Tidak berselang waktu yang lama setelah penetapan tanggal 22 Oktober 2015 sebagai hari santri Nasional berdasarkan Keputuskan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, muncul polemik terkait dengan wacana pendidikan bela negara yang direncanakan kementerian pertahanan. Wacana ini memunculkan banyak pro-kontra yang terus digulirkan dan diperbincangkan oleh banyak pakar, akademisi, hingga kalangan wakil rakyat, semuanya mengkritisi eksistensi wacana pendidikan bela negara serta metode dan strategi yang digunakan dalam menetapkan pendidikan bela negara bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama kalangan generasi muda yang lahir di era yang memiliki problematika dan tantangan yang berbeda dengan para pejuang bangsa.
Secara substantif banyak masyarakat yang mendukung wacana tersebut, pendidikan bela negara wajib direspon aplikasi dan pelaksanaannya, sebab di tengah gejolak perjuangan para pemerhati negara bangsa – bukan impian pemerintah negara agama – yang teguh menegaskan eksistensi negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai harga mati. Dalam meneguhkan keberadaan negara Kesatuan Indonesia sebagai harga mati, sangat dibutuhkan strategi yang tepat guna dalam menanamkan modal dan semangat kebangsaan melalui pendidikan bela negara.
Pesantren – dalam banyak ragamnya – merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang dapat menjadi basis utama dalam menanamkan pendidikan bela negara dengan mengutamakan pembentukan kerangka pola pikir berbangsa dan memperkuat ideologi Pancasila. Dalam mengawali perkenalan dan pelaksanaan pendidikan bela negara yang lebih mengedepankan sejarah perjuangan dan substansi ideologi Pancasila, sasaran utama pendidikan di pesantren adalah mereka yang berada pada level sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, meski juga sudah dicanangkan penyesuaian materi pendidikan bela negara sejak tingkat awal lembaga pendidikan dari TK dan SD, demikian pula kelanjutan pendidikan bela negara terutama mereka yang berada di dunia perguruan tinggi.
Harus diakui bahwa saat ini ada banyak generasi terbaik bangsa yang tidak mengenal falsafah negara Indonesia dan empat pilar berbangsa lainnya, yang pada akhirnya tidak sedikit kader dan intelektual yang mengalami kegalauan, menyebabkan mereka mencari ideologi alternative untuk berbangsa, seperti memilih ideologi negara agama, misalnya. Secara psikologis, generasi muda kita berada dalam proses pencarian jati diri, dalam kondisi jiwa seperti itu kemunculan wacana pendidikan bela negara dapat menjadi solusi dan jawaban terhadap kegalauan yang mereka rasakan.
Sebagai wujud perhatian pemerintah terhadap lembaga pesantren yang banyak melahirkan kader terbaik bangsa dan telah berkiprah di panggung dunia Internasional, penetapan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri Nasional harus dilanjutkan dengan mengawali dan mensosialisasikan pendidikan bela negara, mulai dari seluruh pondok pesantren yang jumlahnya mencapai 27 ribu pesantren hingga ke seluruh level pendidikan lainnya. Sistem pembelajaran di pesantren sangat menunjang untuk pendidikan bela negara.
Pendidikan bela negara mengedepankan pembentukan pola pikir yang berakar pada pentingnya memberikan pemahaman kepada anak bangsa agar mereka memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan eksistensi Pancasila sebagai falsafah negara, serta menyiapkan diri untuk tampil melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa Indonesia dengan ikut serta mempertahankan kebutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan bela negara harus menyisir semua kalangan generasi muda, agar mereka tidak buta dan mampu memahami pendidikan bela negara secara komprehensif dan aplikatif.
Langkah tersebut juga merupakan strategi dalam meng-counter isu yang pernah menyebar dalam masyarakat Internasional bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang banyak melahirkan radikalis, teroris dan ekstremis. Bahkan saat itu ada banyak pesantren yang dianggap radikal hanya karena ulah segelintir kecil pesantren yang alumninya terlibat dalam aksi terorisme. Bila hal tersebut tidak diluruskan, pembentukan opini negatif itu dapat menjauhkan keberadaan pesantren dari masyarakat, sementara pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Dunia pesantren tentu menghaturkan terima kasih kepada presiden RI Ir. Joko Widodo atas penetapan hari Santri Nasional. Komunitas pesantren tentu harus menjadikan momen tersebut sebagai perekat antara komunitas pesantren dengan pemerintah, serta memberikan pengaruh positif kepada lingkungan masyarakat di wilayah pesantren tersebut berada. Gerakan kembali ke pesantren bermakna para generasi dapat memperdalam kajian tentang Islam sebagai dogma pada satu sisi, dan Islam sebagai objek kajian pada sisi yang lain.
Peran pesantren dalam memperkuat pendidikan bela negara akan banyak melahirkan ulama yang nasionalis, seperti pada masa perjuangan melawan penjajah yang mampu memberi pencerahan kepada masyarakat dengan pembelajaran Islam yang akulturatif akomodatif. Kalangan pesantren harus menghentikan tafsiran yang monopolis terhadap istilah yang dipahami secara terbatas oleh kelompok radikal, seperti istilah jihad, hijrah, syahid, khilafah, takfiri dan togut.
Istilah-istilah tersebut harus diinterpretasi secara tematis dan tidak membiarkan berkembangnya tafsiran yang berakibat pada lahir dan terbentuknya watak yang keras, seolah Islam itu teroris. Saatnya pesantren memberikan kontribusi kepada bangsa Indonesia dengan membentuk watak santri yang memahami sejarah perjuangan bangsa dan memiliki pemahaman bela negara yang utuh dan komprehensif.