Banyak umat Muslim lupa, tujuan puasa bukan hanya sekadar menahan lapar, tetapi juga untuk membentuk karakter yang kuat dan moralitas yang baik. Karakter adalah anugerah yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup di muka bumi. Kenapa disebut anugerah? Karena setiap manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, dan karenanya masing-masing memiliki keistimewaannya masing-masing.
Untuk mencapai tujuan akhir berpuasa yang mulia ini tentunya dilalui dengan cara yang tidak sederhana. Puasa yang kita jalani sekarang ini seharusnya bukan hanya sekedar kegiatan menahan lapar dan haus saja, namun puasa dalam arti menjaga dan mengendalikan hawa nafsu.
Dengan kata lain, puasa yang dimaksudkan adalah mengendalikan diri dari sikap negatif, lalu masuk ke sikap positif, seperti jujur, disiplin, patuh pada aturan, melatih etos kerja yang tinggi, dan solidaritas pada sesama. Setiap tahun umat muslim berpuasa, asumsinya adalah semenjakaqil balighia sudah puasa penuh.
Pertanyaannya adalah, pertama, apakah puasanya telah berdampak pada pembentukan pribadi yang baik?
Secara kolektif, apakah sudah ada dampaknya bagi bangsa? Pertanyaan pertama butuh instropeksi individu masing-masing. Jika seseorang berpuasa sementara pada saat yang sama ia juga berdusta, menggunjing dan mengadu domba, melihat dengan hawa nafsu, atau bersumpah palsu, maka puasanya berkurang maknanya, dan semakin jauh dari tujuan intinya, takwa.
Pertanyaan kedua butuh muhasabah nasional. Jika bangsa ini terus berpuasa, namun perilaku kolektifnya masih belum menunjukkan karakter sebagai bangsa yang baik, maka dapat dikatakan puasanya masih belum sampai pada nilai yang sesungguhnya, yaitu lagi-lagi takwa.
Melalui ketakwaan, individu belajar untuk menghormati perbedaan, yang menjadi landasan penting dalam membangun harmoni. Tanpa kontrol diri dan kemampuan untuk memahami orang lain, masyarakat akan cenderung berpotensi lebih sering terlibat dalam konflik. Maka, puasa di bulan Ramadhan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perdamaian, karena ia bukan hanya urusan ibadah individual, tetapi juga tanggung jawab kolektif dalam menjaga tatanan sosial yang adil dan harmonis.
Dalam dunia yang semakin plural dan terfragmentasi oleh perbedaan identitas, kemampuan untuk membangun karakter yang tahan godaan dan penuh tanggung jawab sosial menjadi krusial. Melalui praktik puasa, diharapkan setiap individu, terlepas dari agamanya, dapat mengambil inspirasi untuk berperan aktif dalam menjaga perdamaian dengan mengendalikan emosi, memupuk solidaritas, dan meningkatkan rasa saling memahami dalam keberagaman.
Imam Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Seperti misalnya ketika kita dihadapkan pada suatu masalah, ada ekspresi spontan yang muncul ketika masalah itu menimpa, mungkin bisa berupa amarah, ketenangan, tindakan yang bijak dan sebagainya. Semuanya spontan tanpa terpikirkan sebelumnya.
Membangun karakter individu dan masyarakat merupakan sebuah keharusan, karena bagian dari tugas kekhalifahan setiap muslim dengan cara ber-akhlak karimah. Tugas Rasulullah Saw untuk menyempurnakan karakter mulia dilandasi dengan kasih sayang. Beliau mencontohkan sendiri ajaran akhlak mulianya dengan empat pilar, shidiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Dalam literatur modern, karakter positif biasanya dicirikan dengan sikap menghargai nilai normatif, menumbuhkan rasa percaya diri, kemandirian, keteguhan, dan kreatifitas.
Lalu apakah puasa bisa menjadi media pembentukan karakter manusia? Jawabannya, ya memang tujuan puasa adalah untuk membentuk dan memperbaiki karakter manusia menjadi lebih baik. Tentu kita tahu tujuan akhir berpuasa yaitu “la‘allakum tattaqun”. Menjadi manusia bertakwa memiliki efek samping yang baik di mana ia memiliki karakter yang baik, budi pekerti yang luhur dan akhlak yang mulia.
Jika dikaitkan dengan tanggung jawab membangun perdamaian, latihan ini sangat relevan. Dalam masyarakat yang plural, individu yang mampu mengendalikan diri, penuh empati, dan menjunjung tinggi kejujuran sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas sosial. Melalui puasa, seseorang diharapkan menjadi pribadi yang lebih toleran terhadap perbedaan, lebih sabar dalam menghadapi konflik, dan lebih adil dalam mengambil keputusan. Semua elemen ini merupakan fondasi penting untuk menciptakan perdamaian di tengah keberagaman.
Selain itu, puasa juga melatih individu untuk lebih peka terhadap lingkungan sosialnya. Rasa lapar yang dialami seharian memicu kesadaran akan kondisi orang-orang yang kurang beruntung, yang sering kali diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Kepedulian ini dapat mendorong tindakan nyata dalam membangun harmoni sosial, di mana setiap individu merasa memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan lingkungan yang damai dan saling menghormati.
Dalam tataran yang lebih luas, karakter yang dibentuk melalui puasa memiliki potensi untuk mengurangi konflik yang sering kali dipicu oleh ketidakmampuan individu mengendalikan ego atau emosi. Pengendalian diri yang diajarkan puasa membantu seseorang untuk tidak mudah terprovokasi atau terjebak dalam konflik, melainkan lebih memilih jalan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan perbedaan. Ini merupakan kunci bagi terciptanya perdamaian jangka panjang, baik di tingkat personal maupun dalam masyarakat yang lebih besar.
Dengan demikian, puasa bukan hanya ibadah personal, tetapi juga sarana untuk membentuk pribadi yang kuat, bertanggung jawab, dan berperan aktif dalam membangun perdamaian di masyarakat. Latihan spiritual ini menawarkan model yang ideal bagi individu untuk tidak hanya menjadi lebih saleh, tetapi juga lebih terlibat dalam mewujudkan dunia yang lebih damai dan penuh kasih sayang.