Puasa: Belajar “Ya” dan Belajar “Tidak”

Puasa: Belajar “Ya” dan Belajar “Tidak”

- in Narasi
3088
0

Tatkala bulan Ramadhan tiba, dalam kehidupan di kalangan muslim ada suasana berbeda dibandingkan hari-hari biasa. Suasana yang –mungkin— patut untuk kita renungkan bersama ini semacam fenomena yang menggejala hampir di setiap datangnya bulan ke-9 dari penanggalan tahun hijriah.

Kedatangan bulan Ramadhan memang terkadang dapat mengubah segalanya, terutama pada suasana yang biasanya ada menjadi tiba-tiba tidak ada; sesuatu yang biasanya tidak ada, kemudian menjadi ada. Begitu pula suasana yang biasanya dalam keseharian ‘ya’, berubah menjadi ‘tidak’, dan sebaliknya.

Secara normatif, sebagaimana dijelaskan ulama dalam kitab-kitab fikih, puasa berarti menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam perkembangannya, makna puasa menjadi semakin beragam. Dalam “Tuhan Pun Berpuasa” (2012) Emha Ainun Najib (Cak Nun) merumuskan bahwa puasa adalah pilihan atau keharusan untuk ‘tidak’ atas sesuatu yang sewajarnya ‘ya’. Atau sebaliknya, keputusan untuk ‘ya’ terhadap sesuatu yang halal untuk ‘tidak’.

‘Ya’ di situ umpamanya; ‘ya makan’, ‘ya minum’, ‘ya bercinta’, dan ‘ya’ seterusnya, yang di-‘tidak’-kan oleh orang yang berpuasa pada jangka waktu tertentu. Atau ‘tidak’ di situ adalah ‘tidak lapar’ menjadi ‘ya lapar’, ‘tidak sabar’ menjadi ‘ya sabar’.

Penyikapan ‘ya’ menjadi ‘tidak’ atau ‘tidak’ menjadi ‘ya’ di situ dilakukan karena ada suatu kualitas nilai yang lebih tinggi yang hendak dicapai, ada suatu derajat mulia yang hendak diperoleh. Ada suatu kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan.

Memang benar, berbohong, marah, menggunjing orang lain (ghibah), korupsi dan sejenisnya memang tidaklah membatalkan puasa, tetapi ada suatu keharusan atau prinsip untuk belajar “tidak” bagi orang berpuasa, tidak berbohong, tidak marah, tidak menggunjing orang lain dan tidak korupsi.

Sehingga bagi orang yang berpuasa, mereka dituntut untuk belajar ‘ya’, bagaimana selalu ‘ya’ jujur ketika berbicara, ‘ya’ sabar ketika menghadapi ujian, ‘ya’ amanah apabila mengemban tugas, ‘ya’ menahan saat mendapatkan godaan, ‘ya’ siap tatkala rintangan menghadang.

Puasa mengajarkan kita untuk mengatur mana harus melakukan ‘ya’ mana harus meninggalkan ‘tidak’, kapan memilih ‘ya’ kapan menolak ‘tidak’, bagaimana mengambil ‘ya bagaimana meletakkan ‘tidak’.

Kunci ‘Ya’ dan ‘Tidak’

Menurut Cak Nun, puasa itu sebuah metode dan disiplin agar kita melatih diri untuk melakukan apa yang pada dasarnya tidak disenangi serta tidak melakukan apa yang pada dasarnya disenangi. Ini kondisi yang memang sulit, bagaimana menghadapi, menjalani atau menikmati sesuatu yang tidak disenangi, serta menahan, menolak atau mengendalikan sesuatu yang disenangi.

Apalagi puasa itu terkadang bersifat sebagai sebuah keharusan, terkadang untuk menahan, bahkan terkadang juga bersifat memaksa. Sehingga seseorang yang berpuasa tentu akan mengalami suatu ‘konflik diri’ dengan realitas yang dirasakan atau dihadapi, bingung dan sulit membedakan antara ‘ya’ dan ‘tidak’.

Bermula dari sini, puasa akan menjadi ‘jalan tol’ bagi kita untuk belajar menemukan hakekat berpuasa, bukan hanya sebatas ya sahur dan ya buka atau tidak makan dan tidak minum.

Yang jelas, kesadaran, keseriusan dan keikhlasan diri merupakan kunci bagi seseorang untuk belajar menemukan kesejatian ‘ya’ dan ‘tidak’ dalam berpuasa. Kesejatian yang bukan hanya momentum puasa di bulan Ramadhan saja, tetapi ‘ya’ dan ‘tidak’ tersebut benar-benar merupakan spirit yang mendarah daging dalam keseharian. Ini yang perlu kita pelajari bersama dalam menjalan ibadah puasa, ya atau tidak?

Facebook Comments