Ivan Armadi Hasugihan, remaja 18 tahun melakukan aksi teror di Gereja Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara, Agustus lalu. Menurut pemberitaan di cnnindonesia.com, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia, Agus Riyanto mengatakan bahwa Ivan mengaku kalau dirinya terpengaruh oleh informasi di internet.
Ivan menjadi salah satu contoh bahwa dengan media sosial, pelaku teror dapat mempengaruhi sistem kerja otak manusia yang masih setengah-setengah dalam memahami agama Islam. Sebagaimana perkataan mantan teroris sekaligus guru dari Amrozi cs, Abdurrahman Ayyub, bahwa mayoritas teroris tidak paham tentang hakikat Islam yang sebenarnya. Mereka hanya tahu, bahwa Islam itu seperti yang mereka dengar dan mereka lihat di media sosial.
Di balik maraknya aksi terorisme yang terjadi di berbagai negara, media sosial bisa dibilang menjadi tempat yang paling representatif dalam menyebarkan paham radikal. Awalnya, penganut paham radikal menyebarkan ideologinya lewat pendekatan personal. Berbeda dengan era informasi seperti sekarang, kelompok teroris atau radikalis tidak perlu bertemu dengan calon “pengantinnya”. Proses bai’at cukup dilakukan melalui chatting di Facebook, Twitter, Whatsapp, dan media lainnya tanpa perlu bertatap muka dengan kadernya.
Tercatat, di tahun 2015 misalnya, Twitter memblokir 125.000 akun yang mendukung Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS). Hal itu terjadi karena rata-rata 270 argumen yang meyatakan pro kepada ISIS bertebaran di Twitter dalam satu hari.
Kuasa Internet
Tidak asing di telinga kita, bahwa dunia maya tak terbatas ruang dan waktu. Penyebaran informasi terkait terorisme dan radikalisme sangat mudah ditemukan hanya dengan satu kali klik, semakin menguatkan fenomena pembelajaran aksi teror melalui internet. Namun, tidak berhenti sebatas perekrutan melalui media sosial, mereka pun tetap menyebarkan ideologinya dengan cara klasik, langsung mendatangi calon “pengantin”.
Penyebaran paham radikal melalui internet bukanlah hal baru. Hal itu sudah diterapkan oleh Jama’ah Islamiyah (JI) di era 1999 hingga 2003. Imam Samudera cs menyebarkan suatu propaganda yang mengatakan ‘kalau tidak bisa melakukan teror dengan bom, jadilah hacker’.
Tidak perlu mendatangi orang satu per satu, cukup dengan membuat video pelatihan militer, cara merangkai bom, kemudian disebarkan lewat Youtube, dengan demikian mereka dapat merekrut calon jihadis baru. Berdasarkan penelitian Universitas Miami, Amerika Serikat mengungkapkan, ada 166 grup di media sosial yang digunakan untuk membangun jaringan terorisme.
Hasilnya 106.000 aktivis yang pro terhadap gerakan ISIS dan menggembar-gemborkan argumennya untuk mendukung gerakan ini. Obyek yang sering terpengaruh oleh ISIS ini adalah anak muda yang katanya masih dalam fase ‘pencarian jati diri’. Buktinya, dilansir dari Merdeka.com, sepanjang 2015, terdapat 3.400 anak muda di negara-negara Barat yang berhasil terpengaruh dan rela mati untuk memperjuangkan ideologinya.
Perlunya Klarifikasi
Akhir-akhir ini, Indonesia digegerkan dengan bertebarnya ujaran kebencian lewat isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) di dunia maya. Masih hangat dalam ingatan kita bahwa salah satu kader organisasi Kemahasiswaan dengan terang-terangan menghina organisasi Islam Nahdlatul Ulama dan tokoh-tokohnya sebagai penjilat Gubernur Jakarta yang masyhur dengan panggilan ‘Ahok’ dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di akun facebook resminya. Kejadian serupa juga terjadi pada tokoh nasional KH. Musthofa Bisri dan KH. Maemoen Zubair.
Berangkat dari kejadian tersebut, sekiranya masyarakat Indonesia dapat mengambil pelajaran bahwa sebaiknya mereka dapat memanfaatkan dan menggunakan dunia maya dengan bijak. Apalagi di era komunikasi dewasa ini, ribuan informasi dapat diakses oleh siapapun, kapanpun, dan di manapun. Dengan keterlimpahan informasi sekarang, masyarakat dituntut dapat memilah informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah menyampaikan argumen betapa pentingnya menanamkan jiwa skeptis dalam menanggapi suatu peristiwa, ‘Great intellects are skeptical’. Argumen semacam ini sangat diperlukan masyarakat Indonesia yang tengah mengalami gempuran ideologi baru melalui informasi-informasi yang belum jelas validitasnya. Maka memiliki jiwa skpetis -tidak mudah percaya- merupakan solusi yang sangat representatif bagi kita.
Al-qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam juga mengajarkan kita betapa urgennya klarifikasi yang dikenal dengan ‘tabayyun’. Maka sudah sepatutnya kita selalu berhati-hati dengan bekal jiwa skeptis dan tabyyun dalam dalam menanggapi suatu peristiwa yang kita hadapi sekarang dan yang akan datang.
Sudahkan kita skeptis dan bertabayyun dalam menerima informasi hari ini?