Pilkada Menyatukan Perbedaan

Pilkada Menyatukan Perbedaan

- in Narasi
1780
0
Pilkada Menyatukan Perbedaan

Politik hadir untuk menyatukan, bukan memecah belah. Dia hadir sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan. Dalam politik, terjadi dialektika kepentingan terkait penggunaan kekuasaan. Karena pentingnya politik ini, Aristoteles mengatakan politik adalah master of science. Baginya, pengetahuan tentang politik adalah kunci untuk memahami lingkungan. Aristoteles berpendapat dimensi politik dalam keberadaan manusia adalah dimensi paling penting. Sebab politik mempengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan manusia. Masih menurut Aristoteles, politik bermakna mengatur apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan (Wisemen, dikutip Surbakti, 1992:1). Dari sini kita mengetahui, politik adalah hal penting yang dikerjakan untuk kebaikan bersama. Politik bukanlah ajang pertarungan berdarah-darah. Politik harus dilakukan dengan bermartabat sesuai dengan esensinya.

Kontestasi pilkada adalah salah satu bentuk sederhana dari politik. Dan baru saja, seratus tujuh puluh satu daerah mengadakan pemilihan kepala daerah langsung pada Rabu 27 Juni 2019. Secara umum, pelaksanaan pilkada tahun ini sesuai dengan harapan. Meskipun masih muncul isu-isu murahan yang membawa isu SARA, tetapi masyarakat semakin cerdas sehingga tidak terprovokasi. Kesuksesan pilkada, sekaligus kemampuan untuk menekan konflik, merupakan modal berharga bagi bangsa ini menatap peristiwa politik mendatang. Apalagi Agustus 2019, merupakan batas akhir pendaftaran calon presiden untuk pemilu tahun 2019. Artinya suasanya akan terus menghangat. Jika situasi di masyarakat dapat dijaga tetap tenang dan damai seperti saat ini, maka tahun depan tidak akan lagi gesekan-gesekan antar para pendukung calon yang kerap merembet dalam keseharian kita.

Kepada pihak yang menang, mari merangkul pihak yang kalah. Tidak bersikap sombong dan merasa sebagai orang yang paling baik. Sementara mereka yang belum diberi kesempatan rakyat untuk memimpin, berbesar hatilah menerimanya. Ungkapan jawa menang ora umuk, kalah ora ngamuk, sangat relevan dipahami dan diimplementasikan dalam situasi seperti ini. Begitu pun para pendukungnya. Sosok yang bertarung dalam pilkada bukanlah tuhan yang tidak pernah salah dan harus dibela mati-matian. Mereka adalah manusia biasa seperti kita. Hal penting lainnya, politisasi agama, demi mengejar kekuasaan, harus segera dihentikan. Seperti merasa calon yang dipilihnya lebih mulia dihadapan tuhan dibanding calon lainnya. Politisasi agama seperti ini cenderung menaruh agama pada tempat yang sangat rendah.

Masyarakat tidak perlu terus-menerus terbawa dalam suasana ketegangan pilkada. Persatuan dan keharmonisan masyarakat perlu kembali dikuatkan. Kemajemukan dan pluralitas harus dijaga. Sebab Indonesia dibangun atas dasar keberagaman. Percuma memiliki pemimpin yang baik tetapi masyarakatnya terbelah dan bersitegang. Semangat persaudaraan harus dijunjung tinggi. Tenun NKRI perlu dirawat agar tidak terkoyak hanya karena perebutan kekuasaan. Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika akhirnya masyarakat terkotak-kotak dan kemudian bertikai hanya karena preferensi politiknya yang berbeda. Pada pendahulu kita telah mengajarkan bahwa persatuan bangsa lebih diutamakan dibanding kepentingan golongan. Maka selepas pemilihan nanti, bara ketegangan perlu dipadamkan. Tidak perlu makin menegaskan kubu-kubu yang bersaing. Semuanya telah usai. Kini saatnya kembali bergandeng tangan untuk menatap Jakarta yang lebih baik.

Tentu saja, kritik terhadap gubernur dan walikota terpilih patut dilakukan. Sebagai bentuk kontrol kinerja agar berjalan sesuai harapan. Tetapi setiap kritik yang dilancarkan perlu mengindahkan norma dan aturan yang berlaku. Sehingga kritik tidak berubah menjadi kebencian yang akhirnya kembali memicu suasana panas. Masyarakat pun berhak menagih janji-janji kampanye paslon yang akhirnya terpilih. Janji menciptakan lapangan kerja, janji memberi layanan kesehatan, janji pendidikan semua usia, dan berbagai janji lainnya. Tetapi kritik pun wajib dilakukan dengan cara yang santun dan elegan. Bukan dengan tindakan-tindakan yang tidak produktif (seperti aksi-aksi anarkis).

Kita berharap, semua pihak –khususnya para elit politik dan masyarakat- bisa dewasa dalam menjalani proses demokrasi ini. Jika pun ada kekurangan di sana-sini, wajar sebagai sebuah pembelajaran. Penyelenggara pilkada dan pengawas pun dituntut bekerja secara profesional, agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Masyarakat harus makin sadar, bahwa politik adalah ajang untuk menyatukan perbedaan. Kita lihat, partai yang berideologi nasionalis dapat berkoalisi dengan partai berbasis agama. Artinya ada kerjasama dan koalisi dengan pihak yang berbeda. Mimpi kita bersama, semoga daerah-daerah yang telah menyelenggarakan pilkada dapat memiliki gubernur dan walikota yang berkinerja baik, dicintai rakyat, dan mampu mengelola perbedaan.

Facebook Comments