Provokasi di Masa Pandemi; Wujud Matinya Empati

Provokasi di Masa Pandemi; Wujud Matinya Empati

- in Narasi
885
0
Provokasi di Masa Pandemi; Wujud Matinya Empati

Pemerintah resmi memperpanjang PPKM Level 3-4 Jawa-Bali sampai 2 Agustus. Secara umum, pemberlakuan PPKM Level 3-4 menunjukkan tanda positif. Angka BOR (bed occupacity rate) turun. Pun juga angka positivity rate yang terus melandai. Untuk itu, sejumlah daerah bisa menurunkan PPKM Level 4 ke 3 dengan sejumlah pelonggaran dalam aktivitas ekonomi.

Pembatasan sosial, baik PSBB atau PPKM tentu selalu memiliki dua sisi berlawanan. Dari sisi kesehatan, pembatasan sosial efektif menekan laju penularan virus. Sebaliknya, dari sisi ekonomi pembatasan sosial akan berdampak negatif. Pertumbuhan ekonomi melambat. Pengusaha dandan pekerja sektor informal mau tidak mau harus mengalami kerugian. Situasi memang dilematis. Pemerintah pun mencari jalan tengah agar sektor kesehatan dan ekonomi bisa selaras.

Maka, sangat disayangkan jika upaya menyelaraskan sisi kesehatan dan ekonomi itu justru dipelintir dan dijadikan alat untuk memprovokasi publik agar membangkang pemerintah. Gelombang provokasi itu kian santer terdengar beberapa hari belakangan. Di media sosial, muncul hasutan untuk melakukan aksi demonstrasi di Istana Negara menuntut Presiden Jokowi mundur. Di sejumah daerah, muncul provokasi agar masyarakat menolak kebijakan PPKM Level 3-4 dan membuat situasi sosial kacau.

Dilihat dari tujuannya, jelas bahwa gerakan-gerakan provokatif itu tidak benar-benar memperjuangkan aspirasi publik. Bagaimana tidak? Menurunkan Presiden dan menciptakan kekacauan sosial di masa pandemi tentu bukan aspirasi masyarakat. Masyarakat di semua lapisan sedang berjuang menghadapi pandemi. Masyarakat tengah berjuang agar terhindar dari paparan virus dan memastikan ekonomi domestiknya tidak terganggu. Tentu tidak ada masyarakat yang menghendaki adanya pergantian kekuasaan, apalagi diwarnai kekacauan sosial.

Kepentingan Politik Nir-Empati

Di titik ini bisa dikatakan bahwa munculnya provokasi di masa pandemi ini merupakan wujud matinya empati. Ada segelintir kalangan yang berupaya memanfaatkan momentum pandemi untuk menciptakan kekacauan sosial (social chaos) demi kepentingan politik sesaat. Mengutip pernyataan Menkopolhukkam Mahduf MD, disinyalir ada ormas-ormas tertentu yang berkepentingan menjadikan isu pandemi dan pembatasan sosial untuk menggoyang eksistensi pemerintahan yang sah.

Pola yang demikian ini sebenarnya bukan fenomena baru. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana kelompok anti pemerintah yang terdiri atas kaum radikal dan kelompok oposisi destruktif selalu mencari celah untuk mengadu-domba masyarakat dan pemerintah. Hampir setiap isu yang menjadi perhatian publik selalu ditunggangi untuk mewujudkan hasrat mereka atas kekuasaan. Di masa pandemi ini, praktik yang demikian itu bukannya mereda, namun justru kian menjadi-jadi.

Gencarnya provokasi membangkang pemerintah ialah problem baru dalam penanganan pandemi. Ketika pemerintah dan masyarakat fokus pada pengendalian pandemi agar sektor ekonomi kembali bangkit, justru ada gerakan-gerakan yang mengambil keuntungan dalam kesempitan. Kita tentu tidak boleh lengah. Ketidakpuasaan masyarakat atas kebijakan pembatasan sosial merupakan aspirasi yang organik. Namun, tuntutan agar presiden mundur dan menciptakan kekacauan sosial jelas merupakan rekayasa kaum tidak bertanggung jawab.

Pentingnya Solidaritas Kemanusiaan

Untuk itu, kita perlu menangkal setiap narasi provokatif tersebut. Masyarakat perlu membangun kesadaran bahwa pembatasan sosial ialah keputusan paling bijak dan tepat yang harus ditaati bersama. Memang tidak mudah. Namun, tidak ada pilihan lain. Bukankah seluruh negara di dunia tengah menghadapi persoalan yang sama saat ini? Semua elemen bangsa, mulai dari pemerintah dan masyarakat dari segala lapisan sedang menghadapi persoalan yang sama.

Kesadaran untuk mematuhi pemerintah ialah kunci melandaikan grafik penularan corona. Kesulitan ekonomi yang dirasakan kaum bawah kiranya bisa diminimalasi dengan adanya bantuan sosial dari pemerintah dan gerakan solidaritas kemanusiaan berbasis masyarakat sipil. Inilah saatnya kita untuk memberikan sumbangsih nyata bagi bangsa, bukan sebaliknya justru melakukan tindakan yang memperkeruh suasana.

Sungguh tidak berempati jika ada kelompok yang berusaha berselancar di atas penderitaan bangsa. Kelompok yang nir-empati itu seharusnya tidak diberikan ruang gerak dan diberangus ke akar-akarnya. Diperlukan langkah hukum tegas bagi siapa pun yang terlibat gerakan provokasi pembangkangan terhadap pemerintah. Di sisi lain, kita perlu mendorong tumbuhnya sikap empati sosial di tengah masyarakat.

Patuh pada pemerintah dan memberikan bantuan pada sesama masyarakat, apa pun bentuknya ialah langkah terbaik yang bisa kita lakukan saat ini. Kita tengah ada dalam situasi krisis akibat pandemi. Bukan saatnya saling menyalahkan. Bukan saatnya melempar tuduhan. Alih-alih, inilah saatnya saling bergandeng tangan. Tidak ada Lorong gelap yang tidak berujung. Pasti ada cahaya dari setiap kegelapan yang kita lewati. Kita harus optimis. Kita tidak boleh pesimis.

Facebook Comments