas (suku, ras, etnik) yang berada dalam jangkauannya diarahkan untuk mendukung calon tertentu.

Di era demokrasi digital, praktik politik kesukuan itu menjadi semakin terbuka dan meluas (Jamie Barrlett, 2018). Baik dalam bentuk ”patron-klien” yang terkonsolidasi secara rapi atau dalam bentuk aliansi partisan yang tidak terstruktur dan cenderung serampangan.

Sebelum kemunculan media sosial (medsos), politik kesukuan tersebar dari mulut ke mulut dan/atau dari pintu ke pintu. Yang artinya jangkauannya relatif sangat sempit dan pola persebarannya pun cenderung lambat sehingga tidak sampai menimbulkan kegaduhan dan perpecahan ekstrem yang dapat membahayakan stabilitas dan persatuan nasional.

Namun, sejak munculnya medsos, politik kesukuan bukan hanya menyebar dari mulut ke mulut dan/atau dari pintu ke pintu, tetapi langsung menyebar secara luas dan cepat. Yang dengan satu klik saja, melesat dengan cepat dan mampu menerobos tabir, dinding-dinding, dan batas-batas tak bertuan. Dan, itulah sebabnya mengapa politik kesukuan penting diantisipasi sejak dini. Yang jika tak teratasi, akan menimbulkan dampak mengerikan.

Kemunculan medsos memang telah menyumbang banyak perubahan positif terhadap tata kelola demokrasi kita. Utamanya dalam kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Namun, dalam konteks yang lain, medsos bukan hanya sekadar ikut menampung eksistensi politik kesukuan. Lebih dari itu, medsos juga ikut memfasilitasi dan mendorong merebaknya politik kesukuan yang mengancam terselenggaranya kontestasi politik yang aman damai.

Dikatakan ikut menyuburkan politik kesukuan sebab, dengan kecerdasan data (dataisme), medsos mempertemukan dan menyatukan setiap subjek-subjek politik yang memiliki kesamaan identitas ke dalam sebuah aliansi politik aktif (Francis Fukuyama, 2020). Pada titik ini, penyatuan subjek-subjek politik berdasarkan kesamaan identitas itu tidak menampakkan satu persoalan pun. Bahkan hal itu bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif.

Akan tetapi, wajah buruk penyatuan subjek-subjek politik berdasarkan kesamaan identitas itu segera terlihat tatkala wibawa atau kehormatan kelompoknya merasa dihina atau direndahkan oleh aliansi politik lain yang juga terbentuk atas dasar kesamaan identitas. Di mana, alih-alih berupaya diselesaikan, yang ada persoalan itu semakin dibesar-besarkan hingga akhirnya, perpecahan sosial dan matinya identitas nasional, menjadi tak terhindarkan.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa teknologi digital di sini hanyalah sebatas teknologi pendukung di balik suburnya praktik politik kesukuan yang ada. Yang artinya, teknologi digital di sini bukanlah sumber utama pangkal persoalan politik kesukuan yang selama ini terjadi. Karena itu, untuk mengakhiri praktik politik kesukuan, tidak cukup hanya dengan mengutuk kehadiran teknologi digital sebagai biang kerok merebaknya politik kesukuan.

Lebih dari itu, guna mengakhiri politik kesukuan yang mengancam kohesi dan kerukunan sosial, dibutuhkan komitmen serius para elite-elite politik untuk tidak menjadikan identitas suku, ras, dan etnik sebagai alat politik untuk memobilisasi dukungan publik di satu sisi dan untuk menyerang lawan politik di sisi lain. Di dalam kompetisi demokratis semuanya setara sebagai warga negara. Baik yang berdarah China, Arab, Jawa, dan yang lainnya.

Keragaman adalah fondasi Indonesia. Oleh sebab itu menjadi tidak elok bila keragaman etnis, suku, dan identitas ras itu kita politisasi hanya untuk mendapatkan keuntungan elektoral belaka. Karena itu, generasi milenial mesti ikut terlibat mengkampanyekan politik damai agar bangsa ini tak kembali terbelah dan terpecah seperti yang sudah terjadi di masa lalu.

Facebook Comments