Tanggal 8 Maret setiap tahunnya, dunia memperingati International Women’s Day (IWD). Peringatan ini berakar dari gerakan buruh, tepatnya demonstrasi pada tahun 1908 ketika 15. 000 perempuan turun ke jalan-jalan kota New York menuntut perbaikan hak kerja. Partai Sosialis Amerika lantas mendeklarasikannya sebagai Hari Perempuan Internasional. Dalam perkembangan selanjutnya IWD tidak hanya berkutat pada gerakan kiri (sosialis) yang berorientasi pada isu keadilan di ranah ekonomi, namun juga merambah isu-isu lain di bidang pendidikan, kesehatan, politik dan sosial-budaya.
Kini, IWD telah menjadi hari penting bagi gerakan yang mengusung isu-isu ke(perempuan)an. Di beberapa negara, peringatan IWD bahkan menjadi hari libur nasional. Di Indonesia, meski IWD tidak dirayakan sebagai hari libur, namun gaungnya tetap terasa. IWD telah menjadi satu momentum untuk kian mengampanyekan isu dan gerakan perempuan sekaligus mengevaluasi sejauh mana perempuan telah terlibat dalam urusan-urusan publik. Indonesia sendiri dikenal sebagai negara yang memiliki akar budaya patriarkis yang kental. Meski demikian, dalam beberapa dekade belakangan, budaya itu mulai ditinggalkan seiring dengan kesadaran untuk melibatkan perempuan dalam wilayah publik.
Salah satu isu yang penting untuk dibahas dalam konteks pelibatan perempuan di ruang publik ialah peran perempuan dalam menangkal hoaks dan melawan radikalisme. Selama ini kerap tidak disadari bahwa perempuan memiliki andil besar pada penyebaran hoaks dan radikalime. Survei Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, perempuan dengan rentang usia 35-50 tahun cenderung rentan terpapar hoaks di media sosial. Pada momen Pilpres 2019 lalu misalnya, kelompok perempuan yang kerap disebut “emak-emak” ini menyumbang andil pada penyebaran hoaks dan ujaran kebencian sebesar 23 persen.
Dalam isu penyebaran radikalisme agama pun demikian. Perempuan memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah fakta berikut ini. sejak tahun 2000 hingga 2018, tercatat ada 210 pelaku bom bunuh diri di Indonesia, dan 56 di antaranya merupakan perempuan. Survei The Wahid Institute tahun 2018 juga menyebutkan bahwa perempuan muda lebih mudah direkrut kelompok radikal-terorisme. Tidak hanya itu, survei The Wahid Institute juga mengungkap bahwa perempuan memiliki karakter unik yakni ketika ia terlibat jaringan radikal-terorisme, maka ia akan cenderung lebih militan ketimbang laki-laki.
Tingginya faktor kerentanan perempuan terpapar hoaks dan radikalisme dilatari oleh faktor relasi sosial-personal. Pergaulan sosial baik di dunia nyata maupun di dunia maya kerap menjerumuskan perempuan pada hoaks secara tidak disadari. Sedangkan dalam konteks radikalisme, perempuan biasanya terpapar dari orang terdekat yakni suami. Namun, di saat yang sama perempuan juga sebenarnya sangat potensial menjadi agen anti-hoaks dan radikalisme. Peran perempuan di wilayah domestik (sebagai ibu rumah tangga) dan perannya di wilayah publik bisa menjadi modal penting untuk melawan hoaks dan radikalisme.
Sikap luwes, telaten dan pantang menyerah yang melekat pada perempuan merupakan modal sosial perempuan untuk terlibat aktif dalam menangkal hoaks dan melawan penyebaran paham radikal. Di lingkup domestik, perempuan khususnya dalam perannya sebagai sosok ibu bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam berpikir dan bertindak secara moderat. Ibu bisa dan harus menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam mencari dan menyebarkan informasi di dunia maya.
Sebagaimana gelar yang disandangnya sebagai “madrasah pertama bagi anak-anak”, sosok ibu kiranya bisa memberikan pemahaman dasar ihwal bagaimana menghindari berita-berita palsu yang berseliweran, terutama di media digital. Untuk menjalankan perannya ini, tentu perempuan dituntut memiliki kemampuan literasi yang memadai. Disinilah pentingnya membangun literasi yang kuat di kalangan perempuan.
Hal yang sama berlaku dalam konteks peran perempuan melawan penyebaran paham radikal. Di ruang domestik sebagai lingkup terkecil ekosistem sosial (masyarakat) perempuan bisa menjadi agen anti-radikalisme yang membentengi keluarga dan komunitasnya dari infiltrasi gerakan dan ideologi yang bertentangan dengan falsafah bangsa dan negara. Dalam hal ini, perempuan harus bisa menjadi ikon cara pandang dan praktik keberagamaan yang toleran, inklusif dan moderat.
Peringatan IWD yang tahun ini mengusung tema kepemimpinan perempuan di masa pandemi Covid-19 kiranya relevan dengan spirit mendorong perempuan terlibat aktif menangkal hoaks dan radikalisme. Diperlukan sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk di satu sisi memproteksi perempuan dari hoaks dan radikalisme sekaligus mendorong perempuan menjadi agen anti-hoaks dan radikalisme di sisi lain. Problem hoaks dan radikalisme bukanlah man issues yang bisa diselesaikan tanpa melibatkan peran perempuan. Keterlibatan perempuan akan menjadi stimulus penting dalam gerakan anti-hoaks dan radikalisme.
Lebih spesifik dalam konteks pemberantasan radikalisme dan terorisme di Tanah Air, pemerintah baru saja merilis Perpres RAN PE. Regulasi itu dimaksudkan untuk menjalin jejaring sinergi antarberbagai pihak dan instansi untuk bersama-sama menanggulangi problem terkait radikal-terorisme. Perpres RAN PE ini secara tidak langsung juga merupakan sebuah ajakan agar perempuan secara aktif terlibat dalam upaya-upaya pencegahan tindak pidana radikalisme, ekstremisme dan terorisme.
Dalam lingkup Islam, kita patut optimistik lantaran ajaran Islam sepenuhnya mendorong kesetaraan (peran) antara laki-laki dan perempuan, utamanya di ranah publik. Islam adalah agama yang pertama kali menggaungkan ide pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam perspektif keadilan dan egalitarianisme. Di dalam Islam, perempuan dan laki-laki memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk menyelesaikan problem keumatan, keagamaan dan kebangsaan.
Di era modern ini, keterlibatan perempuan (muslim) di ranah publik bukanlah hal baru apalagi tabu. Banyak perempuan muslim saat ini menduduki posisi-posisi strategis di ruang publik. Kiprahnya luas, mulai dari ranah pendidikan, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Kian banyak perempuan berkiprah di ranah publik, maka cita-cita kehidupan yang setara akan lebih mudah diwujudkan. Demikian pula, semakin banyak perempuan memiliki kesadaran untuk menjadi agen anti-hoaks dan radikalisme, maka masa depan bangsa Indonesia akan lebih menjanjikan.