Di tahun politik, masalah sepele bisa menjadi besar. Terkadang, hanya karena masalah perbedaan pilihan politik, masalah menjadi melebar ke mana-mana hingga ke masalah suku, agama, dan ras. Hal itu terjadi karena sebuah masalah yang timbul tidak dilihat secara proporsional melainkan dikait-kaitkan dengan kontestasi politik yang tengah berlangsung.
Walhasil, masalah yang ada menjadi semakin runyam dan pelik. Alih-alih terselesaikan. Masalah baru berupa perpecahan pun muncul. Sejurus kemudian, caci maki, fitnah-memfitnah, menjadi rujakan masyarakat saban waktu. Di media sosial khususnya yang satu tahun terakhir semakin digandrungi oleh masyarakat Indonesia secara khusus.
Menurut Laporan We Are Social dan Meltwater, pengguna internet di Indonesia per Januari 2023 mencapai 212,9 juta atau 69,4 persen dari seluruh total populasi yang ada. Angka ini mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 2022 yang mana baru mencapai 202 juta.
Facebook merupakan media sosial paling banyak digunakan di seluruh dunia pada Januari 2023. Platform media sosial besutan Mark Zuckerberg itu telah memiliki 2,95 miliar pengguna. Sedangkan YouTube berada di peringkat kedua dengan jumlah pengguna aktif 2,51 miliar dan WhatsApp dan Instagram yang masing-masing memiliki 2 miliar pengguna aktif.
Besarnya pengguna media sosial di Indonesia ini otomatis menjadikan masyarakat terhubung satu sama lain. Kondisi ini sebenarnya baik. Akan tetapi, yang menjadi problem kita saat ini karena keterhubungan itu ternyata bukannya dijadikan untuk bertabayun, saling mengenal, tetapi malah dijadikan alat untuk saling bermusuhan satu sama lain. Keberadaan media sosial malah menjadi semacam alat penyadap di mana satu sama lain saling mengawasi (panoptikon) untuk kemudian melancarkan serangan kepada pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan melalui kolom-kolom komentar yang disediakan.
Alhasil, konflik berkepanjangan pun tak terelakkan. Ironisnya, terkadang konflik-konflik semacam itu alih-alih diredam, tetapi justru malah dipelihara guna mendapatkan keuntungan elektoral di tahun politik. Kondisi semacam tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Sebab, jika hal itu terus dibiarkan, khawatir persatuan dan kesatuan kita semakin terkoyak-koyak tanpa sisa. Oleh karena itu, semua pihak, termasuk tokoh agama, penting kiranya untuk ikut menjaga kerukunan umat, khususnya di tahun politik penuh guncangan.
Peran Tokoh Agama dalam Menangkal Hoax Jelang Pilpres 2024
Tokoh agama memiliki peran vital dalam menjaga kerukunan umat di tahun politik yang penuh dengan prahara, hoaks, dan kebencian. Sebab, dalam struktur masyarakat Indonesia, tokoh agama memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Di mana, ucapannya dipercaya, dan perilakunya diteladani. Karena itu, tak ayal bila di sebagian daerah, keberadaan tokoh agama sangat dihormati dan bahkan sangat disanjung-didewakan.
Menurut laporan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang rilis 2018 silam menemukan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama sangat tinggi. Sebanyak 51.7% pemilih menyatakan bahwa mereka sangat mendengar imbauan dari tokoh agama (ulama, pastor, biksu, dan lainnya). Sedangkan yang menyatakan mendengar imbauan politisi hanya 11.0%, dan terpengaruh dengan imbauan atau pendapat pengamat hanya 4.5% (LSI, 2018).
Laporan survei itu memberitahu kita bersama bahwa, dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, tokoh agama memiliki peranan penting dalam menjaga kerukunan masyarakat. Khususnya di tahun politik. Karena itu, hal ini saya kira harus menjadi semacam panggilan hidup (vocation) bagi setiap tokoh agama untuk menjaga kerukunan masyarakat di tahun politik mengingat sosoknya memiliki kepercayaan besar di mata masyarakat.
Oleh sebab itu, dengan ini, para tokoh agamanya kiranya penting turun tangan, mendamaikan masyarakat, tidak apatis dan acuh tak terhadap dinamika sosial-kemasyarakatan yang sedang terjadi dan akan terjadi. Perlu diingat bahwa, menjaga kerukunan adalah masyarakat adalah tugas tanggung jawab moral kita. Tokoh agama secara tak terkecuali.