Pesantren, Islam Nusantara, dan Nasionalisme Santri (2)

Pesantren, Islam Nusantara, dan Nasionalisme Santri (2)

- in Budaya, Peradaban
5671
0

Menurut James L. Peacock (1978) Islam yang datang ke Jawa adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima serta diserap ke dalam sinkretisme Jawa. Menurut Effendy Zarkasi (1977) Islam didakwahkan melalui jalan budaya seperti pertunjukan wayang purwa. Pandangan ini sejalan dengan Dr Th. G. Th Pigeaud dalam Javaansche Volksvertoningen (1938) yang mengemukakan bahwa wayang kulit purwa yang dikenal sebagaimana sekarang ini adalah produk yang dihasilkan oleh wali-wali penyebar Islam.

Sementara menurut Soekmono (1961) yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia jaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan. Yang dimaksud kebudayaan purba dalam konteks itu adalah kebudayaan Malaio-Polinesia pra-Hindu yang oleh Prof Dr C.C Berg (1938) dan Pof Dr G.J. Held (1950) disebut animisme dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki “daya sakti” dan kepercayaan terhadap arwah. Proses Islamisasi kebudayaan purba sebagaimana ditengarai Soekmono, adalah bukti asimilasi yang dilakukan para penyebar Islam generasi Wali Songo.

Jauh sebelum ada pengaruh Hindu dan Buddha, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan, yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Sebenarnya, Kapitayan adalah agama yang memuja sesembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa – Kosong – Suwung – Awang-uwung: Sesuatu Yang Mutlak yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan; Sesuatu Yang Tidak bisa didekati dengan pancaindera; Sesuatu Yang dari-Nya berasal segala makhluk yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Orang Jawa kuno mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “tan kena kinaya ngapa”, yang bermakna “tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya”.

Agar supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna ‘Daya Gaib’ bersifat adikodrati yang tersembunyi. Tu atau To adalah Tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi Absolut. Tu inilah yang disebut dengan nama Sanghyang Tu-nggal yang memiliki dua sifat, yaitu Sifat Baik dan Sifat Tidak Baik. Tu yang bersifat Baik disebut Tu-han, kemudian dikenal dengan nama Sanghyang Wenang. Tu yang bersifat Tidak Baik disebut han-Tu, kemudian dikenal dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat belaka dari Sanghyang Tu-nggal. Karena itu baik Sanghyang Tu-nggal, yang tidak dapat dijangkau pancaindera dan akal pikiran itu hanya diketahui Sifat dan Nama-Nya saja (Sunyoto, 2010).

Untuk memuja Sanghyang Tunggal dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Lalu di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa “Daya Gaib” dari Pribadi Sanghyang Taya yang disebut Tu atau To yang disebut Sanghyang Tu-nggal itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau To.

Demikianlah, para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada Tu-ha-Tu-ha (arwah leluhur), Tu-ngkub (bangunan suci keramat, sarcopagus), wa-Tu (menhir), Tu-gu (dolmen), Tu-wek (keris), Tu-wung (wadah sejenis mangkuk untuk sesaji), Tu-lang, Tu-nggul (bendera), Tu-ak, Tu-k (mata air), Tu-nda (punden berbentuk undak-undakan), Tu-ban (air terjun), Tu-mbak, Tu-buh, Tu-mbuhan, Tu-njung (teratai), Tunggak (batang pohon), Tu-lup (sumpit), Tu-rumbuhan (pohon beringin), un-Tu (gigi), pin-Tu, Tu-hu-Tu-hu (burung malam berbulu hitam), Tu-gi (rambut padi), Tu-la (timbangan,neraca), Tu-huk (patrem penikam), Tutu-ngge (gamelan), Tu-runga (ular), Tu-kung (jenis ayam), Tu-kang (hewan sejenis kera), Tu-mper (bara api), Tu-tud (hati), TuTu-k (lubang, mulut), Tu-ngkak (tumit), To-peng, To-san (pusaka), To-pong (mahkota), To-parem (baju zirah sakti), To-wok (lembing), To-maragra (ujung tombak), To-ya (air), To-rana (pintu gerbang).

Dalam rangka melakukan puja bhakti kepada Sanghyang Taya, penganut Kapitayan menyediakan sesaji berupa Tu-mpeng, Tu-mpi (kue bulat dari tepung beras), Tu-mbu (keranjang persegi dari anyaman bambu), Tu-ak, Tu-kung untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan. Orang-orang yang punya maksud melakukan Tu-ju (tenung) memuja Sanghyang Tu-nggal dengan persembahan khusus yang disebut Tu-mbal. Sementara untuk beribadah menyembah Sanghyang Taya langsung dilakukan di tempat bernama Sanggar, yaitu bangunan persegi empat dengan TuTu-k (lubang ceruk di dinding sebagai lambang kehampaan Tuhan).

Seorang hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif yang disebut Tu-ah atau yang bersifat negatif yang disebut Tu-lah. Mereka yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap memiliki kewenangan untuk memimpin manusia. Mereka itu disebut ra-Tu atau dha-Tu. Ajaran Kapitayan inilah yang oleh Wali Songo diserap ke dalam agama Islam, sehingga istilah-istilah Keislaman di Jawa sarat dengan istilah Kapitayan.

(Bersambung)

Facebook Comments